Mohon tunggu...
Zaki Fardhiya
Zaki Fardhiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Saat ini saya adalah mahasiswa di Pascasarjana Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak IPB university. Sejak duduk dibangku sekolah beberapa prestasi pernah saya dapatkan, mulai dari seni tilawah, puisi dan olahraga di tingkat kota maupun provinsi. Pada saat menjadi mahasiswa strata satu, saya sangat aktif mengikuti organisasi kepemudaan dan menekuni isu-isu perkembangan difabel. Di awal 2018 saya menjadi deligasi Indonesia dalam acara Konferensi Konselor Asia Pasific yang diadakan oleh Persatuan Konselor Pendidikan Malaysia (PEKA), di tahun yang sama tepatnya di bulan Agustus, saya juga dipercaya menjadi Koordinator Pengembangan Keilmuwan FKM BPI/BKI Se-Indonesia yang dilaksanakan oleh UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Dari keaktifan saya di organisasi saya di percaya menjadi ketua umum Himpunan Mahasiswa Pelajar Kota Langsa (HIMPALSA) yaitu organisasi daerah (paguyuban). Ketertarikan saya mempelajari tentang difabel berbuah manis, saya meneliti tentang "Urgensi Konseling Karier Terhadap Remaja Difabel Untuk Mempersiapkan Diri Dalam Dunia Kerja". Pada akhir 2020 saya lulus sarjana dengan predikat Cumlaude.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengenal Lebih Dekat Anak Difabel

8 November 2021   10:00 Diperbarui: 8 November 2021   12:14 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Penulis: Zaki Fardhiya & Sri Ajrania (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak IPB University).

Menurut John C. Maxwell difabel adalah individu yang memiliki kelainan fisik dan mental yang dapat mengganggu atau merupakan suatu rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara layak atau normal. 

Sedangkan World Health Organization (WHO) menjelaskan, difabel adalah suatu kehilangan atau ketidaknormalan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Kepercayaan publik untuk penyandang difabel dapat dikatakan sangat kecil. Hal ini dikarenakan mereka memiliki keterbatasan mental dan intelektual sehingga sulit untuk dapat mengerjakan tugas-tugas yang akan mereka dapatkan. 

Faktanya bahwa Undang-undang dasar 1945 telah menjelaskan bahwa "Setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan". Dari sini menunjukkan bahwa difabel berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya baik di dalam pendidikan maupun karir.

World Health Organization (WHO) menekankan bahwa keterbatasan fisik saat ini dipandang sebagai masalah hak asasi manusia. Populasi dunia yang menua dan kondisi kesehatan yang kronis akan menambah jumlah penyandang difabel. 

WHO mengatakan bahwa 80 persen penyandang difabel tinggal di negara berkembang termasuk Indonesia, tetapi kebutuhan perawatan medis 50 persen dari mereka tak terpenuhi. Dikutip dari Anadolu Agency, ada lebih dari 100 juta anak-anak yang menyandang difabel dan mereka empat kali lebih mungkin menjadi korban kekerasan. Di seluruh dunia, para penyandang difabel memiliki kesehatan yang lebih buruk, prestasi pendidikan yang lebih rendah, partisipasi ekonomi yang lebih sedikit dan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dari pada orang-orang tanpa keterbatasan fisik. 

Menurut data yang dihimpun oleh Kemensos melalui Sistem Informasi Manajemen Penyandang Difabel di Indonesia, hingga tanggal 13 Januari 2021, jumlah penyandang difabel yang terdata sejumlah 209.604 individu.

Dikutip dari Liputan6.com, stigma masyarakat terhadap difabel sangat beragam, masyarakat menganggap difabel adalah penyakit atau aib yang akan berdampak pada keluarga. Menjadi orang tua dari anak difabel (different ability) bukanlah perkara yang mudah, banyak tantangan dan ujian yang mesti dihadapi. Orang tua biasanya akan melewati beberapa tahap sebelum akhirnya menerima kondisi si kecil. Seorang psikiater bernama Elisabeth Kbler-Ross dalam bukunya yang berjudul "On Death and Dying" menjelaskan bahwa ada beberapa tahapan penerimaan orang tua terhadap anak difabel yang dikenal dengan singkatan DABDA (Denial, Anger, Bargaining, Depression, Acceptance). 

Pertama adalah Denial (penolakan) tahapan ini hadir karena rasa tidak percaya bahwa dokter memberikan vonis bahwa si kecil adalah anak difabel. Menghadapi hal tersebut, orang tua merasa malu dan bingung terhadap kondisi anak. Bahkan, tidak menerima sepenuh hati. Jika ada stigma negatif dari lingkungan sosial maka penolakan ini bertambah buruk. Kedua Angry (kemarahan) tahapan kedua bisa terjadi saat orang tua menyadari penuh bahwa kondisi anak adalah konstan. 

Sehingga orang tua sangat marah dan melampiaskan kesalahan pada diri sendiri, kepada dokter yang memberikan vonis, pasangan, bahkan menolak untuk mengasuh anak tersebut. ketiga Bargaining (tawar-menawar) ini adalah tahapan saat orang tua berusaha untuk menawar kondisi yang terjadi pada anak. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur atas segala sesuatu yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Depression (depresi) pada tahapan ini, orang tua merasa tertekan berputus asa bahkan kehilangan harapan. Oleh karena itu, terkadang orang tua dengan anak difabel akan menarik diri dari lingkungan. Kelima Acceptance (penerimaan) ini adalah tahapan akhir yaitu penerimaan utuh kondisi si kecil. Pada tahap ini, orang tua mulai menerima sepenuh hati bahwa dirinya memiliki anak difabel.

Ada stereotip keliru tentang anak difabel, Masih banyak orang yang beranggapan bahwa anak difabel adalah manifestasi dari karma. Keberadaannya dinilai sebagai akibat dari perbuatan dosa yang pernah dilakukan orang tuanya . 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun