Mohon tunggu...
Budi Rivai
Budi Rivai Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis dan futsal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lebih dari 2 Dekade Telah Berlalu

12 Februari 2023   07:00 Diperbarui: 12 Februari 2023   07:04 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rani adalah mantan pacarku waktu SMA dulu. Setelah lulus kami berpisah. Aku ga tau dia ada dimana. Kami lost kontak. Sekarang aku sudah berkeluarga dan sudah memilki anak. Ah daripada penasaran, aku save nomornya dan mulai menyapanya di WA. Ternyata dia langsung merespon. Akhirnya kami ngobrol ngalor ngidul sampai tengah malam. Cerita masa lalu yang memang sangat banyak untuk diceritakan, mungkin bisa jadi novel ratusan halaman. 

Ranipun sudah berkeluarga dan juga sudah punya anak. Namun dia curhat padaku tentang keadaan rumah tangganya yang sudah tidak harmonis. Dia ingin cerai dari suaminya. Please, Ran aku ga bisa melihat kondisi kamu seperti ini. Aku kembali jadi seperti dulu saat masih SMA yang begitu sangat peduli dengannya. Bahkan kami sering ngobrol-ngobrol sampai sore, kadang di sekolah kadang di suatu tempat lain. 

Chat kami teus berlangsung sampai beberapa pekan dan sampai tengah malam. Aku terkadang merasa bersalah dengan istriku sendiri. Aku merahasiakan pertemuan dan juga chat ini darinya. Aku tahu aku salah. 

Semakin lama Rani semakin menaruh harapan padaku. Dia ingin segera bercerai dari suaminya dan berkata walaupun nantinya dia sendiri dan menjadi single parent tak mengapa, asal ada aku yang selalu bisa menemaninya. Sampai saat ini aku belum berani untuk bertemu kembali dengannya. Aku masih bingung harus berbuat apa. 

Apalah daya memang kami tak mungkin bisa bersatu kembali. Ada batasan yang tidak bisa kami lampaui. 

Semakin lama Rani semakin berani untuk mengungkapkan perasaannya padaku. Bagaimana aku harus meresponnya. Di satu sisi memang aku belum bisa move on dari dia sejak pertemuan itu lagi. 

Rani menangis saat aku slow repon di WA atau messenger. Aku tidak tega akan hal itu. Kenangan lama itu terus bergulir dalam benakku. 

Suatu hari kami melanggar janji untuk tidak bertemu, cukup hanya di chat saja. Kamipun bertemu di suatu taman. Sepertinya pertemuan itu penuh makna. Rani terlihat bahagia. Dia tertawa riang dan melupakan sejenak masalah yang menimpanya dengan suaminya. Aku hanya bisa menghiburnya. Aku sadar pertemuan ini sangatlah terlarang, ibaratnya di permainan sepak bola kami sudah terkena kartu kuning dan jika kami bertemu lagi untuk yang kedua kalinya kami akan mendapatkan kartu merah.

Setelah lebih dari 2 jam ngobrol akhirnya kamipun berpisah. Setelah itu akupun menyesal telah membuat Rani berharap padaku. Aku salah. Ya Tuhan aku berdosa telah mempermainkan perasaan Rani dan pastinya perasaan istriku jika nantinya dia tahu. 

Aku harus segera menyudahi ini semua. Walaupun terasa sulit juga bagiku. Rasa itu tidak mau pergi, begitupun Rani, dia selalu berkata "I Love You" di setiap akhir chat kami, beberapa kali aku balas "I love You, too". Namun akhirnya aku tak lagi membalas kata-kata itu lagi. Aku tak mau lagi bermain dengan perasaannya ataupun dengan perasaanku. 

Akupun memutuskan untuk tidak lagi membalas chat WA ataupun Messenger-nya. Jika ada pesan darinya langsung aku hapus. Tapi entahlah, saat aku ingin mengahapusnya aku sangat sedih. Jika kau tahu Ran, aku seperti ini hanya ingin menyelamatkan 2 keluarga yang memang harus diselamatkan. Keluargamu dan keluargaku, suamimu dan istriku, anak-anakmu dan juga anak-anakku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun