Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kenapa Minat Belajar Anak Sering Berubah?

14 Januari 2020   12:53 Diperbarui: 15 Januari 2020   16:14 2407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

"Kenapa minat belajar anak sering berubah? Dulu sangat suka pelajaran A, sekarang malah gak suka?"

Kalimat ini, adalah pertanyaan awal dalam sebuah diskusi WAG parenting yang kuikuti. Kemudian mengalirlah cerita dan kisah berdasarkan pengalaman masing-masing dari anggota grup. Aku tulis saja refleksiku, ya?

Sebagai orangtua, aku menyaksikan proses perubahan minat belajar dari anakku Rizqy, yang biasa kusapa Kakak. Khususnya di sekolah. Sejak masa taman kanak-kanak (TK) hingga sekarang duduk di kelas 4 Sekolah Dasar (SD).

Saat di TK, Walaupun sudah mulai mengenal huruf dan angka. Dari beberapa buku panduan sekolah,  ternyata anakku lebih menunjukkan minat pada pembelajaran mewarnai. Bisa jadi, karena itu adalah saluran imajinasi anak atau karena lebih gampang!  

Karena secara teoritis, salah satu peran orangtua, membantu anak menemukan minatnya. Maka semampunya, kusiapkan kebutuhan peralatan melukis dan mewarnai. Termasuk puluhan buku mewarnai, pilihannya adalah berbagai tokoh kartun yang disaksikan di layar TV.   

Ketika masuk  SD, dan anakku sudah bisa membaca. Malah malas membaca. Begitu juga dengan minat mewarnai yang mulai berkurang. Padahal sudah kusiapkan buku gambar. Juga mencari via youtube tutorial melukis dan mewarnai untuk anak-anak.

Anakku lebih suka pelajaran matematika! Apalagi di sekolah, khusus kelas satu ada program pelatihan sempoa. Maka hari-harinya dipenuhi dengan menaklukkan angka-angka.Aku bahagia? Iya! Karena aku barisan belakang kalu pelajaran eksakta. Hihi...

"Kenapa suka matematika, Kak?"

"Pelajaran bahasa, nulisnya banyak, Yah! Capek!"

Akupun kembali mencari perangkat pendukung buat pelajaran matematika. Tentu saja salah satunya, video tutorial. Namun, hal itu hanya bertahan sampai kelas dua.

Bisa jadi karena panduan kurikulum, bahawa pelajaran matematika sudah menggunakan varian rumus. Mulai dari penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Ketika kelas tiga, malah bilang lebih suka pelajaran bahasa Indonesia.

"Pelajaran matematika tambah susah, Yah! Bikin pusing!"

Itu jawaban yang kudapatkan, saat kutanyakan. Sekarang, saat kelas empat. Malah suka olahraga! Alasannya, sederhana. "Seru, Yah! Bisa main bola!"

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Duduk, Diam dan Dengarkan

Tak hanya di lembaga legislatif, rumus duduk, diam dan dengarkan itu, pada praktiknya, banyak terjadi dalam proses pendidikan formal. Mulai dari dunia pendidikan tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Walau tak semua, ya?

Bisa dimengerti, jika pendidik atau guru mengalami kesulitan dalam memanajemen kelas. Guru mesti mengelola dan berhadapan dengan puluhan siswa yang berbeda kemampuan. Serta memastikan pengetahuan diberikan sesuai jadual yang diberikan. Belum lagi, jika mengulas ragam kebutuhan dan keterbatasan yang acapkali diungkapkan.

Magnet dari pengetahuan adalah rasa ingin tahu. Bisa karena takjub atau penasaran. Namun rasa ingin tahu itu, seiring sistem dan panduan pendidikan yang dibuat berbasis kurikulum. Akhirnya terbentur tembok tebal berbentuk bermacam rumus-rumus dan deretan pengertian.

Semisal kasus anakku. Dengan alasan belajar bahasa membuat capek, karena menulis terus. Akhirnya memilih matematika. Karena sedikit menulis. Seiring waktu, karena beban nbahan ajar semakin rumit dan sulit, pindah ke pelajaran Bahasa. Terus, saat belajar bahasa mulai mengenal tata baku kaidah berbahasa. Anakku pindah haluan ke pelajaran olah raga.

Jika dulu, anak-anak saat kecil suka mendengar dongeng. Dan tahu, itu berasal dari buku bacaan. Idealnya akan menggemari pelajaran bahasa Indonesia, apalagi materi membuat karangan. Agar mampu membuat cerita atau dongeng sendiri, kan?

Yang terjadi? Perjalanan imajinasi dan petualangan akan pengetahuan perlahan mati, gegara kaidah yang baku dan membuat beku. Hal ini malah memicu tumpulnya kreatifitas dan inisiatif dari anak.

Apatah lagi, jika hal yang sama dihadapi anak di rumah. Minim komunikasi, ragam pertanyaan terabaikan. Merasa percaya anak mampu mencari jalan keluar sendiri dengan masalah yang dihadapi. Dengan alasan, belajar mandiri. Hiks...

Pertanyaan anak yang diabaikan. Anak yang dilabeli cerewet. Juga, pemaksaan anak untuk belajar materi yang dianggap penting orangtua. Juga menentukan cara belajar yang harus dilakukan. Tuh, kan?

Illustrated by pixabay.com
Illustrated by pixabay.com
Apa yang bisa dilakukan orangtua, untuk tetap memelihara keingintahuan dan api semangat belajar anak?

Aku percaya. Anak adalah pembelajar alami yang selalu tertarik pada hal-hal yang ada di sekitarnya. Semua kegiatan, bisa dijadikan pembelajaran. Ketika main game, Jalan-jalan sore, kegiatan menanam pohon, memancing atau kegiatan alam lainnya.

Dalam percakapan di WAG itu. Salah satu kuncinya terletak pada proses refleksi. Acapkali, proses belajar sebagai satu kegiatan yang sekedar dijalankan. Padahal refleksi menjadi pembeda dan penanda proses belajar. Karena refleksi membangkitkan kesadaran.

Ketika mengajak anak menjenguk teman sekelas yang sakit. Kemudian proses kunjungan itu dieksplorasi dan guru mengajak melakukan refleksi. Malah melebihi pelajaran moral yang ada di buku teks pelajaran.

Makna atau pemaknaan merupakan pertemuan antara teks dengan realitas subjektif (pengalaman, pengetahuan, rujukan, kebutuhan dan kepentingan) sang pemakna.

Mungkin saja, saat pulang ke rumah. Ketika anak bercerita tentang kegiatan di sekolah, orangtua memancing dan membimbing anak melakukan refleksi. Melalui proses refleksi, kita dan anak-anak kita akan belajar menjalani hidup dengan sadar (mindful).

Tak ada salahnya. Jika guru dan orangtua. Tak hanya memberikan materi dan bahan ajar yang dianggap penting bagi anak. Tapi, tak lupa untuk melakukan refleksi dan membimbing anak belajar melakukan refleksi.

Kukira, esensi dari Merdeka Belajar yang sekarang jamak digaungkan, adalah bagaimana "membantu" anak memilih cara belajar dan serta mampu menemukan pembelajaran dengan cara mereka sendiri. Agar tak terjebak pada kalimat di bawah ini.

"Problem belajar pada anak mulai terjadi, saat orang dewasa menentukan apa yang harus dipelajari dan bagaimana cara belajar anak."

Curup, 14.01.2020

zaldychan

[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun