Mohon tunggu...
Zainul Arifin
Zainul Arifin Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Semester 4

Selanjutnya

Tutup

Financial

Mulai 1 Agustus 2025, Pajak Baru atas Aset Kripto Berlaku di Indonesia

1 Agustus 2025   20:19 Diperbarui: 1 Agustus 2025   19:29 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah resmi memberlakukan aturan pajak atas aset kripto mulai 1 Agustus 2025. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 yang mengatur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto. Aturan baru ini menandai babak baru pemajakan aset digital di Indonesia, seiring berubahnya status kripto dari komoditas menjadi aset keuangan digital di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan aturan tersebut, pemerintah berharap kerangka perpajakan kripto menjadi lebih terstruktur dan memberikan kepastian hukum di tengah meningkatnya minat masyarakat pada aset kripto.

Latar Belakang Terbitnya PMK 50/2025

Perubahan besar ini dilatarbelakangi oleh perkembangan regulasi sektor keuangan digital. Melalui Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), pemerintah mengalihkan pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK. Sejalan dengan itu, status kripto yang tadinya dianggap komoditas di bawah perdagangan berjangka kini dikategorikan sebagai aset keuangan yang dipersamakan dengan surat berharga (sekuritas). Perubahan status inilah yang mendorong pembaruan aturan pajak. Pemerintah menerbitkan PMK 50/2025 sebagai respon agar perlakuan pajak kripto selaras dengan karakter barunya dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri maupun investor.

Minat dan partisipasi masyarakat dalam investasi kripto memang terus tumbuh, sehingga diperlukan aturan jelas untuk mengelola potensi sekaligus risikonya. Jumlah investor kripto Indonesia melonjak hingga 15,85 juta orang per Juni 2025, dengan nilai transaksi pada bulan itu mencapai Rp32,31 triliun. Selain melindungi pelaku pasar, pemerintah juga melihat potensi penerimaan negara dari sektor ini. Direktorat Jenderal Pajak mencatat, sejak mulai dipajaki tahun 2022 hingga Maret 2025 telah terkumpul pajak kripto sekitar Rp1,2 triliun. Angka ini menunjukkan kontribusi signifikan aset kripto terhadap penerimaan pajak, sehingga kerangka perpajakannya perlu diatur secara adil dan efektif.

Perlu diketahui, sebelum adanya PMK 50/2025, pajak atas kripto diatur dalam PMK 68/2022. Dalam aturan lama tersebut, aset kripto diperlakukan sebagai Barang Kena Pajak tidak berwujud, sehingga penyerahannya dikenai PPN dengan tarif efektif sekitar 0,11% hingga 0,22% per transaksi (tergantung apakah melalui platform terdaftar atau tidak). Selain itu, dikenakan pula PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% untuk transaksi di platform dalam negeri terdaftar, dan 0,2% untuk transaksi di platform luar negeri. Skema lama ini menuai beberapa tantangan, antara lain beban pajak berganda (double tax) bagi pengguna serta dorongan bagi sebagian pelaku untuk memindahkan aktivitas ke platform luar negeri demi menghindari pajak. Administrasi perpajakan pun dinilai cukup rumit di bawah aturan sebelumnya.

Pokok Aturan Pajak Kripto yang Baru

PMK 50/2025 membawa sejumlah perubahan mendasar. Inti kebijakannya adalah menghapus pajak ganda atas transaksi kripto dan menyederhanakan tarif PPh final. Berikut poin-poin utama aturan pajak kripto yang berlaku per 1 Agustus 2025:

  • PPN atas transaksi aset kripto: 0% -- Penyerahan aset kripto kini bebas PPN, karena kripto dipersamakan dengan surat berharga yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Artinya, jual-beli koin kripto tidak lagi dikenai PPN seperti komoditas biasa. Ini berbeda dari sebelumnya ketika transaksi kripto dianggap penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan dikenai PPN tertentu.
  • PPh Pasal 22 final atas transaksi: 0,21% atau 1% -- Penghasilan dari penjualan aset kripto dikenai PPh final Pasal 22. Tarifnya 0,21% dari nilai transaksi apabila perdagangan dilakukan melalui platform dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemungut pajak. PPh final ini dipungut oleh penyelenggara platform saat terjadi transaksi jual. Jika transaksi dilakukan di platform luar negeri (yang belum ditunjuk sebagai pemungut pajak di Indonesia), tarif PPh final yang berlaku lebih tinggi, yakni 1% dari nilai transaksi. Pungutan 1% ini dapat dilakukan melalui mekanisme penunjukan platform luar negeri sebagai pemungut pajak, atau wajib pajak melakukan setor sendiri apabila menggunakan platform yang tidak ditunjuk. Ketentuan tarif lebih tinggi untuk platform luar negeri dimaksudkan sebagai disinsentif, agar pelaku pasar beralih ke platform kripto dalam negeri yang legal.
  • PPN atas jasa layanan platform kripto: tarif efektif 11% dari komisi -- Meskipun jual beli kripto bebas PPN, layanan yang disediakan platform exchange tetap terutang PPN karena tergolong Jasa Kena Pajak (JKP). Yang dimaksud JKP di sini mencakup jasa penyediaan sarana elektronik untuk transaksi (oleh penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik/PMSE). PPN dikenakan hanya atas biaya atau komisi layanan yang dibebankan platform (misalnya fee transaksi), bukan atas nilai aset kripto yang diperjualbelikan. Tarif PPN jasa platform ini secara efektif sebesar ~11% dari komisi yang diterima platform. Pihak platform yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut dan menyetor PPN tersebut kepada negara.
  • PPN atas jasa penambangan (mining): tarif efektif 2,2% -- Kegiatan verifikasi transaksi oleh penambang kripto juga dikategorikan sebagai JKP yang dikenai PPN. Namun, pemerintah memberikan mekanisme pemungutan sederhana bagi penambang. Penambang yang berstatus PKP memungut PPN dengan besaran tertentu sebesar 2,2% dari nilai imbalan jasa mining yang diterimanya. Besaran 2,2% ini berasal dari 20% tarif PPN (saat ini PPN 11%) yang diterapkan atas jasa penambangan, sehingga lebih mudah dihitung dan diadministrasikan.
  • PPh atas penghasilan penambang: tarif normal Pasal 17 UU PPh -- Selain PPN atas jasanya, penambang aset kripto yang memperoleh penghasilan dari menjual aset kripto hasil tambang akan dikenai PPh sesuai tarif umum (Pasal 17 UU PPh). Berbeda dengan PPh final atas perdagangan yang bersifat final, pajak penghasilan penambang ini mengikuti tarif progresif biasa dan mulai berlaku tahun pajak 2026 (memberi waktu transisi pada tahun 2025).

Dapat dilihat bahwa pemerintah menghapus PPN atas aset kripto, tetapi sekaligus menaikkan sedikit tarif PPh final atas transaksi tersebut (dari sebelumnya 0,1% menjadi 0,21% untuk platform lokal). Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menjelaskan bahwa langkah ini diambil untuk menyesuaikan dengan sifat baru kripto dan menjaga penerimaan negara. "Di PMK baru, PPN tidak dikenakan lagi karena sudah masuk karakteristik surat berharga. Adapun PPh Pasal 22 finalnya ada sedikit kenaikan, untuk mengompensasi PPN yang sudah tidak ada," ujar Bimo. Dengan kata lain, beban pajak yang tadinya terbagi dalam PPN dan PPh kini difokuskan ke satu jenis pajak final yang lebih sederhana.

Siapa yang Terkena dan Bagaimana Pemungutannya?

Aturan baru ini berlaku bagi seluruh pelaku transaksi aset kripto, baik perorangan maupun badan, selama melakukan jual beli kripto di Indonesia. Bagi investor atau trader kripto, PPh final 0,21% akan otomatis dipotong setiap kali melakukan penjualan aset kripto di platform exchange dalam negeri. Pihak platform (exchange) berperan sebagai pemungut pajak yang akan memotong PPh final tersebut dari hasil penjualan dan menyetorkannya ke kas negara. Karena bersifat final, PPh 0,21% ini tidak perlu dilaporkan lagi dalam SPT Tahunan oleh individu, sehingga memudahkan wajib pajak. Sementara itu, jika investor menggunakan platform luar negeri yang belum ditunjuk pemerintah, ia bertanggung jawab untuk menyetor sendiri PPh final 1% atas transaksi yang dilakukan. Ke depan, DJP dapat menunjuk platform luar negeri tertentu sebagai pemungut agar mekanisme ini lebih praktis. Namun, dengan selisih tarif yang cukup tinggi (0,21% vs 1%), investor tentunya lebih diuntungkan bertransaksi di platform domestik yang patuh regulasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun