"Bob Brandon," Sahut Mas Isman. "Ini surat dari keluarganya. Sekitar seminggu lalu ia tewas dalam kecelakaan lalu lintas."
Saya tahu, Bob Brandon termasuk pengarang remaja yang sudah senior. Seangkatan dengan saya. Cerpennya masih sering muncul di majalah Gaya. Walaupun tidak sesering dulu. Mungkin cerpen-cerpennya terlalu berat dan terkesan lambat. Sementara penikmat cerpen saat ini lebih sering membaca cerpen yang ringan dan lincah gaya bahasanya.
"Sudah kirim surat turut berduka cita?" tanyaku.
"Sudah. Malah edisi yang akan datang kita akan muat ucapan belasukawa."
"Ya ya ya."
"Saya pernah terima naskahnya. Bob Brondon selalu  mengirim cerpen langsung ke saya. Pakai kilat khusus," kata Mas Isman kemudian.
Saya masih termangu-mangu.
"Itulah yang saya pikirkan, Gam. Setelah saya tadi nenbaca naskah Bob Brandon itu, yah, ternyata tidak cocok lagi dengan majalah kita sekarang. Bahasanya terlalu berat. Pembaca kita mengantuk membacanya."
"Jadi, Mas akan mengembalikannya."
"Mau dikembalikan kemana?"
Saya tersenyum.
Sebelum Mas Isman kembali ke  mejanya, ia berkata, "masih banyak naskah cerita yang ada di tangan saya. Biarlah saya yang membacaya, kalau ada yang bagus dan layak muat, nanti saya berikan padamu. "
Â
*