Mohon tunggu...
Zahrah Izzati
Zahrah Izzati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[FAPI]Kutukar Mimpi dengan Bualan Janji

6 Juli 2015   21:27 Diperbarui: 7 Juli 2015   05:30 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Mereka-reka mimpi dalam imajinasi. Aku terpental, lalu jatuh tersungkur. Ternyata sungguh sakit rasanya. Benar kata temanku, jangan suka mimpi di siang bolong ! dan sekarang bukannya menghibur, disampingku dia malah sibuk mengomel tak jelas. Membuat bertambah pening kepalaku.

“ Jangan munafik jadi orang, pintar-pintarlah belajar dari pengalaman, orang macam kita ini cuma jadi alat, kau boleh saja ambil uangnya, asal jangan sampai termakan bualannya, sudah, terima nasib sajalah sekarang ! buat apa kau murung begini, lebih baik pikirin bantu orang tua cari duit ! “

Namanya Dayat, teman sepermainanku sejak dari orok. Dia tak jauh beda dengan para pejabat itu, suka sekali membual. Tapi soal nasib, dia tak jauh beda dariku. Andai bisa sekolah tinggi pastilah dia sudah jadi pengacara. Tapi ada daya, sekarang kami malah sama-sama terkungkung disini. Mimpiku tak tinggi-tinggi amat. Aku cuma ingin sekolah, sama dengan kebanyakan anak seusiaku. Biar pintar aku berhitung. Jadi ibuku tak perlu ngomel-ngomel lagi kalau aku pergi ke warung mak romlah yang licik itu. Sering kali aku kena tipu karena tak bisa menghitung uang kembalian.

Umurku menjelang dua belas tahun bulan depan, tapi belum pernah kucicipi manisnya bangku pendidikan. Satu-satunya buku yang ada di rumah cuma ‘belajar baca tulis’. Itupun bekas sepupuku yang tinggal jauh di ibu kota. Baru setahun lalu aku akhirnya lancar baca tulis. Itu tak lepas dari jasa Ibuku yang setia mengajariku sambil tak henti mulutnya mengomel, katanya aku bahkan lebih bodoh dari dia yang dulu sempat tinggal kelas dua kali di sekolah rakyat. Ibuku sampai stres sendiri. Untuk pelajaran berhitung, Ibuku memilih angkat tangan. Katanya sudah tak sanggup menghadapi diriku. Padahal aku curiga, sebenarnya dia sendiri juga tak bisa.

Tapi sepertinya sebentar lagi mimpiku bakal terwujud. Sudah sejak seminggu lalu aku mempersiapkan diri untuk hari ini. Hari dimana aku akan berangkat sekolah untuk pertama kali. Dengan seragam baru, sepatu baru, dan segenap semangat yang menggebu, aku melangkah pasti menyambut hari. Menyusuri jalan tanah yang becek dan berliku. Sayang jembatan menuju desa seberang tempat sekolahku berada belum juga diperbaiki sejak ambles tahun lalu. Terpaksa aku harus sedikit memutar. Tak apa cuma lima kilometer saja. Jantungku berdegup kencang seiring langkahku yang terburu. Gawat, apa jadinya kalau aku harus terlambat di hari pertama. Tapi sepertinya aku bukan hanya terlambat, tapi juga kesasar. Mana mungkin sekolah yang kutuju bangunannya hanya serupa gudang tak terurus. Pasti ada yang salah. Aku putuskan bertanya pada warga sekitar.

            “ Permisi bu, sekolah yang baru di bangun di sebelah mana ya bu? “

            “ Sejak kapan ada sekolah di desa ini? Wah, Ibu nggak tahu tuh “

Mereka malah heran dengan pertanyaanku. Ada pula yang terkekeh menertawakanku. Ternyata semua hanya ilusi. Lagi-lagi aku harus terbangun dari mimpi di siang bolong.

*****

Disini pemilu tak sekedar pesta demokrasi, tapi juga pesta rakyat. Waktu dimana rakyat dimanjakan dengan segala hiburan bahkan materi. Biar sekedar pemilihan kepala daerah, tapi meriahnya tidak kalah dengan perayaan tujuh belasan di kampung kami. Desaku yang masih terisolasi mendadak ramai dikunjungi elit politisi. Putusnya sebuah jembatan yang menghubungkan desaku dengan desa seberang langsung jadi pusat perhatian. Calon dari berbagai partai berlomba-lomba meninjau lokasi jembatan sambil menebar sejuta janji.

Dalam sekejap desaku yang bisanya sepi berubah menjadi panggung sandiwara. Mulai dari orasi, konser dangdut, sampai bakti sosial, rutin diselenggarakan. Aku sampai berdecak kagum, betapa dermawannya para calon pemimpin kami. Habis berorasi dengan berapi-api, tak lupa membagi-bagikan upeti. Kata orang tak baik menolak rezeki, apalagi dari calon pemimpin yang baik hati. Janji-janjinya selangit, tapi pesannya cuma satu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun