"Jadi Presiden, Pak!"
"Bagus! Siapa yang ngajari?"
"Ibu."
Tawa memenuhi ruang kelas. Hanya sesaat. Kemudian senyap. Usai mendengar satu ketukan keras mistar panjang berbahan kayu dari meja guru.
Mata Pak Masnar memenuhi kelas. Kutatap dua wajah anak perempuan yang duduk di barisan paling depan. Keduanya langsung tertunduk. Beberapa anak laki-laki yang duduk di barisan paling belakang pun, memilih diam.
"Luar biasa! Rajin-rajin belajar, Nak! Biar cita-citamu tercapai.""
Pak Masnar bangkit dari duduk, segera berdiri di samping kananku. Tangan kirinya menyentuh bahu kiriku. Tangan kanan Pak Mastar, mengusap kepalaku. Pelan. Sejenak, kurasakan matanya menatapku, dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Duduklah! Sebelum jadi Presiden, kau belajar mengunci restleting celanamu dulu, ya?"
***
Aku masih mengingat bisikan pelan Pak Masnar, sayup menyelinap di telingaku hari itu. Senyum penuh arti dari Pak Masnar, pada hari pertama aku menjadi murid baru, meruntuhkan kesombonganku. Berganti dengan rasa malu.
Aku pun mengenang ketukan keras dari mistar panjang berbahan kayu itu. Bunyi ketukan itu adalah cara Pak Masnar menyelamatkanku dari rasa malu. Padahal, bilang ibuku, bercita-cita menjadi presiden itu, pasti dianggap anak yang pintar. Aku setuju.