Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Ada Kalimat "Seperti Duri dalam Daging"?

2 April 2021   21:57 Diperbarui: 2 April 2021   22:33 1583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Duri (sumber gambar: pixabay.com)

"Seperti duri dalam daging!"

Duh, kalimat menusuk ini acapkali terujar, kan? Hematku, tak akan ada yang bersedia dianggap duri. Dan, tak pernah ada satu orang pun yang ikhlas dan rela sepenuh jiwa  tertusuk duri, tah?

Kenapa malah duri menjadi pelampiasan dari pengandaian rasa amarah atau emosi? Terus, apa salah duri?

Biar terlihat adil, kali ini kutulis sekilas fungsi yang dimiliki duri serta menilik makna filosofi duri, ya?

Landak salah satu hewan berduri (sumber gambar: pixabay.com)
Landak salah satu hewan berduri (sumber gambar: pixabay.com)
Mengulik Fungsi dan Filosofi Duri

Secara teori dan juga termaktub dalam Kbbi, Duri itu tajam, kaku atau runcing. Acapkali ditemukan pada tumbuhan atawa hewan. Setidaknya, ada tiga fungsi duri.

Pertama. Perlindungan.

Agaknya, ini fungsi awal duri. Sebagai unsur perlindungan diri. Kukira, bunga mawar  contoh yang paling sering dan cocok untuk menjelaskan fungsi ini.

Bunga mawar dianggap sebagai simbol cinta. Jika ingin memetiknya tapi tak ingin tersakiti dan terluka, maka berusaha dan berjuanglah menghindari durinya!

Kedua. Pertahanan.

Sesungguhnya, cangkang kura-kura yang kuat dan keras. Bisa dijadikan fungsi pertahanan. Tak hanya sekadar alat perlindungan diri, namun juga sebagai benteng pertahanan terhadap serangan para pemangsa.

Tetapi, jika kita membahas tentang duri. Maka Binatang seperti landak menjadi contoh yang tak terbantahkan. Duri landak, berfungsi sebagai pertahanan sekaligus senjata mematikan!

Ketiga. Penguatan.

Bayangkan jika ikan tanpa tulang? Begitulah fungsi tulang-tulang halus pada ikan khususnya berukuran kecil. Bagi mereka untuk penguatan diri.

Namun fungsi duri ikan sebagai penguat tubuh itu, bagi kita malah menjadi sumber masalah. Duri pada ikan itu, acapkali menyakiti gusi, tenggorokan atau jemari.

Kukira, secara pikiran gampang, sangat mudah menghindari duri. Jangan pernah bersikap serampangan alias aktif pakai bingits! Jadi, kenapa memilih menyalahkan duri yang pasif?

Padahal duri memiliki filosofi sederhana. Kalau bahasa kampungku, "JANGAN DIGANGGU, TAK AKAN MENGGANGGU!"

Artinya, tak akan tertusuk duri mawar, jika menjauh atau hati-hati memetiknya. Tak akan diserang landak, jika tak mengganggunya. Dan akan aman dari duri ikan jika tak memakan atau menyentuhnya.

Bayangkan, jika hal itu terjadi dalam interaksi. Kehidupan akan harmoni, kan?

"Tapi tak sesederhana itu, Bang!"

"Kenapa?"

"Kadang, Kita terjebak pada situasi yang sulit dihindari!"

Ilustrasi Toleransi (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi Toleransi (sumber gambar: pixabay.com)
Mengulik Kompromi Diri

Ketika merasa suka, merasa diterima, merasa menikmati kebersamaan, merasa mampu mengabaikan perbedaan. Salahkah, kemudian secara diam-diam atau sadar berujung ungkapan cinta? Bagaimana jika ditolak?

Saat merasa tak suka, merasa tak lagi diterima, merasa kebersamaan adalah paksaan, dan perbedaan merupakan kesalahan. Salahkah, ada keinginan lebih baik melupakan? Bagaimana jika tak bisa?

Begitulah! Akan selalu ada situasi yang melibatkan kompromi atau tanpa kompromi, karena dorongan kesadaran dan keinginan, bisa saja dalam kendali diri. Tapi bagaimana jika tombol kendali itu berada di luar diri?

Kuberikan tiga contoh pilihan. Ketika seseorang menemukan situasi dilanda kehausan yang dahsyat.

Pertama.

Apapun bentuk dan kemasannya, akan menikmati regukan air. Tak peduli apatah mentah atau butuh bertanya, siapa pemiliknya. Pun tak peduli, apatah menikmati itu dengan pelan-pelan atau serabutan. Dengan alasan, "kondisi darurat! Apapun boleh dilakukan!"

Kedua.

Ada yang berusaha untuk merebus air hingga mendidih dengan alasan kesehatan dan kebersihan, kemudian menunda rasa haus dengan sabar mendinginkannya. Walau memiliki daya tahan, akan berjuang dari hujatan, "Kalau butuh yang dingin, kenapa tadi dipanaskan?"

Ketiga.

Ada juga yang memilih bertahan dengan kehausan. Menganggap itu bagian dari "puzzle" cobaan kehidupan. Atau bisa jadi, menunggu uluran tangan dan belas kasihan. Kemudian terjebak dalam pilihan kutub tanya, "Itu tindakan kepahlawanan atau kebodohan?"

Bisa saja, ada poin keempat, kelima dan seterusnya. Ketika dihadap-hadapkan antara suka-tidak suka, diterima-ditolak, kebersamaan-paksaan atau perbedaan adalah kesalahan. Iya, tah?

Ilustrasi Pohon Cinta sumber kompromi (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi Pohon Cinta sumber kompromi (sumber gambar: pixabay.com)
Terus?

Terkadang, kesadaran pada kemampuan berbanding terbalik dengan keinginan. Hingga, kompromi menjadi kata kunci untuk kehadiran sebuah toleransi. Bukan malah menjelma menjadi duri, yang kemudian secara perlahan dan pasti menyakiti.

Caranya? Aku belum tahu!

Bilang orang-orang yang lebih tua, kompromi akan terbukti, ketika kebijakan melahirkan kebajikan. Dan, keputusan hadir bukan dari keputusasaan. Aduhaaay...

Curup, 02.04.2021

Zaldy Chan

[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun