Panen yang gagal, berita dan cerita yang tak henti tentang virus corona yang mengancam, serta bayangan sebentar lagi puasa dan lebaran. Â Pelan-pelan menjadi beban pikiran.
Curah hujan dan perubahan cuaca ekstrim sekalipun, biasanya akan dihitung sebagai resiko bagi petani pemilik atau petani penggarap. Namun sejak "bola salju" kisah pandemi virus corona, menjadikan resiko itu semakin besar dan berat.
Banyak mata rantai yang terputus mulai dari ketersediaan bahan baku hingga kegiatan produksi serta distribusi yang terhambat dan menjadi langka di pasaran.
Hal itu, mengakibatkan harga kebutuhan pokok yang biasanya melonjak saat memasuki ramadhan, maka sejak pandemi virus corona, melonjak lebih awal. Sila survey kecil-kecilan harga gula, minyak, beras atau gas elpiji di lingkungan masing-masing. Â
Apalagi jika semua anggota keluarga berkumpul di rumah, bahkan yang merantau "dipaksa atau terpaksa" pulang kampung, membuat kebutuhan rumah tangga sehari-hari meningkat.
"Yang penting sehat dan bisa makan, sudah bersyukur, Bang!"
Kukira, tiga ungkapan di awal tulisan terasa "menusuk", ketika siklus hidup keseharian menjadi terganggu serta dihadapkan dengan perubahan perilaku masyarakat di kampungku.
Terus, apalagi saat mendengar wacana relokasi anggaran yang bersumber dari APBN untuk percepatan pencegahan dan penanganan virus corona dengan melakukan potongan gaji. JIka tunjangan jabatan yang bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta, mungkin tak masalah. Tapi kalau ASN? Â Itu serius?
Bukan rahasia lagi, jika ada (bila salah, kutuliskan "banyak") di antara ASN yang memegang teguh makna filosofis lagu Bung Rhoma Irama, "Gali lobang tutup lobang, pinjam uang bayar hutang!"