Mohon tunggu...
Zein M Muktaf
Zein M Muktaf Mohon Tunggu... -

Suka menjalin pertemanan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Pembunuh

19 Oktober 2011   08:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:46 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ruangan ini sangat pengab, hanya sebuah meja kayu panjang dan dua kursi kayu yang saling berhadapan dari dua ujung meja kayu. Ruangannya cukup lebar, namun tak ada sedikitpun hiasan indah di ruangan ini, tak sebatas hanya lukisan cap sepatu di tembok. Gelap, ruangan itu cukup gelap, tak ada sedikitpun cahaya dari luar masuk ke ruangan, yang ada hanya sebuah lampu bohlam 5 watt yang berada persis diatas meja kayu, remang-remang bak kamar di lokalisasi.

Suara langkah kaki terdengar dari kejauhan, seperti langkah yang terburu-buru, cepat namun tidak konstan, sepertinya bukan hanya satu orang, tapi tiga atau empat orang. Suara langkah itu semakin kuat terdengar, sepertinya langkah-langkah itu akan menuju kemari.

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka, sinar terang masuk ke ruangan ini, membentuk bayangan manusia-manusia kokoh.

“dudukan dia di kursi!”,

“siap komandan!”, seorang dari laki-laki gagah berjaket kulit hitam memerintahkan anak buahnya.

Seorang perempuan kurus tinggi dengan kebaya di paksa duduk dikursi kayu, raut mukanya sangat memelas, dia hanya duduk tertunduk. Dia sangat ketakutan. Keringat dinginnya terlihat keluar dari pori-pori wajahnya yang lusuh. Rambutnya awut-awutan tak karuan, seperti tidak di sisir lama.

Laki-laki gagah berjaket itu kemudian duduk di atas meja, mengeluarkan rokok yang ada di sakunya dan menyulutnya.

“kalian pergi saja, biar aku yang ngurus dia sendiri”

“siap komandan!”

kemudian dua orang laki-laki gagah yang lain pergi meninggalkan perempuan dan laki-laki yang sepertinya adalah atasannya itu. Pintu kemudian ditutup kembali, cahaya matahari yang sempat masuk tidak ada lagi. Ruangan itu kembali remang-remang, pengab, tak ada udara yang masuk silih berganti menyejukan ruangan ini.

Suasana kembali sunyi, yang terdengar hanya nafas dari si perempuan yang tersenggal-senggal.

“kamu tahu apa kesalahanmu?”, laki-laki gagah berjaket kulit hitam mengawali.

perempuan itu hanya diam tertunduk, tak sepatah katapun terucap, hanya nafas yang tersenggal-senggal.

“saya tanya lagi, kamu tahu nggak apa kesalahanmu?” sambil terus menghisap rokoknya.

Si Perempuan tetap diam, telapak tangannya mulai meremas-remas kain jaritnya. Duduknya sangat tegang, perempuan itu tak sedikitpun terlihat santai.

“saya tanya lagi Marni, kamu tahu nggak kesalahanmu !!”

Marni, si perempuan itu tersentak kaget oleh bentakan laki-laki gagah berjaket hitam itu. Namun tak membuat sedikitpun suara keluar dari mulutnya. Marni tetap diam.

“Anjing!!, gue tanya sama lu Marni, lu tahu nggak apa kesalahanmu!!”, dia memelototi Marni dengan ganas, seperti mata binatang buas yang akan menerkam mangsanya.

“Marni!!, gue tanya sama lu.., lu bisu ! …gagu ! ..”

Diam terus setia menghinggapi Marni yang semakin tegang dengan nafasnya yang makin tersenggal-senggal tak karuan.

Laki-laki gagah berjaket kulit hitam itu kemudian duduk di kursinya. Tanpa sedikitpun melepas tatapannya ke perempuan lusuh itu. Marni tetap duduk tertunduk, dan tentu saja tetap dengan keadaan diam.

“apa sih beratnya  jujur, kalo kamu memang pelakunya..”

Marni tetap diam

“kamu yang membunuh pak Parlan kan?”

tetap diam

“kalo kamu ngaku, hukumanmu akan lebih ringan Marni”

Marni tetap diam seperti orang mati, tak menghiraukan kata-kata yang keluar dari laki-laki berjaket kulit hitam itu.

Tiba-tiba suara tikus di atas langit-langit membunuh sedikit ketegangandidalam ruang ini. Suaranya cukup keras menghantam eternit. beberapa detik suara tikus-tikus itu telahmenghamburkan konsentrasi di ruang pengab dan remang-remang ini.

Setelah beberapa detik berlalu diantara kesunyian yang statis akhirnya mulut Marni mengeluarkan suaranya, walaupun terdengar suaranya sangat berat dan tetap dengan kepala tertunduk.

“saya tidak membunuh pak”

“lah, kamu itu gimana, jelas-jelas saja saat kejadian kamu ada di sana, dan kamu membawa ini”, sembari laki-laki gagah berjaket kulit hitam itu mengeluarkan pisau dari saku jekatnya yang masih terlihat bercak darah terbungkus plastik bertulisan BARANG BUKTI dan meletakannya di atas meja.

“saya tidak membunuh pak!”

lelaki gagak berjaket hitam itu hanya tersenyum sinis.

Marni terlihat mengeluarkanair mata, merayap di pipinya yang kurus, dan jatuh tepat di kain jaritnya yang lusuh.

Marni menengadah, “sss, sssayaa saya cuma mau membela diri pak”, dan menatap lelaki gagah berjaket hitam itu.

“membela diri?”

“iya pak, saya mau membela diri pak, tiba-tiba saja pisau itu menghujam tepat didadanya pak, saya tidak membunuh pak!”,

air matanya terus mengalir membasahi pipinya, tubuhnya makin bergetar…

lelaki gagah berjaket hitam itu kemudian dengan tenang kembali menghisap rokoknya.

“entah itu membela diri kek, membela susumu kek, membela vaginamu kek, aku nggak peduli, yang pasti disini saya hanya ingin kamu mengaku kalo kamu yang membunuh pak Parlan, dan kamulah pembunuhnya, Iya kan?”, kemudian lelaki gagah itu menyandarkan tubuhnya di kursi kayu itu sambil tersenyum.

Marni kemudian diam, meneruskan tangisnya yang pasrah. Tubuhnya terlihat merespon kekecewaan yang sangat dalam. Dia pingsan.

***********

Ruang ini gelap, namun masih sedikit lumayan apik, karena ada jendela fentilasi dimana cahaya lampu jalan bisa masuk ke ruangan itu. Sinar lampu menyorot masuk tepat menyinari Marni yang tergolek lemas di lantai.

Dia masih tetap terlihat tertunduk, namun laki-laki gagah berjaket itu tidak ada lagi, yang ada didepannya hanya segelas air putih dan piring plastik berisi sedikit nasi serta secuil ikan asin.

Suara musik dangdut mengalun jelas di balik tembok ruangan ini, di selingi juga gelak tawa beberapa orang yang sepertinya tidak jauh dari sumber suara musik. Tikus-tikut got hilir mudik di depan Marni, tak sedikitpun ia merasa jijik, Marni tetap dengan alam pikirnya, kembali menuju kejadian tiga hari lalu, dimana Marni dengan tidak sengaja membunuh pak Parlan dengan pisau dapur yang dia pegang.

Pak Parlan adalah pengusaha pemotongan kayu yang sukses di desa itu, dia orang yang sangat terkenal karena sifat kedermawanannya, hingga pak Parlan di segani sampai desa sebelah. Jika ada pertemuan di desanya Pak Parlan selalu menyempatkan untuk datang, entah pertemuan tingkat desa maupun hanya tingkat RT saja.

“Marni, buatkan aku kopi !”,

Marni adalah pembantu rumah tangga pak Parlan, sudah dua bulan Marni bekerja dirumah Tuannya itu, setelah pembantu yang sebelumnya pergi entah tak memberi kabar. Istri pak Parlan 10 bulan yang lalu menderita strok parah, istrinya hanya bisa diam seperti seonggok jasad yang bernyawa namun mati. Kelumpuhannya hanya mampu menggoyangkan matanya yang sayup. Marni dengan setia mengurusi segala sesuatu untuk istri pak Parlan.

Kedua anak pak Parlan tengah sibuk kuliah di luar kota, hanya dua atau tiga hari dalam sebulan mereka pulang menjenguk kedua orang tuanya. Maka tak ayal jika Marni memegang semua urusan rumah tangga pak Parlan.

“ini kopinya pak”, sembari meletakan kopinya di atas meja kecil di sudut ruangan teras itu. Sementara pak Parlan masih asyik berdiri menengadah dan bersiul sambil terus memandangi burung-burung kesayangannya.

“eh, tunggu Mar”

“ada apa pak”, sambil mendekati pak Parlan, dengan badan sedikit menunduk.

“tolong pijetin saya, punggung sama kaki saya penggel banget, tolong pijetin saya ya”, sambil terseyum genit.

“baik pak”,

Tangan Marni meremas remas sisi pundak pak Parlan. Pak Parlan terlihat menikmati pijatan tangan halus Marni.

“nah gitu dong Mar, enak..enak…”

tiba-tiba saja tangan pak Parlan meraba punggung telapak tangan Marni..

“Marni, kamu cantik sekali..”

marnipun tersentak,

“lo, kenapa berhenti mijat marni?”

raut wajah marni terlihat linglung kebingungan, kemudian..

“maaf pak sa..sa..ssaya lupa belum matiin api kompor pak?” sambil tergagap-gagap dan pergi menuju dapur.

Di dapur, Marni hanya mondar mandir tak karuan. Dia berpikir tentang kejadian yang tak semestinya terjadi, antara majikan dan pembatunya. Namun tiba-tiba saja pak Parlan muncul dari lorong pintu dapur yang terbuka, Marni menatap kaget, matanya mengisyaratkan ketakutan yang dasyat. Tangannya gemetar tak karuan, langkahnya kemudian mundur menjaga jarak dengan pak Parlan yang sedari tiba terus menatap tajam Marni.

Lelaki itu mendekati Marni, dengan sigap dia langsung memegang kedua tangan marni yang lemah.

“Marni kamu cantik sekali, kulitmu mulus…”

“jangan pak, jangan..”

pak Parlan berusaha mencumbui Marni.

“ho..hooo..hoo, silahkan kamu teriak, teriakanmu akan bakalan sia-sia saja Marni”

“jangan pak.., kasihan ibu…”

“ayolah kamu nggak usah munafik gitu dong…” sambil pak Parlan menggesek-gesek tubuh bagian bawahnya ke tubuh Marni.

“jangan pak!!!” Marni mulai berontak. Pak Parlan pun berusaha mengatasi keadaan disamping nafsunya yang sudah di ubun-ubun.

“kamu tahu kan kalau Parlan majikanmu ini butuh kenikmatan,.. ayo layani majikanmu ini, ayo Marni, ayo…”

Marni mulai berontak dengan sekuat tenaganya, menyelamatkan dirinya dari kuda jantan yang sedang birahi tinggi seperti pak Parlan.

“aaakhh…..”

Tiba-tiba mata pak Parlan melotot, raut wajahnya memerah, urat-urat lehernya terlihat di permukaan kulit arinya. Sedetik kemudian terlihat darah segar mengucur deras membasahi keramik putih dapur itu, kaos putih pak Parlan memerah di bagian dadanya, dan pula pisau dapur yang telah menancap tegak di dada sebelah kirinya. Kemudian laki-laki itu mundur dengan langkah gontai sementara terus menatap tajam Marni. Marni tak mampu melihat apa yang telah dilakukannya, akhirnya pak Parlan roboh di dekat pintu dengan mata terus melotot.

**************

“ini sayur lodehnyaMarni”, suara seorang tua renta memecah kesunyian di ruangan yang cukup lebar itu.

Ibu tua itu terus memandang Marni sambil terus terbenam dalam kesedihan yang dalam. Air matanya membasahi kulit yang keriput itu, “Marni, kamu harus makan..”

“saya bukan pembunuh mbok, saya cuma membela diri”, dengan tatapan kosong ke depan.

“iya, mbok tau kamu nggak membunuh, anak mbok nggak ada yang berani membunuh”

“Marni mau keluar dari sini mbok, Marni mau keluar dari sini”

“Marni kamu harus tabah, ikhlas… ini cobaan dari Gusti Alloh, kamu harus tabah..”

Marni tetap dengan tatapan yang kosong, matanya masuk ketengkoraknya, kantung matanya mulai menghitam, rambutnya sudah tak terurus lagi..

kemudian yang terjadi adalah percakapan yang ganjil, mereka memendam kepedihan yang sama, namun kepedihan yang tak mampu di katakan lagi. Mereka sudah merasa sangat lemah dan tak ada lagi yang mampu mereka lakukan. Kekuatan yang masih ada pada diri mereka hanyalah sebelantara keikhlasan dan juga, selautan tangis…..

Suara tangis ibu itu mulai terdengar lirih di saat dia mengintip jauh dari ruang yang terang, menatap lemas langkah-langkah lunglai Marni memasuki gerbang-gerbang jeruji sel yang kokoh dan gelap.

Ibu itupun kemudian hanya mampu menangis dan terus berdoa dalam mimik bibirnya…

Hari Senin pon,di sebuah koran kriminal lokal, di headline tertulis “PEREMPUAN STRESS GANTUNG DIRI DI SEL KARENA HUTANG”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun