Mohon tunggu...
Zaky Ardiansyah
Zaky Ardiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah seornag mahasiswa yang memiliki hobi berbisnis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Plastic Apocalypse To Circular Solution : Peran Extended Producer Responsibility (EPR) Dalam Mengatasi Krisis Sampah Plastik Indonesia

14 Juli 2025   18:50 Diperbarui: 14 Juli 2025   18:47 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tidak seimbangnya aktivitas manusia dengan kemampuan alam menyebabkan krisis lingkungan di Indonesia, yang tercermin dalam peningkatan jumlah sampah yang tidak ditangani dengan baik. Menurut teori modernisasi ekologi, untuk membuat masyarakat yang lebih ramah lingkungan, perubahan struktural harus dilakukan pada sistem produksi dan konsumsi. Tanpa transformasi sistemik, akumulasi sampah akan terus merusak tanah, air, dan udara, dan menghambat upaya pelestarian ekosistem.

Ekonomi sirkular adalah perspektif baru yang menantang dominasi eksploitatif ekonomi linier. Ini bertujuan untuk menghentikan siklus bahan melalui penerapan prinsip seperti mengurangi, mengulangi, dan mengurangi. Teori ekologi industri berpendapat bahwa sistem produksi harus mengikuti siklus alam, di mana limbah digunakan sebagai sumber daya untuk proses lain. Namun, ekonomi sirkular masih menghadapi banyak tantangan, seperti kekurangan infrastruktur pendukung, kurangnya peraturan, dan rendahnya kesadaran masyarakat. Menurut perspektif transisi sosio-teknis, perubahan seperti ini membutuhkan kerja sama yang kuat antara kebijakan, sosial budaya, dan teknologi secara bersamaan.

Selain itu, dari segi institusi, keterlibatan pemerintah, kekonsistenan regulasi, dan keberlanjutan insentif sangat memengaruhi keberhasilan ekonomi sirkular. Kebijakan pengelolaan sampah Indonesia saat ini masih berfokus pada satu sektor dan tidak memanfaatkan pendekatan lintas sektoral yang diperlukan oleh ekonomi sirkular. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih baik, pendidikan lingkungan, penguatan kelembagaan, dan inovasi teknologi harus mendukung ekonomi sirkular. Dengan cara ini, ekonomi sirkular dapat menjadi solusi berkelanjutan yang tidak hanya menjaga lingkungan tetapi juga meningkatkan nilai ekonomi untuk semua orang.

2.1 Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumber daya laut yang luar biasa. Namun, sungguh ironis bahwa laut, yang seharusnya berfungsi sebagai pusat kehidupan dan kemakmuran maritim, sekarang berubah menjadi tempat sampah dunia. Dengan 1,29 juta ton plastik yang dicemari lautan setiap tahun, Indonesia adalah negara terbesar kedua di dunia dalam mengirimkan sampah plastik ke laut, menurut Science (2015). Pencemaran ini memiliki banyak efek, termasuk kerusakan ekosistem, penurunan produktivitas perikanan, dan gangguan kesehatan masyarakat pesisir. Problem ini tidak dapat diatasi dengan metode parsial karena bersifat sistemik. Oleh karena itu, evaluasi ekonomi sirkular dapat berfungsi sebagai rangka kerja alternatif yang lengkap untuk penyelesaian berkelanjutan dari masalah ini.

2.2 Krisis lingkungan saat ini disebabkan oleh dominasi sistem ekonomi linier yang bergantung pada pola pembuangan akhir, konsumsi massal, dan produksi massal. Model ini mengabaikan efek sosial dan lingkungan jangka panjang, yang menyebabkan eksploitasi sumber daya yang berlebihan dan limbah yang besar. Konsep ekonomi sirkular mengkritik sistem ini dengan menekankan efisiensi sumber daya melalui prinsip reduce, reuse, dan recycle. Winans dkk. (2021) menyatakan bahwa peralihan menuju ekonomi sirkular dapat secara efektif mengurangi emisi karbon dan volume sampah, terutama jika didukung oleh dukungan kelembagaan yang kuat dan kebijakan publik yang konsisten.

2.3 Jika infrastruktur pengelolaan sampah nasional sudah siap, transisi ke ekonomi sirkular tidak akan berhasil. Hanya 10% dari 67,8 juta ton sampah yang dihasilkan setiap tahun berhasil didaur ulang, menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2023). Ini menunjukkan bahwa sistem pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan sampah masih lemah, terutama di kota-kota. Menurut Aprilia et al. (2020) dalam Jurnal Manajemen Lingkungan, banyak kota besar di Indonesia belum memiliki sistem daur ulang yang memadai. Akibatnya, langkah penting menuju sistem pengelolaan sampah yang sirkular dan adaptif adalah meningkatkan infrastruktur fisik dan sosial melalui kampanye publik, insentif fiskal, dan investasi strategis.

2.4 Disebabkan oleh fakta bahwa produk sekali pakai dapat diakses dengan mudah, gaya hidup konsumtif telah memperburuk krisis sampah, terutama plastik. Sampah harian sebagian besar berasal dari produk seperti tas belanja, botol minuman, dan kemasan makanan. Kemasan sekali pakai yang sulit terurai masih digunakan pada sekitar 95% produk ritel di Indonesia, menurut Greenpeace Indonesia (2021). Menurut perspektif tanggung jawab produsen yang diperluas (EPR), produsen dan konsumen keduanya bertanggung jawab atas dampak lingkungan. Untuk mengurangi dampak lingkungan produk konsumen, pendekatan sirkular seperti model produk-sebagai-layanan, sistem retur kemasan, dan desain ramah daur ulang dapat digunakan.

2.5 Salah satu tantangan struktural yang menghambat pelaksanaan ekonomi sirkular di Indonesia adalah kelemahan kebijakan. Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut belum mencakup strategi sirkular lintas sektor secara menyeluruh, meskipun sudah ada. Tidak adanya peta jalan ekonomi sirkular yang jelas membuat inisiatif yang ada lebih mungkin terpisah dan tidak terhubung satu sama lain. Negara-negara seperti Belanda dan Finlandia telah menunjukkan bahwa insentif inovatif dan kebijakan publik yang integratif dapat membangun ekosistem industri yang sirkular. Indonesia harus mengambil langkah-langkah serupa dengan menata ulang peraturan limbah, perizinan produksi, dan model bisnis industri yang berorientasi pada keberlanjutan.

2.6 Masyarakat pesisir, terutama nelayan yang hidup dari laut, sangat terpengaruh oleh krisis pencemaran laut. Hasil tangkapan dan kelangsungan ekonomi masyarakat dipengaruhi secara langsung oleh penurunan kualitas air laut. Sekitar 40% ikan yang ditangkap di pesisir utara Jawa mengandung zat mikroplastik, menurut WWF Indonesia (2022). Selain menimbulkan bahaya bagi masyarakat, mikroplastik membahayakan keamanan pangan laut. Prata dkk. (2020) menyatakan bahwa penumpukan mikroplastik di dalam tubuh organisme laut dapat berdampak negatif pada rantai makanan dan kesehatan manusia secara keseluruhan. Akibatnya, ekonomi sirkular bukan hanya solusi teknis; itu adalah bagian dari strategi untuk keadilan sosial dan lingkungan.

2.7 Karena krisis lingkungan yang sedang terjadi sangat kompleks dan mendesak, ekonomi sirkular merupakan pendekatan yang tidak hanya relevan tetapi juga mendesak. Meskipun strategi untuk mengurangi sampah, seperti melarang penggunaan sedotan plastik dan membersihkan pantai, tidak cukup. Perubahan harus dimulai dari awal, yaitu saat produk dirancang, sistem distribusi, pola konsumsi, dan setelah konsumsi. Ekonomi sirkular menganggap sampah sebagai bagian dari siklus berkelanjutan yang menghasilkan nilai baru, bukan akhir dari proses ekonomi. Diharapkan bahwa penerapan prinsip-prinsip ini secara sistemik akan mengurangi kerusakan lingkungan, menghasilkan peluang ekonomi yang lebih hijau, dan membentuk masyarakat yang lebih peduli terhadap masa depan ekologis negara.

Salah satu cara strategis untuk menangani masalah kompleksitas krisis lingkungan yang semakin mendesak adalah mengubah ke arah ekonomi sirkular. Ini terutama berlaku untuk pencemaran laut oleh sampah plastik di Indonesia. Seperti yang disebutkan sebelumnya, ekonomi sirkular tidak hanya menawarkan solusi teknis melalui prinsip reduce, reuse, dan recycle, tetapi juga mengubah cara orang berpikir tentang sistem produksi, konsumsi, dan manajemen sampah. Metode ini membutuhkan dukungan dari banyak hal, termasuk infrastruktur yang siap, sistem peraturan yang konsisten, dan perubahan prinsip sosial. Menurut teori seperti transisi sosio-teknis, ekologi industri, dan modernisasi ekologi, peralihan menuju keberlanjutan adalah proses struktural yang membutuhkan kerja sama yang erat antara budaya, teknologi, dan kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun