Mohon tunggu...
Zainal Mustofa Misri
Zainal Mustofa Misri Mohon Tunggu... Konten Kreator, Aktivis Sosial

Dari sudut-sudut kabupaten Serang, Banten bermuara disini | Pemantau Tipikor | Independent | Transparan | Faktual | Jurnal | News | Opini | Cerita | Desas Desus | Fakta | Sisi Gelap | Info A1 | Kritis | Tajam | Ilmiah | Populer | Terkini |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sisi Lain Pasar Induk Rau : Dari Cerita Warung Kopi Emperan Toko

3 Februari 2025   20:27 Diperbarui: 18 Maret 2025   00:08 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar hanya ilustrasi (Meta AI)

Di tengah gemuruh kota yang mulai meredup, di bawah naungan langit malam yang diguyur gerimis, sebuah gubuk bambu menjadi saksi bisu perjuangan seorang lelaki bernama Madiri. Di sana, di antara aroma kopi dan suara gemericik hujan, terungkap kisah pahit tentang roda kehidupan yang berputar, tentang mimpi yang terenggut pandemi, dan tentang ketegaran hati yang tak pernah padam.

"Kopi, Kang?" tawarnya, sambil menyodorkan cangkir kaleng yang mengepulkan asap. "Biar hangat."

Di tengah gemericik hujan, Madiri mulai bercerita. Bukan tentang tambal ban, melainkan tentang warung kopi kecilnya di emperan Pasar Induk Rau.

Gambar hanya ilustrasi (Dok.Pribadi)
Gambar hanya ilustrasi (Dok.Pribadi)

Dulu, warung itu adalah denyut nadi kehidupannya, tempat ia merajut mimpi dan menghidupi keluarganya. "Setiap pagi, para pedagang dan kuli pasar mampir untuk minum kopi," ujarnya, matanya menerawang ke kejauhan.

"Suara tawar-menawar, hiruk pikuk suasana pasar, suara sendok dan kopi beradu semua berpadu menjadi simfoni kehidupan Pasar Rau." Namun, badai pandemi COVID-19 datang, merenggut semua yang telah ia bangun. Pasar Rau sepi, warung kopinya kehilangan pelanggan. Madiri terpaksa menjual warungnya, beralih profesi menjadi tukang tambal ban.

"Hidup ini seperti roda, Kang," ujarnya, sambil menunjuk ban motor saya yang sedang ia tambal. "Kadang di atas, kadang di bawah. Yang penting, kita harus terus berputar, jangan pernah berhenti." Madiri bercerita tentang bagaimana ia kehilangan segalanya, tentang bagaimana ia bangkit dari keterpurukan.

Suatu malam, alat pembakaran tambal bannya dicuri. "Itu kejadian yang paling membuat saya terpukul," ujarnya. "Alat itu saya beli dengan hasil keringat sendiri, hasil dari warung kopi saya dulu."

Dengan nada getir, Madiri menceritakan bagaimana ia meminjam uang dari tetangga untuk membeli alat bekas. "Di saat sulit, kita baru tahu siapa yang benar-benar peduli sama kita," ujarnya. "Saya juga belajar, Kang, untuk lebih hati-hati. Sekarang, setiap malam, alat itu saya simpan di dalam gubuk, di bawah bantal. Tidak ada yang bisa mencurinya lagi."

Gambar hanya ilustrasi (meta AI)
Gambar hanya ilustrasi (meta AI)

Kisah Madiri adalah potret buram dampak pandemi bagi pelaku usaha kecil. Di tengah kesulitan ekonomi, mereka harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Madiri, dengan segala kesederhanaannya, adalah simbol ketangguhan rakyat kecil yang tak pernah menyerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun