Mohon tunggu...
Zhee Rafhy
Zhee Rafhy Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Amatir

Sajak kecil yang tidak puitis, Lelaki kecil yang tidak romantis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melawan Takdir

16 Februari 2019   00:04 Diperbarui: 16 Februari 2019   00:05 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebut saja namamu Nalea. Sebuah nama yang sengaja disematkan oleh kedua orang tuamu untukmu, sesaat setelah engkau terlahir di dunia. Entah apa arti dari namamu itu sesungguhnya,  Ayah Ibumu tidak peduli. Namamu yang kini melekat di jiwamu, tiba-tiba saja terbersit di benak Ayahmu saat itu ketika ia ditugasi untuk memberimu nama oleh Dokter. Yah... Nalea yang kemudian ditambahkan Pricilla di belakang namamu oleh Ibumu. Nalea Pricilla kini lebih tepatnya nama lengkapmu.

Seorang bayi perempuan yang terlahir sehat melalui persalinan normal di sebuah rumah sakit ternama di kotamu, meski tanpa disertai oleh suara tangisan darimu sama sekali. Dokter telah berusaha untuk merangsang agar kau segera menangis. Ia telah menepuk-nepuk punggung mungilmu kala itu beberapa kali, mengusap-usap tubuh kecilmu hingga kering, bahkan ia juga menghisap cairan yang terdapat dari mulut dan hidung mungilmu demi untuk merangsang tangisanmu.

Tetapi kamu, Nalea bayi yang saat itu masih tetap enggan untuk mengeluarkan suara tangismu. Suara yang dinanti-nantikan oleh orang tuamu sebagai pertanda bahwa kamu lahir dalam keadaan sehat. Kedua orang tuamu, Ayah dan Ibumu tentu merasa khawatir takut sesuatu yang tidak normal terjadi kepadamu yang masih sangat kecil. Bersyukur setelah melalui beberapa proses pemeriksaan, kamu dinyatakan terlahir sehat dan normal seperti bayi kebanyakan. Meski kamu memilih untuk tidak menangis. Dokter menngatakan bahwa kau adalah Bayi yang unik.

Dan begitulah kenyataannya, kamu memanglah sosok Bayi yang unik. Sejak kau masih berada dalam rahim Ibumu, sebelum Tuhan memutuskan untuk kau terlahir sebagai manusia. Kamu telah melewati proses perdebatan yang panjang dengan Tuhan.

"Tuhan, bolehkah kalau aku meminta untuk tidak terlahir di dunia?" katamu dengan suara mungilmu yang begitu polos.

"Kenapa Anak-Ku? Mengapa engkau meminta untuk tidak terlahir ke dunia? Apakah engkau takut?" Kata Tuhan menimpali pertanyaanmu dengan suaranya yang begitu teduh, meneduhkan batinmu yang risau.


"Benar Tuhan. Aku takut. Takut jikalau ternyata aku tak bisa lagi bertemu dengan-Mu dan mendengar suara-Mu ini? Aku takut jikalau nanti ternyata aku tak sanggup melewati berbagai rintangan hidup sebagai mana yang telah Engkau gambarkan tadi kepadaku tentang siklus hidupku? Aku takut Tuhan." Katamu dengan bercucuran air mata.

"Kau tak perlu menangis anak-Ku. Kau tak perlu takut. Kamu akan selalu kuat menghadapi semua cobaan-cobaan hidup itu asalkan engkau tetap selalu bersamaku. Berpeganglah pada tanganku anak-Ku dan aku akan menuntunmu jalan menuju kembali kepada-Ku."

"Benarkah Tuhan? Tapi bagaimana aku bisa memegang tanganmu sedangkan engkau tidak turut serta ke dunia bersamaku?"

"Percayalah Anak-Ku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Ikutilah kata hatimu. Karena ialah yang akan menuntunmu kembali kepada-Ku."

Perdebatan engkau dengan Tuhan pada akhinya harus berakhir dengan kepasrahanmu menerima kehendak Tuhan yang tak mampu untuk kau pungkiri. Kehendak Tuhan adalah kehendak nyata, sedangkan kehedak  dari dirimu hanyalah sebatas angan-angan yang sia-sia. Kamu menuruti takdir yang telah digariskan untukmu pada akhirnya, dan kau berjanji kepada Tuhan bahwa kau akan selalu mencari cara untuk menemui-Nya secepat mungkin di luar dari takdir yang telah Ia gariskan untukmu.

Namun apakah ada seorang manusia yang mampu untuk melawan kehendak takdir? Jutaan manusia yang terlahir sebelum kamu, bahkan setelah kamu tak ada satu pun yang mampu melawan kecuali para Nabi. Namun apakah kamu seorang Nabi?

Di dalam kitab suci Tuhan mungkin menyebutkan bahwa tak ada sesosok manusia atau seorang pun yang mampu mengubah nasibnya kecuali atas dirinya sendiri. Terlebih ketika dirimu dihadapkan pada suatu pilihan dan kamu akan mengambil pilihan yang menurut dirimu terbaik untukmu. Namun jauh-jauh hari Tuhan telah menetapkan bahwa kamu akan memilih jalan yang kini sedang engkau lalui.

***

Waktu kini mungkin telah lebih banyak menghujamkan jarum-jarum tajamnya ke arah dirimu sehingga kamu sekarang telah tumbuh menjadi sosok remaja yang tangguh dan menyimpan banyak misteri yang lebih sering kau simpan dalam diam. Kamu lebih suka menyendiri menarik diri dari pergumulan orang-orang di sekelilingmu. Meski mereka sebenarnya berusaha untuk mendekatimu, agar bisa berteman sedekat mungkin denganmu.

Tetapi pengalaman-pengalaman dirimu di masa lalu tak bisa membuatmu begitu saja serta merta membuka diri untuk menerima tawaran pertemanan mereka. Bagimu tidak ada pertemanan yang benar-benar tulus tanpa disertai niat terselubung. Mereka kebanyakan hanya mengincar uang darimu saja. Hasil dari kerja keras Ayahmu untuk memenuhi segala kebutuhan dan keperluan hidupmu sepeninggal Ibumu.

Yahh... Ibu kamu meninggal berselang beberapa hari setelah melahirkan dirimu. Ibu kamu yang mewarisakan kekeras kepalaannya kepadamu, hari itu seusai persalinan ngotot untuk segera pulang kerumah. Ia memang begitu benci dengan suasana dan aroma rumah sakit. Dokter dan perawat tidak bisa berbuat apa-apa kecuali memperingatkan agar berhati-hati sebab luka rahim sesuai melahirkan belum lagi pulih. Tetapi nasib naas memanglah tidak dapat dihindari.

Ke esokan harinya Ibu kamu terjatuh dari tangga lantai dua rumahmu dan mengalamai pendarahan hebat. Ia masih sempat dilarikan kerumah sakit dan menerima perawatan selama beberapa hari. Sebelum akhirnya Dokter tak mampu berbuat apa-apa lagi. Ibu kamu tidak dapat tertolong tanpa kamu mampu mengenali wajahnya sama sekali kecuali melaui foto-foto yang masih terpampang di ruang tamu rumahmu. Sepeninggal Ibumu, kamu dibesarkan oleh seorang pembantu sekaligus pengasuh untukmu sampai dewasa ini.

Sedangkan Ayahmu berkerja keras siang dan malam yang mengantarkannya menjadi salah seorang pengusaha sukses yang kaya raya. Segala kebutuhanmu terpenuhi. Segala keinginanmu terwujud. Barang-barang mahal, mainan-mainan mewah hampir semuanya kau miliki. Tak heran ketika masih di Sekolah Dasar, kamu memiliki banyak teman. Kamu senang berteman dengan mereka.

Kamu seringkali membawa mainan-mainan mewah milikmu ke sekolah. Semua teman-temanmu bergantian memainkannya. Dan ketika mainan milikmu rusak, mereka mengembalikannya kepadamu. Kemudian menjauhimu. Menurut mereka kamu orang yang sangat membosankan. Dan kamu memang tidak pandai bergaul sebab keseharian kamu hanya dalam rumah megah bak istana yang terhalang pagar besi. Mereka teman-teman sekelasmu hanya ingin berteman denganmu dikarenankan mainan mewahmu saja. Jikalau bukan karena itu mereka tidak akan peduli dan sama sekali tidak tertarik berteman denganmu.

Beberapa diantara teman-teman kamu bahkan tidak segan-segan berlaku kasar terhadap kamu ketika kamu tidak membawakan mainan seperti yang mereka minta. Terkadang mereka mengambilnya membawanya pulang, atau terkadang pula dengan sengaja merusakkannya.

Perlakuan kasar seperti ini terus-terusan kamu terima dan terus berlanjut dari bangku SD, SMP, bahkan sampai dibangku SMA. Karenanya pemahaman tetang tidak-adanya pertemanan yang tulus telah tertanam cukup kuat di dalam dirimu. Kamu menghindari bergaul dan berteman dengan siapa pun. Membaca buku di dalam kelas atau perpustakaan sekolah adalah satu-satunya hal yang bisa kamu lakukan selama berada di luar rumah. Dan saat kembali kerumah kamu hanya akan menghabiskan waktu di dalam kamar seharian yang terkunci. Kamu menghindari untuk bertemu Ayahmu yang menurutmu sama brengseknya dari teman-tamanmu. Atau mungkin bahkan lebih brengsek dari itu.

Kamu yang kini menjelma menjadi seorang kutu buku selalu mempersembahkan nilai-nilai yang sangat memuaskan bagi Ayahmu. Karenanya Ayahmu berpikir bahwa segalanya baik-baik saja. Tak ada hal lain yang kamu butuhkan kecuali uang dan uang. Dengan uang itu kamu bisa membeli segala macam keinginan dan kebutuhan kamu. Bahkan dengan uang itu pula kamu bisa membeli teman. Mentraktir mereka makanan-makanan lezat, menghadiahi kepada mereka barang-barang yang mahal, sebelum mereka kembali mencapakanmu dan berbuat kasar kepadamu.

Satu-satunya hal yang mungkin tidak bisa kamu dapatkan meski kamu bayar dengan harga semahal apa pun yaitu waktu Ayahmu dan juga kasih sayang darinya. Teapi kamu tidak bisa berbuat apa-apa karena ia selalu mengatas namakan kamu, demi kebaikan kamu saat kau memulai perdebatan dengannya. Berhasil memasukkan kamu ke sekolah-sekolah ternama yang bergengsi dengan nilai-nilai yang selalu berada di atas rata-rata merupakan suatu hal terbaik yang kau persembahkan kepadanya menurut Ayahmu.

Diam-diam kau mulai memupuk kebencian terhadapnya dan terus tumbuh hari demi hari seperti tumbuhan sulur berduri yang memenuhi isi kepalamu. Kamu semakin muak kepadanya terlebih ketika ia yang mulai merasa kesepian sering kali membawa perempuan-perempuan asing kerumahmu. Tiap hari perempuan-perempuan itu terus berganti-ganti. Kamu benar-benar muak dan memulai pertengkaran hebat dengan Ayahmu yang berujung kepada pemukulan terhadapmu.

Tiba-tiba saja air mata mengalir deras membasahi pipimu yang memerah bekas tamparan Ayahmu. Bukan dikarenakan rasa sakit yang kau terima yang membuatmu menangis, tetapi atas dasar kekecewaan yang begitu besar. Kamu sama sekali tidak berpikir orang yang satu-satunya kamu harapkan tiba-tiba tega melakukan hal tersebut kepadamu hanya dikarenakan persoalan perempuan-perempuan asing itu.

Kamu pun memutuskan untuk pergi. Kamu kabur dari rumah. Kamu merasa perlu ruang untuk menghilangkan kekecewan dan kesedihanmu tetapi di tempat yang lain, selain rumah yang justru membuatmu serasa berada di neraka. Kamu berjalan entah kemana. Kamu sama sekali tak tahu arah kecuali bahwa kamu hanya terus berjalan melewati kerumunan orang-orang kota hingga tiba di sebuah taman.

Di taman itu kamu terduduk seorang diri, menghidari keramaian seperti biasanya. Sekali lagi pikiranmu terasa dipenuhi oleh sesuatu yang entah berantah membuatnya terasa ingin meledak. Kamu serasa ingin berteriak kencang meluapkan emosimu, tetapi hal tersebut tidak mungkin kamu lakukan. Sebab ditempat tersebut kamu tidak lah sendirian, melainkan ramai orang-orang yang berlalu lalang yang seketika bisa saja semua mata-mata itu menghujam keras ke arahmu.

Tiba-tiba kamu merasa kosong. Kamu tidak tahu untuk apa kamu berada di sini. Kamu tidak tahu untuk apa kamu hidup. Kamu tidak tahu kearah mana kamu harus berlari, meminta pertolongan atau semacamnya. Kamu tiba-tiba merasakan kesepian yang teramat sangat. Kamu tidak memiliki seorang teman pun? Itu sudah pasti. Tak ada yang menggengam tanganmu. Tak ada yang memberikan bahunya untuk kau bersandar. Tak ada yang mendengar cerita dan keluh kesahmu. Tak ada. Tak ada sama sekali.

Lalu untuk apa kamu hidup? Pertanyaan itu seketika bergentayangan di benakmu. Menenggelamkanmu dalam ingatan jauh di masa lalu sewaktu kamu masih kecil. Kamu, atau lebih tepatnya Nalea kecil yang sering bertingkah aneh. Bagai mana mungkin Nalea kecil yang masih begitu polos sudah mengerti tentang kematian? Beberapa kali Nalea kecil yang masih berusia balita sering melakukan percobaan bunuh diri. Namun selalu gagal. Tentu saja sebab selalu digagalkan oleh bibi pengasuh dirimu.

Meski beberapa kali sempat saja ia kecolongan. Nalea kecil pernah di larikan kerumah sakit lantaran menenggak racun serangga. Padahal usia kamu masih 3 tahun kala itu. Seharusnya hal-hal seperti itu tidak mampu terpikirkan olehmu di usia yang masih sangat sebelia itu. Semenjak itu, Ayahmu menambahkan dua orang pengasuh untukmu yang menjagamu ketat selama 24 jam.

Saat memasuki usia 8 tahun sewaktu duduk di bangku kelas 2 SD, kamu pernah tertabrak mobil. Sang supir mengatakan bahwa kamu sendirilah yang tiba-tiba berlari menuju mobil yang sedang melaju. Bersyukur mobil itu tidak melaju begitu kencang, meskipun kamu sempat di rawat tetapi luka-luka kamu tergolong ringan. Dan semenjak saat itu kamu harus pulang pergi sekolah diantar jemput oleh bodyguard.

Saat memasuki usia SMP, kamu mengiris pergelangan tanganmu sendiri menggunakan pisau cutter di sekolah. Bersyukur kamu masih bisa selamat sebab kamu belum begitu paham di mana letak urat nadimu. Dan sewaktu di bangku SMA beberapa bulan yang lalu, kamu lantas melompat dari atap gedung sekolahmu yang berada di lantai 6. Sekali lagi kamu selamat sebab kau jatuh tak lansung menimpa tanah, melainkan menimpa pohon hias yang ditanam berjejer  di halaman sekolahmu sehingga mengurangi benturan keras saat kau mendarat ke tanah. Tetapi meski begitu tetap saja kau harus dilarikan kerumah sakit karena tak sadarkan diri.

Naluri-naluri untuk mengakhiri hidup dengan melakukan percobaan bunuh diri entah kenapa selalu muncul begitu saja dalam benakmu. Kamu tidak begitu paham akan apa penyebabnya. Bisikan-bisikan muncul tiba-tiba, semacam sugesti untuk melakukannya. Dan kini, perasaan seperti itu tiba-tiba muncul menghapirimu kembali.

Kini kamu merasa bahwa tak ada seorang pun yang memperdulikan kamu dan kamu sekarang benar-benar sendirian. Tiba-tiba air matamu bercucuran tanpa bisa kamu bendung. Dadamu terasa sesak, serasa sengaja dimasukkan sesuatu sehingga terasa penuh dan tak ada cela untuk mengambil nafas. Kau menangis. Menangis sejadi-jadinya di taman itu. Menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang melewatimu tanpa rasa peduli terhadapmu.

Kau lantas berlari. Berlari sekuat tenagamu. Meninggalkan taman itu dengan air mata yang masih terus bercucuran. Ketika tak ada seorang pun yang peduli, saat itulah waktu yang tepat untuk mati pikirmu.

Kamu berhenti di tepian jalan raya dengan kendaraan-kendaraan yang melaju kencang. Kamu lantas menerobos ke tengah-tengah jalan sambil membentangkan kedua tanganmu dengan mata terpejam, kamu menunggu takdirmu menjemput. Dari arah berlawanan sebuah mobir merah melaju kencang ke arahmu, namun kemudian mendadak berhenti tetapat di depanmu. Kau tak mendapatkan apa yang kau inginkan, melainkan hardikan. Cacian dan makian san supir yang ia lontarkan kepadamu.

Kamu gagal namun tak mematahkan keinginanmu. Sekali lagi kamu mencoba di sebuah jembatan yang menghadap kelaut dengan ketinggian berpuluh-puluh meter ke bawah. Namun sekali lagi kamu gagal. Kamu diciduk oleh petugas keamanan. Lantas kau di bawah ke pos kepolisan terdekat dan di tahan sampai kemudian ayahmu datang menjemput dengan wajah garang. Kau dikurung di dalam kamar selama berhari-hari dengan penjagaan ketat bodyguard-bodyguard ayahmu.

Barkali-kali kamu mencoba untuk kabur kembali namun selalu saja gagal oleh mereka. Tetapi kamu sama sekali tidak kehabisan akal. Melalui akal bulusmu, kamu berhasi keluar dengan bersembunyi di bagasi mobil Ayahmu.

Dan sekarang kamu sedang berjalan lurus di tengah-tengah rel kereta api. Menghitung langka kakimu langkah-demi langkah. Seolah tak ingin satu pergerakan kakimu terluput dari pandangan matamu. Kamu begitu menikmati langkah-langkah kakimu itu. Sambil menghitung detik-detik waktumu yang berharga. Kamu tahu tak lama lagi akan ada kereta yang melalui rel yang kini sedang kau jelajahi.

"Hey, kamu ingin mati yah? Pasti ingin bunuh dirikan?" Teriak sebuah suara yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

Kau menoleh ke arah sumber suara tersebut. Menyaksikan seorang laki-laki berperawakan tinggi dibalut dengan seragam yang kamu kenal.

"Kau yang waktu itu melompat dari atap sekolah kan?" Tanya lelaki itu lagi.

Kau tak menjawab.

"Aku pikir kau benar-benar telah mati karena tak pernah melihatmu ke sekolah lagi."

Dan entah mengapa kata-kata lelaki yang ia lontarkan barusan seolah-olah menyulut amarahmu.

"Memangnya apa pedulimu kalau aku mati? Memangnya apa pedulimu kalau aku tak masuk sekolah? Haahh" Katamu sambil bergegas ke arahnya dan mendorong bahunya.

"Hheheh... Memangnya kau pikir aku peduli? Aku sama sekali tidak peduli denganmu sebenarnya jikalau bukan karena uangmu." Kata lelaki itu.

"Dasar orang-orang mata duitan." Katamu ketus.

"Yahhh... Aku hanya heran saja. Kenapa sampai anak orang kaya raya sepertimu sampai berpikiran untuk bunuh diri? Apa karena semua keinginanmu telah tercapai sampai kau memutuskan untuk mati saja? Atau  kau menjadi pusing dan sress sebab tak tahu bagai mana caranya untuk menghabiskan uangmu? Hemmmhh. Lucu yahh. Bukannya seharusnya menjadi orang kaya itu menyenangkan yah? Kau bisa membeli..."

"Tau apa kau tentang kehidupanku? Kau tak usah ikut campur dengan kehidupan orang lain. Urus saja urusanmu sendiri." Katamu tiba-tiba memotong pembicaraannya yang belum selesai ia ucapkan.

"Yaa... Yaa... Ya... Aku sama sekali tidak bermaksud untuk ikut campur loh. Aku hanya ingin mengingatkan kamu untuk memikirkan baik-baik keinginamu untuk mati. Yah kalau bisa sih aku sebenarnya tidak ingin meminta uangmu, tetapi aku ingin meminta nafasmu. Yah sapa tau kali saja aku bisa hidup lebih lama dua kali lipat dari orang kebnyakan. Keren kan"

Kau tak menjawab.

"Oh iya, ada satu lagi yang harus kamu tahu. Rel kereta api yang bagian depan sana ada yang mengalami kerusakan. Jadi kereta yang seharusnya lewat sini sedari tadi telah dialihkan ke jalan lain. Sampai Jumpa." Kata lelaki asing tersebut seraya berlalu meninggalkanmu.

Kini sekali lagi kamu gagal mengakhiri hidupmu. Belum sempat kamu berpikir untuk rencana selanjutnya, bodyguard suruhan Ayahmu kini kembali menangkapmu dan membawamu pulang kerumah dalam kukungan kamarmu yang serupa sangkar emas.

Kamu lantas tiba-tiba saja teringat kembali akan kata-kata lelaki asing yang kau temui di rel kereta tadi. Apakah semua keinginanmu telah terwujud sehingga kau memutuskan untuk mati? Pertanyaan itu seketika kembali memenuhi rongga kepalamu yang menjadikan kepalamu terasa berat dan pening. Seketika kamu jatuh tertidur.

Ketika kamu kembali terbangun di sebuah senja, kamu mendapati sebuah buku catatan kecil berwarna jingga berada dalam genggaman tanganmu. Sebuah buku catatan yang tampaknya  terbawa dari alam mimpimu. Dimana sebelumnya kamu bermimpi bertemu dengan sesuatu yang berkilauan menyilaukan mata. Ia menyebut diri-Nya sebagai Tuhan, sebuah nama yang tak pernah disebutkan oleh Ayahmu yang tak percaya akan keberadaannya.

Dari cahaya itu muncul sebuah catatan kecil yang bertuliskan daftar keinginan-keinginanmu yang harus kamu lakukan sebelum akhirnya memilih mati. Tak lupa sebelum cahaya itu menghilang, Ia menjanjikan kamu satu buah permintaan darimu yang akan Ia kabulkan. Tetapi hanya berlaku pada saat waktu senja. Dan kini perburuanmu untuk mencari jawaban atas untuk apa kau berada disini pun dimulai.

***

Satu persatu misi yang tercatat dalam buku catatan itu telah kamu lakukan. Termasuk mengunjungi tempat-tempat terindah yang berada di luar kotamu, bahkan di luar dari Negaramu telah kau kunjungi. Bertemu dan berteman dengan banyak orang pun kini telah kau capai.

Kini hanya terdapat beberapa misi lagi yang harus kamu lakukan sebelum akhinya kau akan mati. Diantaranya adalah berterus terang dengan Ayahmu tetang apa yang kau inginkan darinya. Namun, sekembalinya kamu dari luar negeri. Kamu tak mendapati sosok Ayahmu itu berada di rumah atau di kantor tempat ia biasa berkerja.

Rumah milikmu yang bak istanah megah itu tampak tersegel dan tak bisa untuk kau masuki. Kantor Ayahmu sama, kau datangi dalam keadaan tersegel garis polisi. Ayahmu ternyata selama ini melakukan penipuan terhadap rekan-rekan bisnisnya. Kini ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di balik jeruji besi. Kamu kembali dengan jumlah uang tabungan yang mulai menipis tentu tak cukup membayar denda yang dibebankan kepada Ayahmu.

Kau menemuinya, mengatakan yang sebenarnya kepadanya dalam keadaan tersedu. Kau berterus terang bahwa yang kau butuhkan selama ini bukanlah uang atau kekayaan yang melimpah ruah. Tetapi yang kau perlukan selama ini hanyalah kehadiran sosok Ayah. Kehadiran sosok yang mampu untuk membuat kau tetap merasa ada dan berarti. Ayahmu mengaku menyesal telah mengabaikan dirimu. Ia menangis sejadi-jadinya dan untuk pertama kalinya dalam seumur hidup kamu merasakan kasih sayang yang benar-benar tulus dari seorang Ayah.

Kini misi kedua sebelum terakhir yang harus kamu lakukan adalah... Menemukan cinta dan ciuman pertamamu. Seketika kau terdiam. Kau larut dalam pikiranmu sendiri.

"Cinta pertama? Yah aku memang belum pernah jatuh cinta selama ini." Katamu pada dirimu sendiri.

"Ciuman pertama? Hihh.. Apa lagi ini." Pikirmu geli.

Kau lantas tiba-tiba teringat kembali dengan sosok lelaki yang mengenakan seragam sekolah yang sama denganmu yang menemuimu di rel kereta waktu itu. Yang dirimu tahu tentang cinta hanyalah satu-satunya bahwa cinta itu terjadi diantara laki-laki dan perempuan yang berlawanan jenis. Dalam urusan ini ternyata kamu masih sangat polos.

***

Kamu berlari menyusuri setiap koridor di sekolahmu. Menghapiri setiap kelas dan mencari sosok laki-laki itu. Sekembalimu tiba-tiba di sekolah dengan sikap aneh seperti itu tentu saja menghebohkan semua teman-teman yang mengenalimu. Setelah menelusuri setiap ruangan di sekolahmu, kamu kelelahan dan kembali kekelasmu istirahat. Perlakuan teman-temanmu masih tetap sama terhadapmu. Mereka masih tetap mengabaikanmu. Satu-satunya hal baik yang terjadi adalah mereka tak langi bersifat kasar terhadapmu.

Tiba-tiba saja sesosok orang yang sepertinya yang sedang kau cari-cari berlalu di koridor depan kelasmu. Kamu lantas berlari mengejarnya.

"Hei... Heii.. Kamuu. Tunggu. Berhenti." Katamu berteriak sambil mengejarnya.

Dia kemudian berhenti dan berbalik ke arahmu.

"Maukah kau membantuku? Kau harus jadi cinta pertamaku. Aku mohon. Pliss.!"Katamu tanpa merasa aneh sedikit sama sekali disaksikan puluhan pasang mata di koridor kelasmu.

"Hahahahaha..." Ia hanya menertawakanmu.

"Aku sungguh-sungguh. Aku harus segera mengakhiri permainan ini."

"Permainan apa? Memangnya kau taruhan dengan siapa?  Memangnya kau pikir cinta itu permainan? Hah?" Katanya sambil terus berjalan kearahmu.

Kau menghidar dengan berjalan mundur menjauh darinya. Tetapi kemudian langkahmu terhenti. Kau tersandar pada tembok kelasmu ketika ia dengan gerekan cepat menahanmu dengan menolakkan tangan kanannya ke dingding dan mendekapkan bibirnya ke bibirimu. Dan... Kau tak tau perasaan macam apa yang tiba-tiba menghampirimu.

Perasaanmu berdebar-debar dan kamu serasa baru saja kehilangan dirimu. Refleks kau mendorongnya kemudian kau berlari. Berlari dengan perasaan yang sulit untuk kau jelaskan. Seketika kau lupa akan misimu yang harus kau jalankan. Bagimu sekarang adalah tidak ada yang lebih penting ceuali perasaanmu yang tiba-tiba saja selalu ingin berada di dekatnya.

***

Kamu, yang kini menetap di sebuah rumah kontrakan kecil tak lagi memikirkan apapun. Kecuali memikirkan tentang laki-laki yang bernama  Daniel itu yang kini lebih sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama-sama denganmu.

Hari pertama.

Hari ke dua.

Hari ke empat.

Hari ke lima.

Sampai pada hari ke enam, kalian selalu bertemu.

Hari ke tujuh, Daniel menghilang. Tak ada kabar meski kau mencoba untuk menghubunginya. Kau mengirimi pesan singkat, tetapi tak dibalas. Via terlepon, nomor yang dituju sedang tak aktif. Kamu muali merasa khawatir.

Hari ke delapan kamu ke sekolah. Menghampiri salah satu teman sekelasnya dan menanyakan Daniel.Temannya menjawab, Daniel sedang dirawat di salah satu rumah sakit karena sakit jantung. Kamu dilanda kekhawatiran dan kecemasan yang teramat. Hingga akhirnya kamu berlari, berlalu begitu saja entah menuju rumah sakit mana tanpa sempat bertanya lebih spesifik.

Ketakutan menghinggap di benakmu. Air matamu luruh satu-satu membasahi pipi. Baru kali ini kamu memiliki alasan untuk tetap hidup. Baru kali ini kamu memiliki alasan yang membuatmu lupa tentang keinginanmu untuk mati. Baru kali ini kamu merasakan kehadiran seseorang yang selalu bersedia berasa di sisinu. Menggengam tanganmu, tempat bersandarmu, tempat berkeluh kesahmu. Yang membuatmu merasa tak sendirian lagi. Yang membuatmu merasa tak kosong lagi. Yang membuatmu merasakan ingin hidup selama seribu tahaun lamanya.

Namun kini kamu ketakutan. Takut alasan-alasan yang kau miliki itu meredup setelah sangat berjuang memancarkan cahayanya untukmu. Kamu meghabiskan waktu hari itu menelusuri jejaknya di setiap ruamah sakit di kotamu. Tetapi hasilnya nihil.

Kau kembali dengan perasaan lesu bercampur putus asa dibawa langit senja yang jingga. Dalam perjalanan pulang dari kejauhan, tampak orang-orang yang berseragam serupa denganmu berkerumung. Kau mendekat dengan perasaan yang diliputi tanya. Sebuah acara pemakaman baru saja akan dimulai.

Kau menagis sejadi-jadinya. Air matamu tumpah luruh membanjiri pipimu. Kau merontak, berteriak, menagis meraung dalam diam. Belukar berduri yang sejak lama menghuni kepalamu kini mekar kembali. Air matamu terus terkuras hingga kering dan kau merasa air mata darah mungkin akan segera menggantikannya.

Dalam beberapa menit berselang kamu masih terpaku di tempatmu. Dengan perasaan kosong, kehilangan akal dan warasmu. Sebelum senja bergegas pergi. Tanpa sadar kamu berucap dalam lirih.

"Tuhan, tolong hidupkan ia sekali lagi."

Lalu keajaiban terjadi. Waktu seolah berhenti sesaat dan tubuh yang terbujur kaku dalam peti mati itu yang tak lain adalah Daniel perlahan bangkit kembali. Wajahnya tampak begitu rupawan. Kamu bisa merasakan tanganya yang lembut menyeka sisa-sisa air mata di pipimu.

"Kini, adalah saatnya untuk pergi." Kata Daniel seraya mengulurkan tangannya untukmu.

"Tidak Daniel, sekarang belum saatnya kita untuk pergi." Katamu dengan nada memohon.

"Hahahaha.. Hahahah..  Hahahaha..." Daniel tiba-tiba tertawa cekikikan.

"Bukan kita, tetapi ini adalah saatnya kamu Nalea untuk pergi. Bukan kah kamu begitu merindukan kematian? Hahahahahahaha."

"Da... Daniel... a... aku tidak ingin mati Daniel. Aku tidak ingin pergi lebih dulu darimu. Aku ingin kita tetap bersama-sama sampai seribu tahun lamanya. Melebihi usia manusia di atas rata-rata seperti yang kau katakan di rel kereta waktu itu" Katamu sambil bercucuran air mata. Baru kali ini kamu merasakan ketakutan yang teramat sangat ketika menghadapi kematian.

"Tetapi kamu telah ditakdirkan hari ini Nalea. Apakah kau akan melawan kehendak takdir?" Kata Daniel dengan nada garang yang seketika menetapmu dengan tatapan tajam dan wajahnya mulai menghitam.

Kamu tiba-tiba dihampiri oleh ketakutan yang teramat sangat. Kau menjerit sebisa yang engkau lakukan. Entah kau menerima kekuatan dari mana. Kau membalas perkataan Daniel.

"IYAA... AKU AKAN MELAWAN TAKDIR. SEBAB AKU TERLAHIR SEBAGAI BAYI SPECIAL. HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAH" Katamu dengan suara keras bergemuruh yang mengubah Daniel seketika menjadi debu yang berterbangan.

Seketika kau roboh dan segalanya berubah gelap.

Hening...

Kau mendegar sayup-sayup suara-suara. Kau ingin menggerakkan tubuhmu. Tetapi terasa kaku dan tak bisa di gerakkan. Kamu perlahan membuka kelopak matamu dan perlahan cahaya menyilaukan mata menerpamu. Sayup-sayup suara orang-tadi semakin jelas diikuti oleh sosok mereka yang semakin terpampang nyata menerawan indra penglihatanmu.

"Daniel..." pekikmu semberi menghambur pelukan kearahnya.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun