Mohon tunggu...
Zera Zetira Putrimawika
Zera Zetira Putrimawika Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist

Detoxing for Discernment | Student of Education, Linguistics, Ushuluddin | I'm playing piano and badminton

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Catatan Teror KPK, Siapa Bisa Ungkap?

11 Januari 2019   19:08 Diperbarui: 15 Januari 2019   06:56 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KPK. (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)

Masyarakat Indonesia kembali dibuat terkejut oleh aksi teror di waktu yang bersamaan, di rumah milik dua petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Teror pertama diketahui pada pukul 05.30 pagi tanggal 9 Januari 2019, di kediaman Ketua KPK Agus Rahardjo. 

Seorang polisi yang bertugas di kediaman Agus, yang pertama kali menemukan plastik hitam tergantung di pagar. Setelah dicek, isi plastik itu berupa pipa paralon, detonator, baterai, paku, dan serbuk semen. 

Disusul kemudian teror di kediaman Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif, di waktu selang beberapa menit saja dengan penemuan di rumah Agus. Penemuan benda mencurigakan menyerupai bom molotov di rumah Laode, dibenarkan oleh seorang tetangga bernama Suwarni (seperti dikutip dari laman Tempo tanggal 9 Januari 2019). Menurut kesaksiannya, Suwarni melihat benda berbentuk botol dengan sumbu di bagian ujung, terletak dalam posisi berdiri di halaman rumah Laode.

Bila melihat dari waktu yang digunakan pelaku dan sasaran yang dituju, jelaslah bahwa aksi teror tersebut direncanakan dengan sangat matang. Walaupun motif di balik aksi teror masih diselidiki pihak kepolisian, namun masyarakat Indonesia pasti sudah mampu menebak beragam alasan di balik kejadian itu. 'Mereka' yang tidak ingin berurusan dengan KPK, pasti akan mencari-cari cara untuk menebar ketakutan dan rasa tidak aman kepada para petinggi KPK, atau bahkan orang-orang yang bekerja di KPK. 

Tujuan utamanya semata-mata untuk melumpuhkan lembaga antikorupsi tersebut, agar kawanan tikus dapat bebas berkeliaran dari satu selokan ke selokan lain. Begitu licin, begitu lincah, tak terendus.

Upaya Pelemahan KPK

Seperti kita ketahui bersama, sejak dibentuk pada tahun 2003, hingga saat ini KPK adalah salah satu lembaga negara yang paling dicintai rakyat Indonesia. Lembaga antirasuah telah banyak membongkar banyak kasus-kasus penggelapan uang negara dan mafia kasus yang mencekik dan menzalimi rakyat.

Cara kerja mereka cekatan, sigap, dan tak pandang bulu, serta dipimpin oleh tangan-tangan profesional sejak era Taufiequrachman Ruki, hingga sekarang dipimpin oleh Agus Rahardjo. Namun seperti kata pepatah, semakin tinggi pohon semakin besar angin yang berusaha menggoyangnya. KPK semakin dicintai rakyat dan semakin dibenci oleh para penguasa serakah, yang hobi menimbun uang dan membuncitkan harta kekayaan.

Sebetulnya kriminalisasi terhadap lembaga antikorupsi sudah dimulai sejak tahun 2009 saat mencuatnya istilah "Cicak vs Buaya", yang menggambarkan 'kekuatan Polri yang seakan-akan tidak bisa tersentuh oleh KPK.' [baca: Tempo edisi 20/XXXVIII 6 Juli 2009]

Setelah itu, KPK yang berstatus Ad Hoc, menjadi sedikit kekurangan imunitas, karena terus menerus digempur oleh diskriminasi dan kriminalisasi tanpa henti. Satu persatu petinggi KPK berjatuhan. KPK dalam posisi semakin tersudut.

Setelah Taufiequrachman Ruki melepas jabatannya dan KPK dipimpin oleh Antasari Azhar, Antasari menjadi pimpinan KPK pertama yang merasakan dinginnya lantai hotel prodeo. Antasari dijebloskan ke dalam penjara atas tuduhan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnaen, sebuah tindak pembunuhan yang tidak pernah diakui oleh Antasari hingga saat ini ia menghirup udara bebas. Semasa jabatannya, Antasari berhasil mengungkap kasus suap BLBI.

Ketua KPK selanjutnya yang bernasib sama buruknya dengan Antasari adalah Abraham Samad. Abraham sempat menjadi sangat populer karena berhasil mengungkap banyak kasus korupsi di masa jabatannya, seperti korupsi Hambalang, korupsi Wisma Atlet, korupsi impor daging, kasus SKK Migas, dan masih banyak lagi lainnya. Tahun 2015, Abraham dinyatakan sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen oleh Polda Sulselbar dan resmi menjadi tahanan.

Tidak hanya para Ketua KPK saja yang harus menerima kenyataan pahit. Penyidik KPK Arief Julian Miftah, pada tahun 2015 sempat menerima teror berupa bom dan pengrusakan mobil. Arief kala itu diketahui tengah menangani kasus rekening gendut Perwira Polri.

Sampai pada akhirnya, teror terakhir yang cukup meresahkan menimpa Novel Baswedan. Penyidik KPK itu harus mengalami kerusakan di mata kirinya setelah disiram air keras, pada April 2017. Novel adalah penyidik yang mengurus kasus korupsi simulator SIM. Novel sebelumnya bahkan pernah dijebloskan ke penjara pada tahun 2015, saat ia sedang gencar membongkar borok di tubuh kepolisian. Pada saat masa kejayaan Novel Baswedan sebagai penyidik KPK, hubungan lembaga antikorupsi dengan Polri dikabarkan memburuk.

Namun, berbagai kasus yang menyeret petinggi KPK, tidak membuat kecintaan masyarakat berkurang. Mengapa demikian? Karena rakyat yang menginginkan kesejahteraan, menaruh harapan besar kepada lembaga ini. Apabila melihat berbagai kasus teror terhadap penyidik KPK yang tidak kunjung terungkap, mungkinkah bentuk imbas dari retaknya hubungan KPK dan Polri, yang memang sudah tidak harmonis sejak pencetusan Cicak vs Buaya 10 tahun silam?

Nasib KPK di Masa Depan

Satu hal yang perlu digarisbawahi, beragam aksi teror dan tindak diskriminasi terhadap petinggi KPK, selama ini tidak betul-betul diselesaikan dengan baik. Puncaknya adalah saat kasus penyerangan Novel Baswedan, yang dalam kasus ini, baik Presiden maupun polisi sama-sama berada di level 'pasrah'. Bila pemimpin negara dan aparat saja sudah bersikap seakan berlepas tangan, maka lawan akan semakin berani menyudutkan KPK, dan nasib KPK semakin terancam.

Dalam sambungan telepon melalui siaran CNN Connected di saluran CNN Indonesia, Rabu 9 Januari 2019, Adnan Topan Husodo, koordinator Indonesian Corruption Watch, memaparkan bahwa teror akan semakin berani, berkaca dari kasus-kasus sebelumnya yang tidak terungkap. Terutama sekali dalam kasus Novel, yang akan selalu 'ditagih' rakyat untuk diselesaikan.

Hal kedua yang perlu dipahami, lembaga antirasuah di negara ini masih berstatus Ad Hoc. Artinya, lembaga ini suatu saat bisa dibubarkan. Kekuatan hukum lembaga ini belum kuat, meski kinerja mereka selama ini teruji ampuh.

Berkaitan dengan status Ad Hoc, Ketua KPK Agus Rahardjo sempat membuat pernyataan yang isinya agar KPK tidak lagi disebut sebagai lembaga Ad Hoc. Kalimat tersebut sejatinya adalah harapan Agus, harapan rakyat, dan harapan kita semua, agar KPK bisa panjang umur dan selamanya ada di bumi pertiwi.

Apalagi sinyalemen pembubaran KPK sempat menguat saat Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah berujar, karena statusnya yang merupakan lembaga Ad Hoc, KPK bisa dibubarkan bila sudah tidak lagi dibutuhkan.

Mengutip dari laman CNN Indonesia, tanggal 3 September 2018, Agus berencana untuk memperluas KPK hingga ke tingkat daerah, dengan membuka kantor-kantor cabang. KPK juga sedang berusaha membangun benteng pertahanan diri, dengan membuat beberapa rencana jangka menengah dan rencana jangka panjang. Dapat dilihat, bahwa KPK tengah terus berupaya mengumpulkan kekuatan dan menunjukkan kepada negara bahwa mereka tidak layak untuk dibubarkan.

Efek Panas Jelang Pilpres 2019

Panasnya situasi politik jelang Pilpres 2019, akan ada dua tanggapan dari dua kubu berbeda mengenai teror di rumah Ketua dan Wakil Ketua KPK. Pertama, kubu pendukung rezim sekarang pasti akan beranggapan teror tersebut merupakan bentuk fitnah atau adu domba, untuk menjatuhkan pemimpin sekarang, yang statusnya sebagai petahana di pertarungan politik April mendatang. 

Sementara kubu yang bukan pendukung rezim sekarang, pasti akan memandang aksi teror terhadap KPK adalah bukti nyata ketidakberdayaan pemerintah, dalam membasmi tikus-tikus lapar yang kini merajalela di setiap sudut negara.

 Secara diksi, kedua anggapan itu memang tertuju kepada rezim yang kini tengah berkuasa. Namun ini bukan soal menyalahkan si A atau si B, tetapi soal komitmen pemimpin untuk berpihak kepada rakyat. Siapapun pemimpin yang akan menjadi juara di Pilpres 2019, diharapkan menyelesaikan satu pekerjaan rumah yang tidak kalah penting: memberi kekuatan hukum dan perlindungan terhadap KPK, dan bukannya membuat lembaga tersebut semakin lemah, sakit, sekarat, hingga akhirnya mati di usia yang baru menginjak 15 tahun.

Bila menyimak kembali pernyataan Wakil Ketua DPR RI yang menyebut suatu saat KPK mungkin tidak dibutuhkan lagi, seperti sebuah kalimat yang tidak masuk akal untuk negara darurat korupsi seperti Indonesia. Kalimat yang betul seharusnya seperti ini, "Kami akan berantas korupsi di Indonesia, bersama KPK, dan KPK akan menjadi lembaga negara yang berkekuatan hukum tetap."

Setuju dengan kalimat Agus Rahardjo tahun lalu, "Jangan sebut KPK lembaga Ad Hoc, karena kami akan terus ada selamanya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun