Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Titik Kritis Sebuah Kritik

9 Februari 2021   20:15 Diperbarui: 11 Februari 2021   08:15 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kritik (sumber gambar: pixabay.com)

"Anda bukan kritis, tapi asal nyablak!"

"Belajar lagi! Jangan asal bunyi!"

"Kenapa Anda nyaman dengan kedunguan?"

Pernah mendengar parade kalimat "ajaib" seperti itu? Acapkali, dalam forum diskusi kritis, tiba-tiba mengalami jalan buntu saat beradu dan menguji sebuah argumentasi. Kalimat itu terlontar liar. Ujug-ujug menemukan solusi, malah menyulut konfrontasi.

Kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu. Bertujuan untuk meningkatkan pemahaman, meluaskan apresiasi serta membantu memperbaiki pekerjaan.

Berpijak dari pengertian di atas, ada dua poin dalam melakukan kritik. Pertama, melalui analisis dan evaluasi. Kedua. Memiliki tujuan membantu. Jika merujuk pada batas pengertian itu. Di luar tahapan itu? Bukan sebuah kritik.

Mengutip id.wikipedia.org. Kata kritik berasal dari bahasa Yunani, Kritikos yang berarti "dapat didiskusikan". Akar katanya adalah Krenein yang berarti; memisahkan, mengamati, menimbang dan membandingkan.

Makna kritik sedikit berbeda tercantum dalam kbbi.web.id. yang menyatakan kritik adalah "kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya, pendapat dan sebagainya". Bedanya? Kata "kecaman" yang lebih dominan bermakna mencela.

Akhirnya, berujung menyudutkan dan menyalahkan. Bahkan lebih parah lagi membunuh karakter seseorang!

"Itu seni dalam diskusi, Bang!"

"Bukannya seni itu indah?"

Ilustrasi disain kritik di kepala (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi disain kritik di kepala (sumber gambar: pixabay.com)
Tiga Ornamen Kritik

Apa pun jalan yang digunakan. Baik melalui lisan atau tulisan. Hematku, ada tiga ornamen dalam sebuah kritik.

Pertama. Pemberi Kritik.

Masa sekolah dulu, temanku yang sering memberi kritik diganjar dengan julukan "siswa kritis". Biasanya, disukai guru. Karena aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Tak jarang, ada kebanggaan tersendiri jika mendapat gelar itu.

Guruku selalu mengingatkan. Jangan asal kritik. Jika menyanggah atau mengajukan kritik. Mesti paham dan mengerti dulu jadi, akan bermanfaat. Rumusnya jelas, "Jangan pernah mengkritik yang kamu sendiri tak mengerti".

Menurutku, aroma dan fenomena kritik saat ini tak lagi begitu. Tak harus menyerap beragam informasi, menganalisis dengan proses "triangulasi", baru bersuara. Cukup membaca judul, sudah bisa mengkritik isi. Kritik menjadi penyakit "latah" yang menular.

Kedua. Penerima Kritik.

Jika menulis bab penutup sebuah karya tulis, berupa skripsi, tesis atau disertasi. Ada pakem yang harus dimasukkan. Kurang lebih dengan kalimat, "Peneliti (penulis) menerima kritik dan saran yang konstruktif untuk kesempurnaan penelitian (penulisan) ini."

Begitu pun dengan pejabat atau pimpinan perusahaan. Berani, yakin dan tak sungkan dengan ungkapan, "akan terbuka dan siap menerima kritik". Aku tak akan menyigi faktanya, apakah demikian?

Logikanya, jika "mengundang" kritik. Artinya menyadari ada kekeliruan, tah? Semakin banyak kritik, semakin banyak yang keliru. Sebab, tak akan hadir kritik dalam sebuah kebenaran.

Ketiga. Materi kritik dan cara menyampaikan kritik.

Dua hal ini, seperti mata uang yang bergelut dan saling berkelindan. Ada kalanya, isi kritiknya bagus, tajam dan membangun. Namun cara menyampaikannya kasar dan sarkasme. Maka tujuan kritik tak akan terpenuhi. Sebab, perasaan mengalahkan logika. Dan itu manusiawi, kan?

Sebaliknya. Ada yang bertutur dengan sopan, lemah lembut, diniatkan sebagai kritikan. Tapi tanpa isi! Seperti menonton pertandingan klub Barcelona, tapi duduk di kursi paling atas stadion Camp Nou. Yang terlihat hanya titik-titik. Dan ikut teriak saat terjadi gol!

Lebih gawat lagi. Jika berhadapan dengan kritikus yang "asal sorong". Pembahasan tentang apa, penjelasan arahnya ke mana. Namun, merasa senang, ketika mendapat atensi banyak orang. Contoh? Aih, temukan sendiri aja, ya?

ilustrasi Dampak negatif dari Kritik (sumber gambar: pixabay.com)
ilustrasi Dampak negatif dari Kritik (sumber gambar: pixabay.com)
Kritik Sebatas Reaksi?

Sependektahuku. Kritik tak hanya berhenti pada tuturan lisan dan tulisan. Namun juga berujung aksi agar terjadi perubahan. Tak hanya skala kecil, namun juga berdampak secara global.

Penyuka sejarah, akan mengingat aksi long march yang dipimpin Mahatma Gandhi. Dikenal dengan istilah Ghandi Salt March (Tahun 1930). Aksi ini, akibat Undang-undang Salt Act yang melarang jual beli garam bagi negara koloni Inggris. Tahun 1947, aturan tersebut dihapus.

Di Jerman, ada aksi "The Monday Demonstration", dalam durasi panjang (1982-1989). Bermula dari pesan perdamaian di sebuah gereja, kemudian menarik banyak pengikut. Hingga mampu meruntuhkan Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur.

Di Indonesia? Angkatan 66 menjadi pilot gerakan perubahan dalam aksinya usai peristiwa G30 S/PKI. Aksi itu melahirkan Tritura. Aksi angkatan 98 menjadi Gerbang Reformasi. Jangan lupa aksi Malari (1974). Ada juga aksi menolak RUU KUHP, UU KPK dan Omnibus Law (2019).

Ajuan aksi di atas, hematku sebagai muara dari "tersendatnya" komunikasi dan manajemen kritik plus manajemen krisis. Mulai dari pusat-pusat kekuasaan hingga lingkaran terluar kekuasaan. Dan bisa menjadi bola liar, bahkan menciptakan kondisi tak terduga.

Ilustrasi memahami diri sendiri (sumber gambar; pixabay.com)
Ilustrasi memahami diri sendiri (sumber gambar; pixabay.com)
Titik Kritis Sebuah Kritik

Saat ini, kehebohan demi kehebohan datang dan pergi di ruang publik. Silakan lihat pemberitaan di media elektronik, atau membaca di media cetak. Belum lagi media massa online dan media sosial yang menemani hingga ke kamar tidur.

Apa pun, bisa melahirkan kritik. Penganut kritik latah, akan berduyun-duyun ikut serta. Semisal ada pejabat yang dikritik, seketika ada yang membela. Malah dikritik balik. Akhirnya, tak lagi ada yang berani mengkritik atau membela. Begitu juga sebaliknya, tah?

Jika kritik liar dibiarkan meraja lela. Semua pihak, tak lagi sekadar adu argumentasi, adu mulut dan adu telunjuk. Namun, bakal menjurus baku pukul! Maka kekacauan atau kejatuhan tinggal menunggu waktu.

 "Mungkin itu risiko figur publik, Bang?"

Menurut Aristoteles. Cara menghindari kritik itu adalah; "tidak melakukan apa-apa, tidak mengatakan apa-apa, dan tidak menjadi apa-apa".

Pertanyaannya, saat ini adakah orang seperti yang diujarkan Aristoteles?

Curup, 09.02.2021

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Taman Baca :

1. Pengertian Kritik  2. kata kritik dalam kbbi.web 3. Demo terbesar dalam sejarah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun