Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masihkah Sumpah Pemuda sebagai Simbol Cinta Bahasa?

28 Oktober 2021   11:19 Diperbarui: 28 Oktober 2021   11:31 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ikustrasi Anak Sekolah (Foto oleh Agung Pandit Wiguna dari Pexels)

"Kau mencintaiku?"
"Iya, aku bersumpah. "
"Seumur hidupmu?"
"Selama cinta itu ada!"

Anggaplah ini sebuah pembicaraan serius. Antara dua orang yang memungut rasa, merakit asa, kemudian menyusunnya menjadi pigura untuk sebuah sketsa kehidupan. Sumpah atas nama cinta.

Karena hari ini, Sumpah Pemuda dan bulan ini Bulan Bahasa yang kupahami merujuk pada Bahasa Indonesia, kujadikan celotehan melalu tulisan. Kubingkai dengan kata cinta sebagai jembatan. Boleh, ya


"Mencintai" itu Urusan Rasa, Bukan Kata

Sependektahuku, susah mengukur dan menimbang rasa. Belum kutemukan alat ukur yang bisa menjadi rujukan untuk membatasi rasa. Yang bisa dilakukan hanya memilah dan memilih beragam rasa yang menawarkan aneka warna.

Hematku, ketika terujar kata mencintai. Artinya, sudah ada komitmen dari dalam diri. Apapun risiko yang dihadapi. Dorongan komitmen itu berujung janji dari diri. Mungkin juga, janji dalam hati.

Lagi, menurutku. Janji itu, lebih dominan ke dalam diri.

Maka, dibutuhkan sebuah Sumpah sebagai wadah "pembuktian" di luar diri. Sumpah menjadi peluru tambahan untuk menyakinkan unsur dan aspek di luar diri (orang lain?), atas sebuah komitmen diri yang bernama janji.

Berlakunya, sampai kapan?

Aku belum tahu! Jika cinta adalah timbunan Rasa dan Asa yang hadir acapkali tanpa diduga. Agaknya, begitu juga rutenya ketika cinta itu sirna. Dari debar menjadi debu. Dari rindu berakhir pilu. Aih, perih!

Terus, apa kaitannya dengan Cinta dengan Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa?

Ilustrasi berpegangan tangan (Foto oleh cottonbro dari Pexels)
Ilustrasi berpegangan tangan (Foto oleh cottonbro dari Pexels)


Sumpah Pemuda sebagai Simbol Cinta Bahasa?

Jika menilik alur sejarah yang telah disepakati. Poin ketiga dari "Soempah Pemoeda" pada 28 Oktober 1928 itu adalah :

"MENJUNJUNG TINGGI BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA"

Pada tahun 1928 itu. Anak bangsa masih berjalan pada rute "Perjuangan dan Pergerakan" membangun identitas sebagai saudara sebangsa. Belum sebagai sebuah negara, kan?

Dalam bayanganku, karena situasi dan kondisi yang dialami orang per orang atau kelompok pada masa itu, akhirnya melahirkan benih rasa yang sama. Berjuang dan bergerak bersama, kemudian berujung ikatan cinta. Sebagai anak bangsa.

Kalau meminjam kajian-kajian psiko-sosio, orang yang berada pada situasi atau rasa yang sama, lebih mudah saling mengikat diri. Kemudian menjadi kekuatan bersama, yang bisa saja tak terkendali.

Secara kiramologi, saat itu, mungkin banyak alasan atau adu argumentasi yang terjadi. Sehingga memilih Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Padahal, tak mengecap jalur pendidikan atau keilmuan bahasa yang sama.

Mengingat pada masa itu belum ada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia, tak Ada aturan Ejaan Van Ophuisen, Ejaan Soewandi, Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) hingga KBBI atau sejenisnya, kan?

Namun, kesepakatan untuk memasukkan item bahasa Indonesia di antara butir-butir sumpah, Menjadi keputusan pilihan serta semangat yang luar biasa. Bahasa Indonesia dijunjung untuk dijadikan "simbol" perekat!

Ilustrasi saling menjaga (foto: pexel.com)
Ilustrasi saling menjaga (foto: pexel.com)

Bahasa Indonesia Mulai Terpinggirkan?

Mungkinkah, karena telah menjunjung sumpah selama 93 tahun, kemudian anak bangsa merasa lelah. Sehingga Bahasa Indonesia mulai terpinggirkan?

Di sekolah, Bahasa Indonesia diikenal dan diingat sebagai pelajaran wajib di sekolah. Terkadang, dijelaskan oleh guru dengan tuturan Bahasa Ibu, agar mudah dicerna siswa.

Di rumah, Bahasa Indonesia bersaing dengan bahasa ibu yang digunakan oleh orangtua dan lingkungan sekitar. Apatah lagi, pasangan milenial, mulai marak memilih pemakaian Bahasa Asing sebagai menu pengantar percakapan dalam keseharian.

Di dunia literasi? Bahasa Indonesia menyamar dalam pilihan bahasa yang semakin kaya. Jika tulisan atau artikel populer, mungkin tak banyak yang mempermasalahkan.

Namun, bagaimana dengan Kajian ilmiah Bahasa atau Buku Naskah akademik yang dianggap sebagai "penjaga" sekaligus "pisau bedah" bahasa Indonesia?

Kuajukan satu contoh. Jika ingin diterbitkan di ranah bergengsi sebuah jurnal penelitian, katakanlah sekalipun hasil penelitian "Penggunaan Bahasa Indonesia", maka akan ada saran atau titipan pesan dari pengelola jurnal:

"Jangan lupa, buat abstraks dalam bahasa Inggris, ya?"

Terus, bagaimana keadaan bahasa Indonesia dalam interaksi sosial di "dunia nyata " dan di media sosial yang jamak dengan sebutan "dunia maya"?

Kukira, suka atau tidak suka, mau atau tidak terima, rela atau tidak rela, Bahasa Indonesia sudah menjadi sebuah piring besar yang tersaji di meja hidangan. Dengan tulisan menu : "Gado-gado"

Terus?

Jika di Kepramukaan. Malam tanggal 14 Agustus, sebelum memperingati hari Pramuka, dikenal sebuah kegiatan bernama "Ulang Janji".

Apatah pada hari ini, kita tak hanya membaca dan mengingat peristiwa Sumpah Pemuda. Tapi, juga perlu melakukan "Ulang Sumpah"?

Aih. Terkadang, mengulang cinta lebih mudah daripada menanti cinta yang berulang, kan? Ahaaay...

Curup, 28.10.2021
Zaldy Chan
(ditulis untuk Kompasiana)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun