Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menakar "Jebakan" Rasa Tanggung Jawab

22 Maret 2021   07:15 Diperbarui: 22 Maret 2021   12:48 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Papan Catur (sumber gambar: pixabay.com)

Sejak tiga bulan lalu, ada penghuni baru di rumahku. Seekor anak kucing berwarna oranye, ditemukan ibuku di depan pintu usai pulang salat subuh dari masjid. Tentu saja, tubuh hewan sebesar kepalan tinju orang dewasa itu, bukan petualang yang tersesat. Tapi makhluk terbuang dari rasa yang tersendat.

Tanpa tahu pemilik, tanpa kenal orang tua, tanpa akte kelahiran, dan tanpa butuh beragam alasan. Ibuku memutuskan untuk memelihara makhluk kecil itu. Kucing kecil itu pun diberi nama kehormatan "Olens". Sebagai bagian dari sebuah tanggung jawab sesama makhluk Tuhan.,

Rasa tanggung jawab yang harus dibayar dengan perlakuan khusus untuk susu serta jenis makanan. Juga hadir kekacauan-kekacauan minor yang ditimbulkan oleh si Olens. Semisal keributan tentang kotoran yang ditemukan di sembarang tempat.

"Biarlah! Kasihan. Tak ada yang mengajari. Induknya, gak ada!"

Kalimat itu adalah argumentasi ibuku, yang diterima tanpa bantahan oleh semua penghuni rumah. Olens pelan-pelan "membayar" pembelaan ibuku. Tak lagi buang kotoran sembarangan dan punya kebiasaan baru mengantar juga menyambut Ibuku di depan pintu jika keluar rumah.

Usai tiga bulan, si Olens menjelma menjadi hewan peliharaan yang lucu dan menggemaskan. Tak berhenti di situ. Semua penghuni rumah, mesti bersiap-siap menerima tanggung jawab yang baru lagi. Sebab, si Olens adalah kucing betina!

Begitulah! Terkadang tak mudah, ketika merasa bertanggung jawab. Akan timbul risiko-risiko yang bisa saja tak terduga.

Ilustrasi kucing si Olens (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi kucing si Olens (sumber gambar: pixabay.com)
Menilik Rasa Tanggung Jawab pada Kasus Dewa Kipas versus Ghotam Chess

Kali ini, contoh lain rasa tanggung jawab, kuajukan dari kasus viral khususnya dunia catur. Usai pertarungan pada tanggal 2 Maret 2021 melalui situs catur online, antara Master Internasional Catur dengan nama akun Gotham Chess melawan pecatur amatir asal Indonesia dengan akun Dewa Kipas.

Sesiapapun pecinta catur. Baik pemain profesional hingga pemain amatir kelas warung kopi akan memahami. Kekalahan atau kemenangan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja. Langkah teoritis bisa menjadi blunder, ketika ternyata sinyal ngadat atau malah slip mouse. Dan itu jamak terjadi.

Namun, hasil dari partai online dengan durasi 10 menit yang berakhir untuk kemenangan akun Dewa Kipas itu, berlanjut pada pertarungan dalam bentuk lain. Tak lagi di papan catur. Berpindah ke portal berita dan media sosial.

Hematku, kasus ini menjadi viral karena rasa tanggung jawab dengan fungsi dan tujuan berbeda. Aku tulis, ya?

Pertama. Rasa Tanggung Jawab Pemilik Situs.

Bisa jadi, hasil pertarungan antara akun Gotham Chess dan akun Dewa Kipas menjadi pemacu keputusan dari pemilik situs untuk menutup akun Dewa Kipas. Usai menyigi jejak tarung yang dilakukan, dan diduga terjadi "kecurangan" saat melakukan pertarungan.

Pihak Chess.com tentu saja merasa bertanggung jawab dan memiliki kewajiban untuk menjaga kepercayaan dan fair play bagi seluruh penggunanya, kan? Sebagai salah satu situs catur online terbesar, tindakan menutup akun itu, tentu saja bukan asal tutup, tah?

Kedua. Rasa Tanggung Jawab Anak.

Kasus ini tak akan viral, jika tak ada status sang anak di Facebook yang mengeluhkan penutupan akun Dewa Kipas oleh pemilik situs usai kemenangan sang Ayah melawan seorang Master Internasional catur. Dan menduga, ada pihak-pihak yang melaporkan akun Dewa Kipas milik sang Ayah.

Status tersebut, bisa dipahami sebagai keluhan sekaligus media pembelaan seorang anak, ketika merasakan "ketidakadilan" yang dialami sang Ayah. Mungkin saja, usai menulis status tersebut, sang anak tak menduga akan menjadi bola salju yang menggelinding semakin lama semakin besar.

Ketiga. Rasa Tanggung Jawab Netizen +62

Dengan kredo "Netizen maha benar" dan rumus "Netizen segala tahu", siapapun enggan berhadapan dengan netizen. Sesuatu yang mudah bisa menjadi susah, suatu yang kecil dengan cepat bisa menjadi besar, atau malah sebaliknya. Semua bisa dilakukan oleh netizen.

Isu ketidakadilan dan rasa nasionalisme diusung Netizen, kemudian "menyerbu" semua akun media sosial milik Gotham Chess yang dianggap "pelapor" hingga berujung tutupnya akun Dewa Kipas. Beragam interpretasi dan telaah yang dilakukan para praktisi catur untuk menetralisir keadaan pun menjadi mubazir.

Keempat. Rasa Tanggung Jawab Deddy Corbuzier.

Penikmat Youtube, kukira pasti mengenal podcast Deddy Corbuzier. Selain memiliki belasan juta pengikut, podcast tersebut juga membahas segala macam isu-isu kekinian plus memiliki kemampuan menghadirkan narasumber yang tergolong A1. Silakan lihat deretan tokoh yang hadir di chanel itu.

Ada ujar-ujar, kalau mau klarifikasi masalah di Indonesia, silakan tonton Podcast Deddy Corbuzier yang kadung "dianggap" sebagai sarana untuk klarifikasi. Mungkin bagi Deddy, ini adalah bentuk dari rasa tanggung jawab. Sehingga mengundang pemilik akun Dewa Kipas yang didampingi sang anak untuk melakukan klarifikasi.

Kelima. Rasa Tanggung Jawab Irene Kharisma Sukandar.

Sebagai praktisi sekaligus Grand Master Wanita pertama milik Indonesia. Pemilik akun Chess "Ikhasu" ini, tentu saja merasa bertanggung jawab menjaga marwah dunia catur Indonesia yang digelutinya sejak masih anak-anak.

Irene kemudian menulis dan menerbitkan surat terbuka yang ditujukan untuk Kemenpora, KOI, Percasi dan juga untuk Deddy Corbuzier. Sekali lagi, Podcast Deddy memberikan ruang untuk Irene memberikan uneg-uneg, di kesempatan yang sama juga menghadirkan Gotham Chess. Luar biasa, kan?

Ilustrasi menjadikan dunia lebih baik (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi menjadikan dunia lebih baik (sumber gambar: pixabay.com)
Menyelesaikan atau Memecahkan Masalah?

Namun, khas Indonesia. Terkadang berniat untuk menyelesaikan masalah, malah terjebak dalam kondisi memecahkan masalah. Sehingga masalahnya menjadi bertambah. Hasil dari klarifikasi di Podcast Deddy Corbuzier itu, tak hanya berisi penjelasan pihak yang terlibat. Namun juga tantangan dwi tarung!

Lucunya, dwi tarung itu bukan antara Dewa Kipas dan Gotham Chess yang disinyalir sebagai pemicu kasus viral, juga sebagai langkah paling logis untuk membuktikan sekaligus pembelaan diri jika benar-benar tidak melakukan kecurangan. Tetapi antara Dewa Kipas vis a vis dengan WGM Irene Kharisma Sukandar!

Pemilik akun Gotham Chess dengan halus menolak dwi tarung. Alasan prinsipnya, selain akun Dewa Kipas sudah ditutup, pertarungan itu juga tak akan menghasilkan apapun. Dan menjelaskan bahwa penutupan akun itu, bukan sebab dari dirinya.

Sebaliknya, bagi Pemilik Akun Dewa Kipas, dwi tarung menjadi ajang membela kehormatan diri. Kemenangan pada dwi tarung sebagai pembuktian, walau tak ada jaminan akun Dewa Kipas bisa kembali dibuka. Kekalahan pun akan menjadi sebuah kewajaran, karena berhadapan dengan pecatur profesional Indonesia.

Bagi Irene Kharisma Sukandar, Dwi tarung itu menjadi bak simalakama. Jika menang akan dimaklumi, karena sosoknya sebagai atlet nasional Indonesia. Jika kalah, akan tersudutkan, karena terlibat sebagai "orang ketiga". Akhirnya, beban lebih besar ada di pundak Irene. Tak ada pilihan selain kemenangan.

Podcast Deddy Corbuzier? Akan tetap menjadi rumah dengan banyak pintu dan jendela.

Terlepas dari atensi dan jumlah uang yang tersedia dari dwi tarung antara Irene dan Dewa Kipas. Deddy Corbuzier sudah menjalankan fungsinya. Memberi ruang bicara secara terpisah kepada Dewa Kipas, Irene, dan pemilik akun Gotham Chess. Serta menjadi inisiator untuk dwi tarung. Tapi bukan Ghotam Chess!

Apakah hasil dwi tarung akan menyelesaikan akar masalah? Aku pribadi meragukan itu. Kecuali, Deddy Corbuzier memiliki jejaring ke pihak pengelola situs Chess.com. Semisal, jika dwi tarung tersebut dimenangkan Dewa Kipas, maka akun miliknya bisa dipulihkan. Entahlah!

Yang aku yakini, apapun hasilnya, dwi tarung tersebut, akan menjadi "sawah" baru yang bisa dicangkul, disemai dan dipanen atau diolah dalam bentuk baru lagi oleh netizen.

Ilustrasi etika di antara benar dan salah (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi etika di antara benar dan salah (sumber gambar: pixabay.com)
Jadi?

Terkadang, rasa tanggung jawab itu menjadi perangkap sekaligus jebakan. Seperti rasa tanggung jawab ibuku yang memutuskan untuk memelihara si Olens dengan menerima segala risiko yang ditimbulkan.

Walau dengan kisah yang berbeda. Rasa tanggung jawab ini pula, yang bersedia dipanggul oleh Grand Master Wanita Pertama Indonesia Irene Kharisma Sukandar.

Dan, bisa saja, suatu saat akan menimpa aku atau pembaca. Hiks..

Curup, 22.03.2021

Zaldychan

[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun