Sudahkah Kita Merdeka 100% Hari Ini di Usia ke-80 Republik Indonesia?
Pada akhir November 1945, saat deru pertempuran mengguncang Surabaya melawan Sekutu, seorang pemikir revolusioner, Tan Malaka, menulis sebuah naskah yang berjudul tegas: "Merdeka 100%." Risalah ini bukan sekadar polemik, melainkan sebuah seruan keras yang merumuskan makna kemerdekaan sejati---berdaulat penuh di bidang politik, ekonomi, dan organisasi rakyat.
Bagi Datuk Sri Tan Malaka angka "seratus persen" bukanlah target maksimal, melainkan batas minimal yang harus dicapai oleh sebuah bangsa. Proklamasi 17 Agustus 1945 hanyalah pintu awal, dan mengganti penguasa asing dengan elite lokal tanpa adanya kedaulatan penuh, baginya, adalah sebuah pengkhianatan terhadap revolusi.
Melalui dialog renyah antara lima tokohnya---Mr. Apal (intelektual), Si Toke (pedagang), Si Pacul (petani), Denmas (ningrat), dan Si Godam (buruh)---Tan Malaka menelanjangi konsep kedaulatan yang hakiki. Tulisan ini, yang kini dibukukan oleh penerbit Marjin Kiri, menjadi cermin reflektif atas makna sejati dari sebuah kemerdekaan.
Arti Kemerdekaan: Bukan Kebebasan Burung Gelatik
Perdebatan tentang makna kemerdekaan dimulai dari perumpamaan sederhana. Si Toke berpendapat bahwa merdeka itu seperti burung gelatik yang "bisa terbang kesana kemari, dari pohon ke pohon mencari makan" dengan hati yang "selalu riang gembira".Â
Namun, Si Pacul, sang petani, memberikan sanggahan yang telak. Ia mengingatkan bahwa kebebasan burung gelatik adalah kebebasan semu, karena ia "selalu diintai musuhnya" seperti "kucing atau berangan" atau bahkan "manusia pun bisa sewaktu-waktu menangkapnya atau menembaknya".
Lebih jauh, Si Pacul memberikan perumpamaan yang lebih mendalam, di mana kemerdekaan tanpa batas justru bisa menjadi petaka. Ia menjelaskan bagaimana "rombongan saja gelatik itu sampai ke sawah kami, maka mereka itu merdeka pula memusnahkan hasil pekerjaan kami".
Baginya, kemerdekaan semacam itu adalah "kemerdekaan orang tak berusaha yang merampas hasil pekerjaan orang lain yang mengeluarkan tenaga". Dari dialog ini, Tan Malaka menegaskan bahwa kemerdekaan sejati tidak boleh menjadi kebebasan liar yang merugikan orang lain, melainkan sebuah kebebasan yang terikat pada undang-undang dan keadilan.
Kedaulatan: Dari Raja ke Tangan Rakyat
Diskusi berlanjut ke persoalan kedaulatan. Para tokoh mempertanyakan di tangan siapa kekuasaan tertinggi sebuah negara seharusnya berada. Awalnya, Denmas mengusulkan bahwa kedaulatan ada di tangan raja yang adil dan bijaksana, seperti di zaman Majapahit.
Namun, ide ini segera digugurkan oleh Si Pacul dan Si Toke yang menyadari bahwa raja juga manusia yang bisa "zalim" atau "tak punya keturunan sama sekali", yang justru dapat menimbulkan "perang saudara".
Sebagai solusinya, Mr. Apal mengusulkan bahwa pengendali yang paling aman adalah "aturan atau undang-undang", bukan manusia. Ia menekankan perlunya sebuah Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang lebih stabil dari kemauan raja. Puncak dari pemikiran ini adalah gagasan bahwa kedaulatan sejati harus diletakkan "di tangan rakyat dan pada undang-undang yang dibikin oleh para wakil rakyat".