Kritik atas Strategi Pemerintah dan Dampak Domestik
Meski pemerintah menyambut kesepakatan ini sebagai kemenangan diplomasi, sejumlah kalangan mengingatkan bahwa hasil negosiasi dagang 2025 ini belum sepenuhnya berpihak pada Indonesia. Tarif 19% yang tetap dikenakan pada ekspor RI dinilai masih cukup tinggi dan potensial menekan daya saing, sementara produk AS masuk tanpa tarif sama sekali. "Tarif 19% untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara AS bisa mendapat fasilitas 0%, sebenarnya punya risiko tinggi," ujar Bhima Yudhistira, Direktur Celios. Risiko yang dimaksud utamanya terhadap neraca perdagangan Indonesia. Dengan kesepakatan ini, Indonesia memang berhasil menunda ancaman tarif 32%, tapi di sisi lain arus impor dari AS akan meningkat tajam karena bea masuk dihapus. Data 2024 menunjukkan lima kelompok produk impor AS (migas, elektronik, suku cadang pesawat, serealia/gandum, dan farmasi) sudah mencapai USD 5,37 miliar atau Rp87,3 triliun. Dengan tarif 0% dan komitmen pembelian yang disepakati, angka ini dipastikan melonjak. "Dampak potensi meningkatnya impor terhadap neraca perdagangan harus diwaspadai," kata Bhima. Lonjakan impor berisiko membalik surplus nonmigas Indonesia menjadi defisit, yang pada gilirannya bisa melemahkan kurs rupiah dan menggerus cadangan devisa.
Selain itu, daya tawar Indonesia dinilai tampak lemah dalam negosiasi ini. Fakta bahwa Indonesia bersedia membuka pasarnya lebar-lebar dan mengeluarkan devisa besar demi menurunkan separuh tarif impor AS dianggap sejumlah pengamat sebagai bentuk ketidaksiapan strategi. "Kesepakatan tarif resiprokal 19% ini menunjukkan lemahnya daya tawar RI," tulis kolomnis ekonomi di Tempo. Indonesia pada akhirnya membayar mahal untuk "pengampunan" tarif dari Trump. Bahkan, ada yang menyebut Indonesia gagal mendapat pengampunan penuh -- karena masih kena tarif 19% -- meski sudah "merayu" AS dengan berbagai tawaran investasi dan pembelian. Kondisi ini menimbulkan kritik apakah pemerintah terlalu tergesa menyepakati tuntutan AS tanpa menggali opsi lain, misalnya berkoalisi dengan negara-negara ASEAN yang senasib untuk tawar-menawar kolektif. Hingga kini, tidak ada pernyataan bersama ASEAN dalam merespons kebijakan tarif Trump, sehingga masing-masing negara terkesan berjalan sendiri-sendiri. Indonesia memilih jalur negosiasi bilateral cepat dan menjadi yang pertama mencapai kesepakatan. Dampaknya, meski Indonesia dapat tarif terendah di kawasan, komitmen yang harus ditukar juga sangat besar.
Dari segi dampak domestik, kekhawatiran muncul terkait kesiapan sektor-sektor dalam negeri menghadapi masuknya produk AS bebas tarif. Industri pangan lokal, misalnya, akan bersaing dengan banjir gandum, susu, atau daging impor yang lebih murah. Petani kedelai dan jagung domestik berpotensi merugi jika pasar dibanjiri komoditas AS. Demikian pula industri manufaktur tertentu mungkin tertekan oleh produk impor berteknologi tinggi asal AS yang lebih kompetitif dari produksi lokal. Pemerintah Indonesia diharapkan menyiapkan langkah mitigasi: bisa berupa insentif bagi UMKM dan petani lokal, pengetatan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk menjaga kualitas produk impor, hingga program peningkatan daya saing melalui hilirisasi. Apindo sendiri mengingatkan pemerintah untuk segera memperkuat industri padat karya domestik agar mampu memanfaatkan "napas" dari tarif 19% ini sebelum tenggat evaluasi berikutnya. Dukungan seperti subsidi bunga kredit ekspor, pelatihan peningkatan kualitas produk, hingga pembenahan logistik diharap dapat menekan biaya produksi lokal sehingga tarif 19% di pasar AS bisa terimbangi dengan harga produk yang tetap kompetitif.
Aspek lain adalah penerimaan negara. Penghapusan tarif impor bagi produk AS berimplikasi pada berkurangnya pendapatan bea masuk. Kementerian Keuangan mengakui kebijakan ini "dapat membawa risiko terhadap penerimaan negara melalui dua jalur utama", yakni turunnya bea masuk dan potensi peningkatan restitusi pajak akibat ekspor menurun. Namun di sisi lain, pemerintah berharap volume perdagangan yang meningkat serta investasi lanjutan dari AS dapat menutupi potensi loss tersebut. Koordinasi lintas sektor juga menjadi tantangan: mulai dari diplomasi lanjutan, penegakan aturan transshipment, hingga negosiasi ulang di sektor yang masih belum disepakati (misal soal pengecualian CPO atau nikel dari tarif). Semua ini membutuhkan kekompakan antar-kementerian (Kemendag, Kemenperin, Kemenkeu, dan Kemenlu) serta komunikasi intensif dengan dunia usaha.
Kesimpulannya, negosiasi kesepakatan dagang Indonesia--AS sepanjang 2025 menunjukkan dinamika tarik-ulur kepentingan yang sangat tajam. Di satu sisi, Indonesia patut mengapresiasi pencapaian diplomatik yang berhasil menurunkan ancaman tarif 32% menjadi 19%, menyelamatkan ekspor padat karya dan menjaga hubungan dagang tetap terbuka. Di sisi lain, konsesi besar yang harus dibayar -- dari belanja komoditas AS hingga membuka lebar akses pasar domestik -- menuai kritik mengenai strategi dan kesiapan pemerintah. Kebijakan ini ibarat pil pahit yang terpaksa ditelan: jangka pendek meredam syok, tetapi efek sampingnya perlu diwaspadai agar tidak melemahkan tubuh perekonomian sendiri. Pemerintah dituntut tidak berpuas diri dengan hasil sementara ini, melainkan terus bergerak lincah meramu kebijakan lanjutan. Dengan sikap kritis dan langkah adaptif, Indonesia bisa memanfaatkan jeda negosiasi ini untuk memperkuat pondasi ekonomi dalam negeri, sembari mengupayakan kesetaraan yang lebih baik dalam hubungan dagang dengan Amerika Serikat di masa depan.
Sumber: Kemenko Perekonomian RI, Kemenkeu RI, Reuters, Tempo, CNN Indonesia, Media Indonesia, Deutsche Welle, The Guardian
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI