Komunikasi dalam hubungan romansa tidak pernah sesederhana susunan kata. Ucapan bisa menyampaikan cinta, bisa juga menimbulkan luka. Kadang, masalah bukan terletak pada niat yang jahat, tetapi pada perbedaan cara memahami ucapan. Hal ini menjadi perhatian dalam kajian pragmatik, khususnya melalui teori tindak tutur.
Mari kita lihat contoh nyata berikut:
Zoya: "Aku dikasih bunga loh sama temen aku. Harusnya kamu juga ngasih aku bunga."
Dean: "Ngapain aku ngasih bunga? Mending ngasih obat nyamuk."
Bagi Zoya, pernyataan itu adalah harapan akan apresiasi dalam bentuk simbolis seikat bunga. Tapi jawaban Dean justru membuatnya kecewa. Ia merasa diremehkan, bahkan tidak diprioritaskan.Â
Namun dari sisi Dean, ada niat baik yang tidak terbaca. Ia menganggap bunga hanya bersifat sementara dan akan layu jika sudah didiamkan, sedangkan obat nyamuk adalah hal yang benar-benar berguna untuk mencegah gigitan nyamuk yang bisa mengganggu tidur Zoya. Bagi Dean, itulah bentuk kasih sayang yang nyata.
Melihat Ucapan Lewat Tindak Tutur
Menurut Austin (1962), setiap ucapan memiliki tiga dimensi:
- Tindak lokusi: apa yang dikatakan (kalimat harfiahnya),
- Tindak ilokusi: maksud di balik ucapan,
- Tindak perlokusi: dampak ucapan pada lawan bicara.
Zoya berharap pernyataannya dibaca sebagai permintaan penuh harap tindak ilokusi berupa ajakan romantis. Sementara Dean menjawab dengan pernyataan representatif berdasarkan logika praktis, yang sayangnya menghasilkan tindak perlokusi berupa kekecewaan.
Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh Searle (1969), yang membagi tindak tutur ke dalam beberapa jenis.Â