Sejarah politik Indonesia sejak awal kelahirannya tidak pernah steril dari kompromi. Proses lahirnya Pancasila pada 1945 misalnya, merupakan buah perundingan panjang antar kelompok nasionalis dan Islam. Kompromi itu menjelma dalam "Piagam Jakarta" dan akhirnya melahirkan rumusan final Pancasila yang kita kenal hari ini. Pada era Orde Lama, kompromi politik ditunjukkan melalui pembentukan Demokrasi Terpimpin yang berusaha merangkul berbagai kekuatan politik, meski kemudian berakhir otoriter. Orde Baru pun, meski kerap dianggap monolitik, tetap mengandalkan kompromi dengan militer, birokrasi, dan sebagian kelompok pengusaha. Reformasi 1998 mempertegas bahwa kompromi menjadi jalan utama penyusunan konsensus nasional: mulai dari amandemen UUD 1945, penghapusan dwi-fungsi ABRI, hingga sistem multipartai. Dengan demikian, kompromi bukan sekadar strategi sesaat, tetapi telah menjadi pola berulang dalam perjalanan politik bangsa.
Dalam tradisi politik Indonesia, kompromi tidak dipandang sebagai kelemahan, melainkan sebagai refleksi nilai-nilai dasar bangsa. Pancasila khususnya sila keempat tentang musyawarah mufakat menjadi legitimasi ideologis bagi praktik kompromi. Musyawarah diartikan sebagai ruang di mana perbedaan tidak perlu dihapus, melainkan dikelola. Itulah yang membedakan politik kompromi Indonesia dengan praktik politik konfrontatif di negara-negara lain. Namun, pertanyaannya: apakah kompromi selalu sejalan dengan kepentingan rakyat? Tidak jarang, kompromi di tingkat elite hanya berfungsi menjaga keseimbangan kekuasaan, tanpa benar-benar menyelesaikan masalah mendasar masyarakat.
Fenomena aktual menunjukkan bahwa kompromi politik di Indonesia kini lebih sering terjadi di ruang elite ketimbang di ruang publik. Pembahasan RUU strategis, misalnya, kerap selesai melalui "deal" antar partai sebelum sampai ke meja publik. Pemilihan kepala daerah juga sering berujung pada kompromi antar partai yang lebih berbasis kalkulasi elektoral dibanding visi pembangunan daerah. Hal ini melahirkan paradoks: di satu sisi kompromi menjaga stabilitas politik, di sisi lain ia menimbulkan jarak antara rakyat dengan pengambil keputusan. Publik sering melihat kompromi sebagai transaksi politik yang elitis, bukan musyawarah yang inklusif.
Dalam kajian politik kontemporer, kompromi kerap dilihat melalui dua kacamata. Pertama, teori konsensus (consociational democracy) ala Arend Lijphart yang menekankan pentingnya power-sharing di negara plural seperti Indonesia. Kedua, kritik yang lebih modern datang dari tokoh seperti Chantal Mouffe yang menekankan bahwa politik justru harus mengakomodasi agonisme---perbedaan yang dikelola, bukan disamarkan lewat kompromi semu. Di sini menarik melihat analisis akademisi kontemporer seperti Nadia Urbinati (Columbia University), yang menyoroti bahaya kompromi berlebihan dalam demokrasi modern. Menurutnya, kompromi yang terlalu elitis bisa mengikis ruang deliberasi publik dan mengubah politik menjadi sekadar negosiasi kekuasaan. Pandangan Urbinati membuka perspektif baru: kompromi memang perlu, tetapi bila tidak disertai keterlibatan publik, ia justru menjadi penghalang demokrasi substantif.
Menganalisis tradisi kompromi politik Indonesia perlu pendekatan interdisipliner. Dari sisi sejarah, kita melihat pola yang berulang. Dari sisi ideologi, kita pahami nilai musyawarah sebagai basis legitimasi. Dari sisi ilmu politik, kita gunakan teori konsensus dan agonisme sebagai lensa kritis. Namun, dari sisi metodologi kebijakan publik, kompromi harus diukur melalui dampaknya terhadap masyarakat luas: apakah kompromi menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif, atau hanya menguntungkan elite? Di sinilah metodologi evaluasi kebijakan penting: kompromi yang sehat seharusnya meningkatkan kualitas kebijakan, bukan sekadar memperkuat stabilitas elite.
Kompromi memang telah menjadi tradisi politik Indonesia, mengakar sejak perumusan dasar negara hingga dinamika kontemporer. Tradisi ini berfungsi sebagai perekat di tengah keragaman, sekaligus sebagai mekanisme stabilitas. Namun, kompromi juga memiliki sisi gelap: ketika ia berubah menjadi transaksi elite yang tertutup dari rakyat. Oleh karena itu, tantangan terbesar politik Indonesia hari ini adalah bagaimana mengembalikan kompromi ke akar ideologisnya yakni musyawarah mufakat yang inklusif serta memperluas partisipasi publik dalam proses kompromi itu sendiri. Jika tidak, kompromi hanya akan menjadi ritual kekuasaan yang berjarak dari kepentingan rakyat.
Pada akhirnya, kita perlu menata ulang tradisi kompromi politik agar tidak kehilangan substansi demokrasi. Sebab, kompromi sejati bukanlah tentang siapa mendapat apa, melainkan bagaimana rakyat tetap menjadi pusat dari setiap kesepakatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI