Mohon tunggu...
Zainal Tahir
Zainal Tahir Mohon Tunggu... Freelancer - Politisi

Dulu penulis cerita, kini penulis status yang suka jalan-jalan sambil dagang-dagang. https://www.youtube.com/channel/UCnMLELzSfbk1T7bzX2LHnqA https://www.facebook.com/zainaltahir22 https://zainaltahir.blogspot.co.id/ https://www.instagram.com/zainaltahir/ https://twitter.com/zainaltahir22 https://plus.google.com/u/1/100507531411930192452

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen dari Bob Brandon

19 Oktober 2019   10:43 Diperbarui: 19 Oktober 2019   11:15 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Perubahan telah terjadi dalam jajaran redaksi majalah Gaya, sehubungan dengan pindahnya Bung Reda, sang Redpel, ke sebuah majalah politik yang baru beredar, majalah Global. Disitu Bung Reda mendapat posisi yang lebih empuk dan menantang. Sebagai pemimpin redaksi.

Sebagai pengganti Bung Reda yang usianya sudah menjelang setengah abad (memang sudah kurang cocok berkutat di majalah remaja), diangkat Mas Isman yang dulunya Redaktur Fiksi. Kemudian saya dipercayakan untuk mengganti posisi Mas Isman.

Ah, saya tidak pernah bermimpi untuk menjadi Redaktur Fiksi. Saya sebenarnya mengincar jabatan Redaktur Nonfiksi. Makanya saya begitu senang ketika bergabung dengan Majalah Gaya dan langsung ditempatkan dibagian nonfiksi, sebagai reporter. Di situ saya bisa merasa terhibur. Bagaimana tidak terhibur kalau saya selalu mendatangi sekolah-sekolah yang punaya prestasi segudang, meliputi konser-konser musik, mewawancarai artis atau model, dan semua kegiatan yang menarik buat remaja. Saya juga Selalu mengisi rublik Psikologi.

Dulu, sebelum saya tertarik menulis artikel, saya termasuk pengarang papan atas di majalah ini. Saya beberapa kali memenangkan sayembara menulis cerpen. Cerpen-cerpen saya nyaris menghiasai setiap edisi majalah ini. Tidak heran kalau saya masuk ke dalam jajaran sepuluh pengarang produktif versi Majalah Gaya. Dan kini, saya harus kembali menekun bidang fiksi setelah empat tahun saya tinggalkan.

Menjadi Redaktur Fiksi?

Ah, sebuah posisi yang bagus dan tidak perlu banyak ke luar. Paling Cuma duduk di kantor sembari membaca, menilai, mengoreksi, mengACC, dan meretour naskah yang tidak layak muat.

Dan kini, dihadapan saya bertumpuk naskah-naskah cerpen dan cerbung dari para pengarang di seluruh nusantara. Naskah itu siap saya pelototi. Dan ketika saya tengah suntuk membaca naskah, tiba-tiba Mas Isman muncul dihadapan saya.

"Ada berita duka yang barusan saya terina," lontar Mas Isman.

"Berita duka?" Saya menghentikan kegiatan seraya menegakkan badan.

"Salah seorang pengarang kita telah meninggal dunia ungkap Mas Isman.

Saya ternganga mendengarnya. "Siapa?"

"Bob Brandon," Sahut Mas Isman. "Ini surat dari keluarganya. Sekitar seminggu lalu ia tewas dalam kecelakaan lalu lintas."

Saya tahu, Bob Brandon termasuk pengarang remaja yang sudah senior. Seangkatan dengan saya. Cerpennya masih sering muncul di majalah Gaya. Walaupun tidak sesering dulu. Mungkin cerpen-cerpennya terlalu berat dan terkesan lambat. Sementara penikmat cerpen saat ini lebih sering membaca cerpen yang ringan dan lincah gaya bahasanya.

"Sudah kirim surat turut berduka cita?" tanyaku.

"Sudah. Malah edisi yang akan datang kita akan muat ucapan belasukawa."

"Ya ya ya."

"Saya pernah terima naskahnya. Bob Brondon selalu  mengirim cerpen langsung ke saya. Pakai kilat khusus," kata Mas Isman kemudian.

Saya masih termangu-mangu.

"Itulah yang saya pikirkan, Gam. Setelah saya tadi nenbaca naskah Bob Brandon itu, yah, ternyata tidak cocok lagi dengan majalah kita sekarang. Bahasanya terlalu berat. Pembaca kita mengantuk membacanya."

"Jadi, Mas akan mengembalikannya."

"Mau dikembalikan kemana?"

Saya tersenyum.
Sebelum Mas Isman kembali ke  mejanya, ia berkata, "masih banyak naskah cerita yang ada di tangan saya. Biarlah saya yang membacaya, kalau ada yang bagus dan layak muat, nanti saya berikan padamu. "
 
*

"Ini naskah Bob Brandon, " Mas Isman menyodorkan naskah Cerpen setebal dua belas halaman folio ke hadapan saya.

Naskah Bob Brandong ?"

Kening saya berkerut  sembari melirik sekilas judul cerpen itu.

"Ya."

"Mau diapakah?"

"Ya dibaca dong!"

"Saya kira Mas sudah membacanya."

"Memang."

"Lantas?"

"Kamu nilai apakah layak muat atau tidak?"

"Kalau menurut penilaian Mas sendiri? Bukankah Mas sudah membacanya.

"Seperti yang saya bilang terlalu berat."

"Kenapa tidak langsung diserahkan ke Mas Rapiyanto?" Saya tidak Nampak tertarik. Biasanya Mas Rapiyanto langsung menangani setiap ada naskah. Ia yang membubuhi perangko lalu dikirim kembali ke alamat si pengarang.

"Siapa tahu penilaian kamu beda. Saya memang sudah baca."

"Kenapa saya harus berbeda?"

"Begini, Gam," Kata Mas Isman. "Saya memang menilai cerpen Bob Brandong ini tidak cocok lagi dengan misi majalah kita. Tapi saya harap kamu memperbaikinya. Minimal mengubah bahasanya supaya agak ringan. Yang penting kamu jangan ubah temannya."

Saya mengambil naskah cerpen di hadapan saya. Memperhatikannya kembali. Judulnya Ungkapan Jiwa. Sebuah judul yang sangat puitis. Tapi untuk mengubah bahasanya? Mendingan saya membuat cerpen baru dari pada merombak seperti itu.

"Usahakanlah Supaya Cerpen ini layak muat. Dan kita akan muat secepatnya."

Bagaimana bisa? Pikir saya. Kalau cerpen ini memang jelek, ya jelek. Kalau tidak layak muat, kenapa harus dipaksakan. "Saya tidak mau gara-gara cerpen ini jadi gila!"

Saya menatap Mas Isman ragu. Ada apa sebenarnya dengan Cerpen Bob Brandong ini? Saya merasakan sesuatu yang tidak beres yang membuat pikiran Mas Isman berubah seperti itu.

"Saya baru bisa tenang kalau cerpen ini dimuat."

"Kenapa bukan Mas Isman saja yang merevisi?"

Mas Isman menatap saya. "Mengertilah kesibukan saya. Gam."

Saya tiba-tiba menyesal telah melontarkan pertanyaan itu. "Baiklah, Mas," ujar saya. "Tapi... soal honornya?"

"Ah itu bukan urusan kita di redaksi. Soal honor dan segala tetek bengeknya, biar diatur Tata Usaha."

Lagi-lagi saya menyesal. Saya merasa seperti orang bodoh saja. Tapi sungguh,  saya merasa aneh melihat Mas Isman. Dan lebih aneh lagi karena Mas Isman begitu ngotot mau memuat Cerpen Bob Brandong ini. Padahal dia sendiri yang bilang tidak layak muat. Bagaimana cara Mas Isman menilai sebuah cerpen? Kok pendiriannya bisa berubah-ubah gitu. Tapi, saya malas untuk protes.

Saya bingung. Cerpen yang menurut Mas Isman tidak bagus ini mau dipaksakan untuk bisa dimuat. Saya kurang sependapat dengan cara ceperti itu. Begitu Mas Isman tidak Nampak lagi di depan mata, saya pun menghela napas. Saya lihat Mas Isman berjalan ke bagian Artistik.

Saya tambah bingung. Apakah stok cerpen di majalah Gaya sudah habis? Rasa-rasanya tidak mungkin. Yah, tidak mungkin. Cerpen yang datang ke redaksi tiap hari saja puluhan jumlahnya. Tapi... ah, sebaiknya saya baca saja dulu cerpen ini. Saya pun serius membacanya.

Dan kelelahan pun menyergap mata saya sebelum tuntas membaca cerpen di hadapan saya. Namun sekilas saya bisa menilai cerpen itu bukan Cuma bahasanya saja kurang lincah, tapi Bob Brandon juga menampilkan tema yang klise, tema yang terlalu sering digarap pengarang.

Coba bayangkan, Bob Brandong hanya berkisah tentang tokoh "Aku" yang punya sahabat seorang gadis bernama Karina. Si Aku sebenarnya bukan cuma menganggap Karina sebagai sahabat. Tapi lebih dari itu. Masalahnya si Aku sulit berterus terang. Sampai kemudia jarak memisahkan mereka. Dan harapan si Aku pun kandas di tengah jalan.

Saya lalu membaca bagian terakhir cerpennya.

Aku merasa sangat kesepian setelah Karina pindah tempat tinggal. Bukan Cuma kesepian, tetapi aku pun merasa sangat menyesal karena aku belum sanggup mengungkapkan sgenap perasaanku sampai kami berpisah. Ah, Karina... ketahuilah bahwa aku mencintaimu. Yah, sangat mencintaimu. Saying dia tidak pernah menyadarinya. Dan ungkapan jiwaku tidak pernah berhasil terlontar ke luar dari bibirku. (Buat Felicia : Malu ah! Aku hanya sanggup berterus terang lewat cerpen).

Ah, cerpen itu ternyata lebih jelek dari apa yang saya duga sebelumnya. Saya heran juga, dari sekian banya Karya Bob Brandon yang pernah say abaca, mungkin cerpe inilah yang terjelek. Saya langsung menyisihkan naskah itu ke keranjang sampah. Dan untuk selanjutnya  saya tak ingin pembaca menanggapi bahwa redaktur fiksi Majalah Gaya tak becus menilai sebuah cerpen. Memang Bob Brandon sudah cukup punya nama. Tapi itu bukan jaminan bahwa karyanua selalu bermutu.

Saya akan bilang pada Mas Isman bahwa cerpen Bob Brandon tak mungkin dimuat.
 
*

Saya terlalu capek sehingga langsung tertidur begitu kepala saya menyentuh bantal. Seharian membaca naskah di Kantor membuat mata saya lelah dan teramat berat. Sebuah mimpi mengantar saya ke suatu tempat dimana saya merasa sedang bercakap-cakap dengan seseorang. 

Bob Brandon! 

Kami Nampak sudah kenal akrab.

"Hebat kamu sekarang. Gam," kata Bob Brandon. "Dulu, cerpenmu yang diedit oleh redaktur fiksi. Dan sering membuat redaktur mengerutkan kening karena tak sedikit cerpenmu yang tidak bermutu. Malah ada cerpenmu yang langsung dibuang ke tempat sampah. Saya tahu kamu paling malas menyisipkan perangko. Tapi kini?"

Saya tersenyum-senyum Bangga.

"Semuanya jadi terbalik ya, Gam?" kata Bob Brandon lagi. "Sebagai Redaktur Fiksi tentu kamu berhak menilai suatu cerpen. Saya tak menyangka kamu bisa sehebat itu. Kamu telah berhasil mendahului impian dari sekian banyak pengarang.

"Kebetulan saja, Bob, sahut saya merendah. "Eh, kamu masih mengarang ya?"

Tiba-tiba mata Bob Brandon berkabut. "Aaya tak bisa mengarang lagi."

Saya menatapnya. 

Ahhh... Bob Brandon menghela napas berat. "Ada sesuatu hal yang membuat kreativitas saya langsung terpenggal," ungkapnya. "Tapi, tak apalah." Ia menegakkan kepala. "Masih ada beberapa cerpen saya yang belum dimuat. Kamu sudah baca satu di antaranya kan?"

Saya tertegun. Saya ingat, saya memang pernah membaca naskah Bob Brandon. Entah kapan saya membacanya, kemarin? Minggu lalu? Atau bulan ini? Akh, saya tak ingat lagi. Yang saya ingat judul cerpen itu Ungkapan Jiwa. Tapi saya telah memutuskan cerpen itu layak muat.

"Ya." Saya mengangguk lalu menyebut judul cerpen itu. "Saya pernah membacanya. Tapi..."Saya tidak melanjutkan kalimat. Saya ragu mengatakan bahwa cerpen Bob Brandon itu tidak bermutu. Nanti Bob Brandon tersinggung.

"Itulah cerpen saya yang terakhir, Agam. Cerpen itu saya persembahkan buat seorang gadis yang sangat saya cintai. Tapi gadis itu tak mengerti perasaan saya. Mudah-mudahan setelah cerpen saya itu dimuat, ia akan membacanya. Dan ia akan mengetahui bahwa saya sangat mencintainya. Saya akan merasa sangat bahagia bila ia menanggapinya. Minimal lewat surat. Karena kami memang sudah berjauhan."

Saya termangu-mangu. "Tapi-tapi...."

"Tolonglah saya, Gam. Saya sangat mengharapan cerpen itu dimuat. Saya akan tenang kalau gadis itu sudah membacanya. Dan saya akan berterima kasih padamu."

"Tapi, Bob..." suara saya tersendat.

Bob Brandon menatap saya dengan sorot mata yang aneh. Kemudian perlahan-lahan sorot matanya itu berubah mengerikan.

Saya berteriak, berteriak, dan... saya tersentak bagun. Tiba-tiba seekor cecak jatuh dari plafon tepat mengenai muka saya. 

Sialan! Umpat saya.

Saya bangkit dan memegangi kepala. Saya baru saja bermimpi. Mimpi bertemu dan bicara dengan Bob Brandon. Jelas sekali apa yang saya bicarakan dengan pengarang yang sudah meninggal itu. Tentang cerpennya. Cerpen Bob Brandon yang telah saya campakkan ke tempat sampah. Tapi, ah... mimpi itu kan ibarat bunga tidur. Tak usaha dijadikan beban.

Saya membaringkan kembali tubuh saya. Beberapa menit kemudian, saya tertidur lagi.

Dan esoknya, ketika saya tiba di kantor, saya lihat naskah Bob Brandon terpentang di atas meja. Saya heran sekaligus bingung. Siapa yang telah mengangkat naskah ini dari keranjang sampah?
 
*

Akhirnya saya membaca naskah itu kembali, setelah Bob Brandon si pengarangnya  hadir kembali dalam mimpi-mimpi saya berikutnya. Malah pernah tiga kali berturut-turut dalam satu malam. Anehnya, Bob Brandon tak banyak bicara. Tapi ia selalu menatap sinis pada saya. Sepertinya ia marah pada saya!

Dan ada yang saya tak mengerti. Naskah cerpen itu selalu terpentang di atas meja setiap  saya datang. Padahal, saya pun telah berkali-kali membuangnya ke kerangkang sampah. Sepertinya ada tuntutan naskah itulah yang harus pertama saya baca sebelum naskah-naskah lainnya.
Saya merasa bahwa naskah cerpen itu mengandung suatu kekuatan yang sangup menimbulkan bisikan dalam benak saya. Bacalah naskah cerpen itu, Gam. Revisilah kalau memang tidak menarik. Muatlah secepatnya! 

Ah, bisikan-bisikan itu cukup berpengaruh. Saya tak mampu menepisnya.

Saya pernah berpikir mungkin Mas Isman yang telah menaruh kembali naskah cerpen itu. Tapi tidak mungkin. Saya selalu melihat Mas Isman Pulang dan selalu melihat ia datang lebih lambat dari saya. Mana ada waktunya untuk melakukan keisengan itu.

Dan yang lebih aneh lagi sewaktu saya membuang naskah cerpen itu ke keranjang sampah. Saya selalu meremasnya. Tapi nyatanya naskah yang kini saya pelotot ini tidak kusut sama sekali.

Hampar tiga jam saya menghabiskan waktu untuk merevisi cerpen itu. Setelah itu saya temui Mas Isman.

"Saya sudah baca cerpen Bob Brandon," lapor saya. "Bisa dimuat dua edisi mendatang. Ilustrasinya hitam putih."

Mas Isman Nampak lega.

"Itu pun saya telah merevisinya besar-besarnya," lanjutnya saya.

"Tidak ada masalah, Gam. Yang penting sudah layak muat. Nanti saya usulkan agar honornya buat kamu saja."

"Ah, saya tidak mau. Maksud saya, tidak nolak, Mas," canda saya .

Mas Isman Cuma tersenyum.

"Mas," kata saya lagi. "sebenarnya saya mengalami suatu hal yang aneh." Saya menatap Mas Isman. Saya ingin menceritakan segalanya. Ya, saya ingin berterus terang tentang mimpi-mimpi itu. "Apa yang saya alami ini, Mas membuat saya heran, bingung. sekaligus tak mengerti.
"Tak perlu kau ceritakan, saya sudah bisa menduganya," kata Mas Isman, tanpa ekspresi.

"Apa?" tanya saya.

"Karena saya pun pernah mengalaminya. Mimpi-mimpi itu memang amat mengganggu. Saya ingin dia berhenti meneror."

Saya ternganga.
 
*

Saya sedang membaca naskah ketika Mbak Dini, sekretaris redaksi, datang mengagetkan saya.

"Ada cewek yang cari kamu, tuh!"

"Siapa?" tanya saya.

Mbak Dini mengangkat bahu. "Tidak tahu, yang jelas, lumayan oke." Mbak Dini mengangkat jempolnya.

Saya segera bangkit menemui gadis itu di ruang tamu.

Amboi! Mbak Dini memang tidak bohong. Seorang gadis cantik dengan hidung bangir, bibir mungil, dan alis bagaikan sayap camar telah menunggu saya. Gadis itu tersenyum sekilas.

"Maaf, saya telah menganggu kesibukan Kakak," ujar gadis itu dengan suara lembut.

Saya tersenyum ramah. Ah, tidak apa-apa."

"Kakak di bagian fiksi, kan?" tanya gadis itu.

Saya mengangguk dan langsung meyodorkan tangan. "Agam," saya menyebutkan nama.

Saya Felicia," sambut gadis itu "Saya ingin mengucapkan terima kasih pada majalah Gaya terutama pada kakak."

Saya menatapnya heran.

"Saya telah membaca cerpen Bob Brandon."

"Oh!"

"Bob Brandon menulis cerpen itu khusus buat saya, Yah, cerpen itu adalah kisah kami. Dan tokoh Karina dalam cerpen itu adalah saya. Ah, saya baru tahu bahwa Bob Brandon juga mencintai saya. Padahal saya sudah putus asa. Sekian tahun kami akrab, tapi ia tidak pernah mengungkapkan perasaannya pada saya. Ia sebenarnya seorang yang romantis. Tapi ia tidak cukup berani berterus terang pada saya," jelas Felicia panjang lebar.

Saya baru ingat di akhir cerpen Ungkapan Jiwa ada sepenggal catatan.

"Tapi sayang sekali...." Felicia menggeleng perlahan. "Setelah saya mengirim surat sebagai tanggapan atas cerpennya itu, yang saya dapatkan sebagai balasannya adalah berita duka cita yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Rupanya ia telah meninggal dunia beberapa waktu yang lalu. Sungguh, saya tidak tahu itu." 

Mendadak wajah Felicia dilupti kabut. Di sana, di sepasang bola mata bening itu, saya lihat ada yang mau menetes keluar.

"Saya sudah tahu itu," kata saya.  Dan kami merasa kehilangan seorang pengarang yang cukup kreatif.

Gadis itu merunduk. "Saya mencintainya. Mungkin cuma jarak yang membuat kami tak mengerti perasaan masing-masing."

Saya merasa iba. Saya tak sanggup berkata-kata. Saya hanya mendengarkan gadis itu bercerita, mengungkapkan segenap perasaannya.

"Saya pernah bermimpi," lanjut Felicia. "Mimpi yang sangat buruk. Saya melihat Bob Brandon ditabrak sebuah mobil ketika pulang dari Kantor Pos. ia baru saja mengirim cerpen. Apa benar demikian?"

"Ya, ia meninggal akibat kecelakaan."

"Kasihan sekali." Gadis itu terisak. "Ternyata mimpi saya itu benar-benar terjadi."

Dan saya hanya sanggup menguatkan hatinya dengan kata-kata. Menghibur. Dan menganjurkan gadis itu agar tabah menghadapi cobaan.
Gadis itu menegakkan kepala. Ia sudah tenang kembali. Lalu ia berkata, "Lewat mimpi itu ia meminta saya menemui kakak, dan mengambil honor tulisannya. Ia ingin menyumbangkannya buat panti Asuhan."

Ketika saya mengajak gadis itu ke Mbak Nina. Bagian Tata Usaha, ia menolak menerima uangnya. "Sebaliknya redaksi saja yang langsung menyalurkannya."

Saya ragu sejenak. Kemudian saya mengangguk. Kini saya baru bisa mengerti apa sebenarnya buntut dari semua keanehan yang saya alami. Dan juga dialami Mas Isman. Ditambah cerita Felicia barusan. Secara logika saya sulit mempercayainya.

Sepeninggal gadis itu, Mas Rapiyanto menyodorkan sebuah naskah cerpen yang masih berada dalam amplop tertutup berperangko kilat biasa kepada saya. Dan saya langsung terbelalak setelah membaca siapa pengirimnya. Cerpen dari Bob Brandon.

Saya seperti seorang linglung saja.

TERBIT DI MAJALAH HAII
8-14 Agustus 95
TH XIX No. 31

ZT -Batulicin, 19 Oktober 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun