Sebuah Catatan Perpisahan:
Anakku, buah hati, bunga nurani yang tak berbatas tepi!
Bila esok mentari menyinari ruang ini, itu berarti kita telah mewariskan sepi, pada kursi dan meja yang dua puluh delapan hari lalu, menjadi saksi riuh kita. Dan bila malam, kelak ada purnama merona, itu adalah purnama terakhir yang melengkapi selaksa cerita.
Ya, satu purnama kita dipertemukan. Bagi kami bukanlah waktu yang panjang untuk meretas jalan kekeluargaan; antara Bapak, Kang Aep, dan juga Kalian.
Satu purnama, tak cukup untuk merangkai sketsa senyum ikhlas kalian. Satu purnama, tak cukup untuk menikmati canda manja kalian. Satu purnama, tak cukup kata untuk menata keramahan kalian.
Tapi anakku ...
... boleh jadi ...
Bagi kalian, empat pekan ini terasa lama, karena waktu tersiakan untuk merangkai kebosanan yang tak terperi; ketika melihat kehadiran kami yang dipenuhi keegoan diri dalam menyampaikan materi. Namun anak-anakku, apapun itu, garis ketetapan telah mempertemukan kita. Diminta atau tidak. Disuka atau dicerca.
Di hari pertemuan itu, Senin 14 September 2020, segala asa menggumpal dalam cerita nyata, di hari pertama.
Sungguh, tak ada nama yang bisa tereja dalam nanar keharuan yang menguliti keberanian.
Kita bertemu di masa wabah corona, kita berpisah dalam balutan pandemi yang sama.
Tapi tahukah anak-anakku?
Ketakutan berpisah dengan kalian, melebihi ketakutan melihat kian mewabahnya corona. Covid 19 itu ada, tapi perpisahan dengan kalian lebih menanda nyata. Bukan ilusi atau pun fatamorgana.
Anakku-anakku, buah kasih dan kebanggaan.