Mohon tunggu...
Sun
Sun Mohon Tunggu... Anak dari kedua orang tua, dan sekarang menjabat sebagai mahasiswa

Kaktus, Guava, Novel, Menulis, Olahfisik, Running, Sepak Bola, Tepuk bulu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Air Mata Tak Lagi Menjadi Kata

2 Oktober 2025   16:00 Diperbarui: 28 September 2025   19:55 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Air mata ini terus mengalir. Tidak deras, tidak pula heboh, hanya setia hadir, setiap hari, tanpa henti. Entah kenapa, rasa ini selalu bertambah dua kali lipat ketika malam datang. Saat dunia melambat, justru pikiranku berlari makin kencang. Lelah, tapi tak bisa berhenti.

Aku tidak bisa menulis. Sudah lama tidak bisa.

Aku telah mencoba berbagai cara. Membawa buku catatan ke mana-mana. Membaca ulang novel-novel favorit. Menyalin kutipan dari penulis-penulis yang kuanggap sakti. Berharap satu kalimat saja mampu memantik ide, menggoyang rasa. Tapi nyatanya, tidak. Catatan di laptop masih kosong. Draf-draf di ponsel hanya berisi judul tanpa isi.

Aku bingung. Kepalaku penuh. Tapi tetap tak satu kata pun keluar.

Katanya, saat kita sedang sedih, akan banyak tulisan jujur tercipta. Aku pernah percaya itu. Tapi sekarang, aku malah merasa lumpuh. Seolah antara otak, hati, dan air mata tidak lagi saling bicara. Mereka hidup masing-masing, seperti teman nongkrong yang bubar jalan begitu malam usai. Tidak ada satu pun yang tinggal untuk menemani.

Apa aku rusak?

Aku mulai memikirkan: mungkin aku perlu "diservis". Diperiksa ulang. Dicari bagian mana yang tidak berfungsi. Jika tubuh manusia bisa diperiksa layaknya mesin, cek oli emosi, ganti filter pikiran, kalibrasi ulang perasaan, mungkin aku sudah antri di bengkel sejak lama.

Tapi justru saat aku berhenti mencari, sesuatu datang. Bukan jawaban, bukan juga solusi, melainkan kesadaran. Bahwa mungkin, aku tidak harus menulis untuk menenangkan rasa. Mungkin aku hanya perlu duduk bersama rasa itu. Diam. Mengizinkan air mata jatuh tanpa paksaan untuk diubah menjadi paragraf.

Mungkin memang ada saatnya kita tidak menulis apa pun, karena kita sedang menjadi sesuatu.

Lama kelamaan, aku mulai menyadari bahwa keheningan pun punya suara. Ia tak memaksa. Ia hanya hadir, dan dalam diamnya yang lembut, ia membawa kita ke dalam diri sendiri. Aku mulai memberi ruang bagi diri untuk hanya merasa, tanpa interpretasi. Hanya menyadari bahwa aku sedih, aku lelah, dan itu... cukup.

Lalu suatu malam, tanpa sengaja, aku menulis satu kalimat pendek di atas kertas kosong:
"Aku merasa, tapi tidak tahu apa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun