Mohon tunggu...
Candra Aji
Candra Aji Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hidup ini mudah, semudah 2 pilihannya: baik atau lebih baik!

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Seribu Pattimura

8 November 2013   11:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:26 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pattimura seribu sering hidup berpindah-pindah. Dari dunia satu ke dunia yang lain, dari coklat ke hitam – hitam ke merah – merah ke abu-abu. Dari dunia yang besar ke dunia yang sempit, dari dunia luas ke dunia kecil, dari dunia yang berada di genggaman satu kedalam genggaman yang lain, dari dunia berkantong tebal hingga berkantong tipis. Bisa jadi bagi pattimura seribu, dunia itu mengecil sesaat kemudian membesar. Dunia itu Abstrak. Dunia itu tidak sepenuhnya bulat, kadang lonjong membesar atau bulat seperti celengan. Dunia yang manusia memanggilnya dengan sebutan “dompet”.

Dalam suatu perjalanan waktu, entah manusia menyebutnya hari tanggal dan tahun keberapa: pattimura seribu menyandarkan bahunya. Dia menerawang ke angkasa, memandang bintang dan mencari pengertian atas hidupnya. Sering kali dia berada dalam dunia yang manusia menyebutnya kantong kresek, sering kali dia berada dalam dunia yang manusia menyebutnya kotak sumbangan dan bahkan sering kali dia berada dalam dunia yang manusia menyebutnya “terpendam ditanah”. Huffttt…..pattimura menghela napas panjang. Entahlah, kenapa manusia memperlakukan dia semena-mena. Membuat lalu melusuhkannya, merobek hingga membakarnya. Tidak sedikit dari saudaranya yang hilang karena terbakar, rusak karena tersobek dan lusuh karena dilipat. Tentu saja manusia melakukan itu dengan alasan yang tidak jelas.

Ditengah perenungannya akan waktu, Pattimura seribu melihat dari kejauhan ada dua “orang” mendekat. Mereka tampak tidak suka berada disini, pikir pattimura seribu. Memang sih, Itu terlihat dari tingkah laku mereka ketika mendekati pattimura seribu.

“hei ?”

“halo” senyum pattimura kepada mereka. Mereka diam acuh tak acuh, seolah tidak menginginkan sapaan hangat dari pattimura.

“kamu tau jalan keluar dari sini?” kata mereka bersama-sama

Pattimura terdiam, seolah pelanjutkan perenungan: disaat orang lain menginginkan untuk pergi, aku malah berharap aku punya tempat tinggal untuk menetap. Mungkin kita sama seperti manusia, tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki dan selalu ingin mencari lebih. Seperti (misalnya) aku, dan dua orang ini. Pattimura seribu mencoba mencari tau

“emangnya kalian mau kemana?”

“Gw gak betah berada disini. Tempatnya sempit, kecil dan jelek.”

“Sumpek pula…” kata seorang lagi berkata sambil mengibas-ibaskan tangannya dengan gaya seperti cacing kepanasan

“Lho…bukannya tempat ini cukup nyaman? Memang sih tidak terlalu luas, tetapi tidak terlalu sempit juga. Kalau kamu mau kita dapet berbagi tempat duduk. Lihatlah keatas! Kita bisa melihat bintang dari tempat sini….lagipula…” Pattimura yang sendirian karena sering berpindah-pindah berharap mereka bisa menjadi teman, duduk bersama dan berbicara tentang apa saja.

“Tidak…kami tidak pantas berada disini,” sekertas 50ribu itu memotong perkataan Pattimura Seribu dengan cepat

“Ya! Aku lebih pantas di dunia yang manusia menyebutnya bank, brankas, dan kotak penyimpanan rahasia orang-orang kaya” dengan sombong sekertas 100ribuan menjelaskan ke pattimura.

“Dan kami berdiam cukup lama disana…bisa satu minggu, satu bulan, satu tahun, bahkan bertahun-tahun. Manusia suka menyimpan kami erat-erat di dalam kotak penimpanannya. Disana luas, dingin, gelap, menyenangkan dan tidak terlalu banyak bertemu dengan orang-orang selevel mu”

Sekertas 100ribuan yang sombong! Mungkin itu yang ada dibenak kita, dan pattimura? Dia menghela napas panjang. Pattimura Seribu terdiam berpikir lama hingga waktu terdiam. Dua kertas 50ribuan dan 100ribuan pun ikut terdiam menunggu jawaban sang Pattimura Seribu.

“Alhamdulillah….” Selang berapa waktu, Setelah terlihat senyum sedikit dibibirnya, Pattimura mengucap kata itu dengan pelan

“……Ha? Apa yang kamu katakan? Kenapa kamu malah bersyukur?”

“Hidupku…lebih singkat dari kalian…aku, pattimura seribu, yang orang beri nama selembar ribuan tanpa arti ini cepat atau lambat akan dirusak, dibakar, atau ditenggelamkan..”

Dua kertas itu mengangguk pasti, sambil menunggu apa yang pattimura katakan kemudian

“kalian percaya Tuhan?”

“tentu saja!”

“….”

“Hidup kalian lama dan lebih disayang manusia tentunya, kalian digunakan ditempat-tempat penting, di tempat-tempat yang dingin, ditempat-tempat pesta, dan ditempat-tempat gemerlap. Dan atas maksud dan tujuan yang manusia gunakan untuk kalian aku ikut bersedih.”

“kenapa kamu malah kasihan kepada kami? Kamu yang harusnya kami kasihani bung!” selembar 100ribuan itu kebingungan

“mendekati dan mengenal Tuhan pun kalian belum pernah” jawab pattimura seribu sambil tersenyum

“…??!!!.....”

“Duduklah disampingku teman, mari kita melihat bintang diatas”. Seolah tersihir, mereka mendekati pattimura dan duduk disampingnya, menengok ke atas dan kemudian takjub.

Ribuan bintang di angkasa nampak disana, dua lembar ratusan dan limapuluh ribuan itu berkaca-kaca.

“Tuhan…ada disana…ditempat jauh yang tidak terlihat oleh kita..” Pattimura menunjuk keatas kearah gugusan bintang yang bersinar terang.

“Aku tak Pernah melihat Tuhan, Tapi aku yakin dia ada….karena aku selalu melihat bintang dari sini. Aku selalu yakin tempat Tuhan ada diatas langit-langit itu, dan aku selalu berdoa dari sini agar Tuhan melihatku langsung. Kamu pernah melihat langit?”

“……” Mereka berdua tampak meneteskan air mata, mungkin pelan tapi kupikir pasti

“…kenapa aku tak pernah bisa dekat dengan Tuhan?” Kata seratus ribuan dengan terisak-isak

“Karena manusia membuatnya seperti itu.” Jawab Pattimura seribu

“Kamu tau kita ada dimana? Kita melihat bintang ini dari lubang kecil ditengah kotak. Kotak ini lusuh dan terkunci. Berwarna hijau dan coklat, lalu setiap hari Jum’at kotak ini diputar dari orang satu ke orang lain di sebuah tempat yang manusia katakan Masjid”

“Kenapa kamu bisa tau?” Tanya selembar ratusan ribu itu heran

“Karena aku sering berada disini. Sama seperti kamu yang tau tempat penyimpanan, brankas, dan bank. Kamu sering disana bukan?”

“Ya, disana mungkin lebih nyaman. Tapi kupikir disini lebih tenang, Aku tenang melihat langit-langit ini. Aku merasa dekat dengan Tuhan” Kata selembar ratusan ribu sambil meneteskan air mata

“Keesokan hari mungkin kita akan berpisah. Kamu akan berada ditempat nyaman itu dan aku akan tetap berputar-putar disini. Ketamakan manusia lah yang membuat jalan hidup kita berbeda. Mereka senang memasukkan uang kecil seperti kami dengan apa yang mereka sebut beramal, tapi mereka menyimpan uang besar seperti kalian untuk keperluan lainnya”

“Tapi ketika mereka mengalami kesulitan hidup, mereka meminta bantuan Tuhan untuk menolongnya” kata Pattimura dan dua lembar uang besar itu bersama-sama.

“Jika aku bisa bicara dengan manusia, Aku ingin manusia mendekatku dengan Tuhan. Aku ingin berada lama di kotak ini sambil melihat bintang. Kalaupun boleh, aku akan memohon kepada manusia untuk memasukkanku lebih lama di kotak ini. Aku tak ingin lagi berada di bank, di dompet, atau di tempat penyimpanan rahasia” Kata selembar uang ratusan ribu itu dengan sedih.

“Ya, semoga mereka mendengarnya.” Kata Pattimura Seribu dengan pelan

“Aku mengucap Alhamdulliah tadi karena aku bertemu kalian hari ini. Aku sudah lama duduk disini melihat langit, berharap dan berdoa kepada Tuhan: Untuk apa aku hidup jika pada akhirnya mati? Lalu aku bertemu kalian hari ini dan mulai mengerti”

Malam semakin larut seiring bintang yang semakin tampak bersinar terang di langit. Di sebuah masjid kecil, ada sebuah kotak infak kecil yang menghadap ke jendela. Di dalam lubang kecil itu terlihat selembar uang ratusan ribuan, selembar uang limapuluh ribuan dan selembar uang seribuan. Mereka menghadap ke atas, seolah melihat bintang dan termenung. Lalu kupikir gambar yang terlihat di ketiga lembar uang tersebut tampak sedih.

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun