Di tengah gemuruh kota yang mulai meredup, di bawah naungan langit malam yang diguyur gerimis, sebuah gubuk bambu menjadi saksi bisu perjuangan seorang lelaki bernama Madiri. Di sana, di antara aroma kopi dan suara gemericik hujan, terungkap kisah pahit tentang roda kehidupan yang berputar, tentang mimpi yang terenggut pandemi, dan tentang ketegaran hati yang tak pernah padam.
"Kopi, Kang?" tawarnya, sambil menyodorkan cangkir kaleng yang mengepulkan asap. "Biar hangat."
Di tengah gemericik hujan, Madiri mulai bercerita. Bukan tentang tambal ban, melainkan tentang warung kopi kecilnya di emperan Pasar Induk Rau.
Dulu, warung itu adalah denyut nadi kehidupannya, tempat ia merajut mimpi dan menghidupi keluarganya. "Setiap pagi, para pedagang dan kuli pasar mampir untuk minum kopi," ujarnya, matanya menerawang ke kejauhan.
"Suara tawar-menawar, hiruk pikuk suasana pasar, suara sendok dan kopi beradu semua berpadu menjadi simfoni kehidupan Pasar Rau." Namun, badai pandemi COVID-19 datang, merenggut semua yang telah ia bangun. Pasar Rau sepi, warung kopinya kehilangan pelanggan. Madiri terpaksa menjual warungnya, beralih profesi menjadi tukang tambal ban.
"Hidup ini seperti roda, Kang," ujarnya, sambil menunjuk ban motor saya yang sedang ia tambal. "Kadang di atas, kadang di bawah. Yang penting, kita harus terus berputar, jangan pernah berhenti." Madiri bercerita tentang bagaimana ia kehilangan segalanya, tentang bagaimana ia bangkit dari keterpurukan.
Suatu malam, alat pembakaran tambal bannya dicuri. "Itu kejadian yang paling membuat saya terpukul," ujarnya. "Alat itu saya beli dengan hasil keringat sendiri, hasil dari warung kopi saya dulu."
Dengan nada getir, Madiri menceritakan bagaimana ia meminjam uang dari tetangga untuk membeli alat bekas. "Di saat sulit, kita baru tahu siapa yang benar-benar peduli sama kita," ujarnya. "Saya juga belajar, Kang, untuk lebih hati-hati. Sekarang, setiap malam, alat itu saya simpan di dalam gubuk, di bawah bantal. Tidak ada yang bisa mencurinya lagi."
Kisah Madiri adalah potret buram dampak pandemi bagi pelaku usaha kecil. Di tengah kesulitan ekonomi, mereka harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Madiri, dengan segala kesederhanaannya, adalah simbol ketangguhan rakyat kecil yang tak pernah menyerah.