Awal Mula Konflik
Blok Ambalat telah lama menimbulkan sengketa wilayah maritim antara Indonesia dan Malaysia perselisihan ini, dipicu oleh klaim tumpang tindih atas area yang kaya akan potensi sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi.Â
Pada 1969 Indonesia dan Malaysia menandatangani Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen yang menurut Indonesia, mengukuhkan Ambalat sebagai wilayahnya.Â
Namun perjanjian ini tidak sepenuhnya menyelesaikan sengketa, lalu di tahun 1979 Malaysia secara sepihak, menerbitkan sebuah peta baru yang memasukkan Blok Ambalat ke dalam wilayah maritimnya.Â
Mengutip dari liputan Kompas.com berjudul "Kasus Ambalat: Mulai dari Kronologi, Penyelesaian, dan Cara TNI Menjaganya" dijelaskan Peta tahun 1979 itu langsung diprotes keras oleh Indonesia dan negara-negara lain seperti Inggris.Â
Konflik memanas di awal 2000an, ketika kedua negara memberikan konsesi eksplorasi minyak kepada perusahaan asing.Â
Pada 2004 Indonesia memberikan hak kepada perusahaan AS Unocal untuk mengeksplorasi di Blok Ambalat, tak lama kemudian pada Februari 2005 perusahaan minyak Malaysia Petronas mengumumkan blok konsesi baru (ND6 dan ND7).Â
Wilayah tersebut tumpang tindih dengan area yang diberikan kepada Unocal, ketegangan memuncak menjadi konfrontasi militer di laut.Â
Kedua negara mengerahkan kapal perang dan patroli maritim ke wilayah sengketa sehingga terjadi beberapa insiden yang hampir memicu konflik bersenjata, seperti pada 2005 dan 2009.
Upaya Diplomasi
Sejak saat itu kedua negara sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur diplomasi meskipun telah dilakukan puluhan kali perundingan bilateral, belum ada kesepakatan final yang tercapai.Â
Indonesia mendasarkan klaimnya atas Blok Ambalat pada beberapa instrumen hukum baik nasional maupun internasional, dasar hukum utama yang digunakan Indonesia adalah Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982).Â
Sebagai negara kepulauan Indonesia berhak menarik garis pangkal lurus, dari titik-titik terluar pulau-pulaunya yang mencakup Ambalat sebagai perairan internal.Â
Nabil Ihsan Jurnalis Antara News menjelaskan Malaysia di sisi lain mendasarkan klaimnya pada peta yang dibuatnya secara sepihak, pada tahun 1979 dan klaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.Â
Malaysia berargumen bahwa penentuan batas maritime, harus ditarik dari pulau-pulau tersebut yang menurutnya membuat Ambalat masuk dalam wilayahnya.Â
Sejak awal munculnya sengketa pada tahun 2005 Indonesia dan Malaysia telah menempuh berbagai langkah diplomatik, kedua negara telah melakukan puluhan kali pertemuan baik pada tingkat menteri luar negeri maupun kepala pemerintahan.Â
Perundingan ini bertujuan untuk mencari titik temu, dalam menentukan batas maritim yang tumpang tindih dengan berpedoman pada Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982).Â
Baik Indonesia maupun Malaysia, selalu menegaskan komitmen untuk menyelesaikan sengketa ini secara damai tidak melalui kekerasan.Â
Sikap ini berlandaskan pada prinsip ASEAN yang mengedepankan dialog dan penyelesaian sengketa tanpa paksaan, salah satu opsi yang sering dibahas dalam perundingan adalah pengelolaan bersama atau joint development.
 Â
Hambatan dan Rintangan
Pertemuan antara Presiden Indonesia dan Perdana Menteri Malaysia menjadi momentum penting dalam upaya diplomatik ini, pertemuan tingkat tinggi ini digunakan untuk mempercepat proses perundingan dan menegaskan kembali komitmen politik untuk mencari solusi.Â
Meskipun diplomasi terus berjalan negosiasi ini tidak berjalan mulus, Indonesia mengklaim Ambalat berdasarkan statusnya sebagai negara kepulauan sesuai UNCLOS 1982.Â
Sementara Malaysia mengklaim berdasarkan peta yang dibuatnya secara sepihak, pada tahun 1979 dan kedaulatan atas pulau-pulau di dekatnya.Â
Perbedaan ini membuat negosiasi penetapan batas wilayah menjadi rumit, bagi Indonesia Ambalat adalah sesuatu yang tidak bisa dikompromikan karena pemerintah Indonesia secara konsisten menyatakan wilayah itu adalah bagian dari NKRI.Â
Lorenzo Anugrah Mahardhika Jurnalis Bisnis.com menjelaskan, terkadang  ketegangan di lapangan seperti insiden manuver kapal patroli militer pada tahun 2005 dan 2009.Â
Hal ini dapat mengganggu proses diplomasi dan menimbulkan kembali ketegangan, namun setiap insiden selalu diikuti dengan komunikasi di tingkat kementerian luar negeri untuk mencegah eskalasi.Â
Konfrontasi terparah terjadi pada bulan Maret dan April 2005, saat itu sejumlah kapal perang Malaysia (Tentara Laut Diraja Malaysia) memasuki wilayah perairan Indonesia di sekitar Karang Unarang.Â
Kapal-kapal patroli TNI Angkatan Laut (TNI AL) seperti KRI Tedong Naga, dikerahkan untuk melakukan pengamanan dan pengusiran.Â
Puncaknya pada 8 April 2005 terjadi insiden serempetan antara KRI Tedong Naga dengan kapal perang Malaysia KD Rencong di Karang Unarang, insiden ini membuat situasi sangat tegang dan hampir memicu pertempuran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI