Selain itu, juga ada monumen kapal boti (kapal tradisional Buton) yang baru dibangun dengan dana desa tahun 2021 sebagai salah satu primadona di Pantai Lagunci ini. Monumen ini dibangun di atas sebuah batu karang tinggi, sehingga pengunjung yang membayar tiket masuk (Rp5.000 untuk dewasa, dan Rp3.000 untuk anak-anak) ke atas monumen ini dapat menikmati pemandangan gugusan batu pada sebelah kiri, dan pemandangan kapal nelayan yang sedang berlabuh secara berjejeran di sebelah kanan.
Lokasi: Desa Bahari Tiga, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara
Â
Bonus di Jalanan Buton Selatan
Mobil melaju di jalan raya beraspal, memandang ke kiri jalan adalah rumah warga di tepi laut, perairan dengan kapal-kapal berlayar, serta daratan di seberang sana yang terlihat ramai rumah penduduknya, sedangkan memandang ke kanan jalan adalah rumah penduduk yang didominasi rumah kayu, dan adanya tanaman di hampir setiap rumah.
Dalam perjalanan menuju destinasi berikut, kami melewati sebuah halte di depan sekolah yang mana bertuliskan aksara Korea di atapnya. Karena ini merupakan private trip, jadi kami bisa bebas mengatur perjalanan, sehingga kamipun meminta untuk turun dan berfoto dengan hal unik ini.
Menurut info pemandu wisata, ini adalah Bahasa Ciacia, yang mana aksara yang digunakan adalah aksara Korea, namun bahasanya adalah bahasa Ciacia, jadi tulisan tersebut tidak diartikan dalam bahasa Korea, melainkan dalam bahasa Ciacia.
Pulang dari perjalanan ini, sayapun mencari informasi bahwa Bahasa Ciacia merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat Ciacia di Sulawesi Tenggara. Walikota Baubau, Sulawesi Tenggara pada Agustus 2009 memutuskan kebijakan mengadaptasi aksara Korea (Hangeul) menjadi aksara Ciacia karena Bahasa Ciacia tidak mempunyai aksara sendiri, yang berfungsi penting sebagai alat pendokumentasian untuk melestarikan bahasa dan budaya (Nurrochsyam, 2015).
Kebijakan menggunakan aksara Korea bermula dari sebuah Simposium Internasional Pernaskahan ke-9 pada 5-8 Agustus 2005. Seusai simposium, ketika para peserta melakukan wisata keliling kota, Chun Tai-Hyun, seorang ahli Bahasa Malaysia dan sekaligus sebagai Ketua Departemen Hunmin Jeonggeum Masyarakat Korea, bercanda bahwa bahasa lokal yang didengarnya di sini mengingatkan pada Korea. Dikatakannya bahwa aksara Hangeul dapat digunakan sebagai aksara untuk bahasa Ciacia yang sedang mengalami kepunahan. Pernyataan Chun Tai-Hyun segera direspon positif oleh Walikota Baubau (Song, 2013). Walaupun menggunakan aksara Hangeul sebagai aksara Ciacia menuai kontra seperti mengadaptasi sebuah budaya asing dalam kultur budaya lokal di Indonesia, tetapi juga ada yang menyatakan pro bahwa penggunaan aksara ini bisa memicu supaya generasi muda dapat meminati bahasa daerah Ciacia (Nurrochsyam, 2015).
Lokasi: Desa Bangun, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara