Dalam khazanah Islam Ahlussunnah wal Jama'ah, lingkungan hidup dipandang sebagai amanah agung dari Allah SWT yang harus dijaga dan dilestarikan, berdasar pada pemahaman bahwa alam semesta, dengan segala isinya, merupakan manifestasi kebesaran dan kekuasaan-Nya, serta memiliki nilai intrinsik yang harus dihormati. Konsep "rahmatan lil 'alamin" pun menjadi landasan etis dalam berinteraksi dengan lingkungan, mengajak umat Islam untuk menjadi pelopor dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan mencegah kerusakan alam.
Namun, di era modern ini, kompleksitas tantangan semakin nyata, di mana industrialisasi yang tidak transparan kerap mengancam kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Di tengah situasi ini, tampil Komunitas PELURU, sebuah gerakan peduli lingkungan yang aktif melawan praktik-praktik industri merusak dan tidak bertanggung jawab. Komunitas ini, dengan nama yang mengandung makna simbolis sebagai "peluru" yang melesat membela lingkungan, adalah gerakan masyarakat sipil yang berfokus pada advokasi lingkungan dan penegakan transparansi dalam praktik industri.
Mereka aktif mengkritisi proyek-proyek industri yang dianggap merusak lingkungan dan tidak memberikan manfaat adil bagi masyarakat sekitar, dan melalui berbagai aksi dan kampanye, berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, serta menuntut tanggung jawab dari pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas industri merugikan. Mereka juga aktif melakukan riset dan investigasi untuk mengungkap praktik-praktik industri yang tidak transparan dan merusak lingkungan.
Dalam perspektif Islam, lingkungan hidup bukanlah sekadar kumpulan benda mati dan makhluk hidup, melainkan sistem kompleks yang terjalin dalam kehendak Ilahi, di mana setiap komponen memiliki peran dan fungsinya masing-masing.
Interdependensi antara manusia dan alam menjadi prinsip dasar, mengingatkan bahwa kerusakan alam akan berdampak langsung pada kehidupan manusia. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran, Surah Ar-Rum (30:41):
 "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Ayat ini secara eksplisit menghubungkan kerusakan lingkungan dengan perbuatan manusia, dan menjadi peringatan akan konsekuensi tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Definisi operasional lingkungan hidup, seperti yang diungkapkan para ahli seperti St. Munajat Danusaputra dan Emil Salim, sejalan dengan pandangan Islam tentang tauhid, bahwa alam semesta adalah ciptaan Allah SWT, dan manusia sebagai khalifah di muka bumi memiliki tanggung jawab untuk menjaganya.
Konsep "saling mempengaruhi" yang ditekankan Emil Salim mengingatkan bahwa setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi, baik bagi lingkungan maupun bagi diri manusia sendiri. Dalam konteks perjuangan Komunitas PELURU, definisi ini diperluas untuk mencakup tanggung jawab kolektif masyarakat dalam melawan praktik-praktik industri merusak, mengingatkan bahwa menjaga lingkungan bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan tanggung jawab bersama sebagai umat manusia.
