"Saat suatu hubungan berakhir, bukan berarti dua orang berhenti saling mencintai. Mereka hanya berhenti saling menyakiti." Â [RA. Kartini]
"Dulu aku begitu mengaguminya. Mencintai dengan sepenuh hati. Kujaga kepercayaan dengan segala pengorbanan. Namun, akhir-akhir ini, dia susah dihubungi. Selalu banyak alasan jika ditanyai. Akhirnya kusadari, jika dia mengkhianati. Aku benci melihatnya. Lebih baik hubungan ini berakhir. Kalau saja mampu. Akan kuhapus dia beserta kenangan itu dari dunia!"
Anggaplah ini monolog dalam satu sinetron. Ahaay! Kucoba berandai menjadi truk sampah dari keluh kesah seorang teman. Kudapati tiga pertanyaan hasil memijah monolog diatas.Â
Pertama; Jika saling mencintai, mengapa hubungan itu menyakitkan dan harus diakhiri? Kedua; jika kemudian  menyakiti, mengapa acapkali melupakan alasan mencintai? Ketiga; ketika hubungan harus berakhir, mengapa semua itu diawali?
Kukira, akan hadirkan banyak jawaban, penjelasan juga alasan yang diajukan. Terus sibuk menyigi satu-persatunya. Dan bakal bermuara pada teori kausalitas (sebab-akibat), kan?
RA. Kartini juga memberikan quote solusi yang sama. Bisa jadi, dari tiga pertanyaan dengan kata tanya "mengapa" itu. Ternyata, saat menjalin dan menjalankan hubungan, secara tak sadar kita terjebak dan terserang virus toxic relationship!
Sebagai makhluk sosial yang bermakna butuh orang lain. Akan ada satu kondisi seseorang membutuhkan orang lain. Meminta bantuan atau berinteraksi dengan orang lain yang dibingkai dalam hubungan antarpersonal itu bisa saja dalam keluarga, pertemanan, pasangan atau kolega kerja.
Idealnya, dalam menjalin hubungan tentu berharap pada kata "saling" yang bisa bermakna "take and give". Kemudian dianggap sebagai hubungan yang sehat.Â
Banyak literatur yang menyatakan, ciri-ciri hubungan sehat itu, penuh rasa kasih sayang, adanya rasa aman, kebebasan dalam berpikir, saling pedulii, serta menghormati perbedaan pendapat. Faktanya, tidak semua hubungan itu merupakan hubungan yang sehat, kan? Lah, kok bisa?
Pernah merasa sebaliknya? Bukannya merasa aman, malah merasa tidak nyaman. Bukannya menikmati kebebasan berekspresi, malah terkekang hingga terburu-buru menjaga sikap.Â
Dan setiap waktu, sibuk menjaga perasaan saat mencoba menciptakan hubungan yang sehat. Susah, kan? Contoh pengalaman ini, menunjukkan lebih banyak emosi negatif yang dirasakan daripada emosi positif dalam menjalani sebuah hubungan. Bisa jadi, sebenarnya hubunganmu itu termasuk dalam toxic relationship.Â
Intropeksi Diri
Kenapa malah jadi penyebab? Begini, acapkali kita diam-diam atau malah dipaksa bercermin tentang "kusut masai" diri pribadi. Sarananya, bisa aneka sumber. Entah melalui film, buku bacaan, tulisan ringan atau sekedar status di media sosial. Tanpa terasa, kita diajak berdialog dan mengukur diri.
Susahnya, Intropeksi diri itu sesukanya numpang lewat tanpa jejak, tak berbekas. Sehingga, berpengaruh negatif ketika menjalin hubungan atau interaksi dengan orang lain. Namun akan menjadi kutub positif, jika Intropeksi itu hadir otomatis dalam perubahan pemikiran, dalam sikap dan saat berprilaku. Â Â
Sumbatan Komunikasi
Sepakat, jika ada banyak hal di dunia ini. tak akan selesai dengan kata-kata. Namun, dalam menjalin hubungan, komunikasi yang lancar menjadi pemutus jarak antara ruang dan waktu, kan? Dunia hampa suara pun masih butuh komunikasi, semisal dengan isyarat. Agar tak saling lempar salah, kan?
Kelancaran komunikasi pun, bisa menjadi racun hubungan antar personal. Jika tak dibingkai dengan rasa saling menghargai dan saling menghormati tanpa memandang strata sosial.Â
Terkadang, kita acap "bias" dalam berkomunikasi. Dalam istilah Minangkabau, komunikasi musti memandang "alur dan patut". Agar, tak ada sekat yang tersumbat dan tersendat perasaan dalam berinteraksi.
Miliki Motif Positif
Ada ujar-ujar tetua di kampungku; "Jangan memulai dari salah!" Bisa juga diumpamakan dengan membuat tiruan sebuah garis lurus.Â
Jika diawal garis sudah bergeser sekian milimeter, maka diujung garis yang lain, jarak miringnya akan melebar sekian meter bahkan meleset dari sasaran. Pesan dari ujaran itu adalah kejujuran. Apapun yang bakal dihadapi nantinya.
Begitu juga dengan memulai hubungan. Jika diawali dengan satu kebohongan (dianggap motif negatif), maka akan lahir kebohongan-kebohongan baru. yang mewarnai hubungan karena ingin mempertahankan "kebenaran" dari kebohongan diawal tadi.Â
Rasa curiga dan tak percaya, menjadi bom waktu yang menunggu ledakan dahsyat, tah? Â
"Ketika kebahagiaannya, lebih penting dari kebahagiaanmu." [H. Jackson Brown Jr]
Demikianlah, semoga kita bisa mewujudkan dunia penuh senyum. Semampu dan semampus kita. Hayuk salaman..
Curup, 23.04.2019
zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]