Mohon tunggu...
Zahrotul Mutoharoh
Zahrotul Mutoharoh Mohon Tunggu... Guru - Semua orang adalah guruku

Guru pertamaku adalah ibu dan bapakku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Terbaik Untukmu, Sahabatku..

1 Juni 2022   20:41 Diperbarui: 1 Juni 2022   20:49 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ku pandang sosok kawanku. Seorang perempuan cerdas. Yang selalu bersemangat dalam hidupnya. Tapi kini dia di depanku tampak lelah.

Ya, aku tahu yang dia hadapi sejak kurang lebih satu tahun ini. Tepatnya setelah rumah tangganya diambang kehancuran.

Yang aku tahu dia bukan sosok perempuan penuntut. Dia mandiri. Tak pernah merepotkan orang atau teman lain. Bahkan sering membantu tanpa pamrih.

Dia menikah dengan seorang duda beranak satu. Entahlah, bagaimana dia mengenal suaminya. Yang ku tahu dan yang ku harap rumahtangganya baik-baik saja. Doaku ketika dia menikah dengan lelaki itu.

"Aku masih harus konsultasi ke BP4, Ka..", kalimat pertama yang ku dengar darinya.

Beberapa bulan yang lalu, sahabatku itu memang menceritakan semua yang dihadapi. Hingga dia berniat maju pengajuan ijin cerai karena dia seorang PNS. Dan dia sudah pada tahap pembinaan di Dinas.

***

"Dia tak memberiku nafkah selama satu tahun karena keadaannya, ku maklumi Ka. Karena untuk biaya anaknya.. Tetapi kenapa malah aku dinilai pelit karena tidak membagi untuk dia dan anaknya..", cerita Nira saat itu.

"Saat awal berumahtangga anak ikut kami di rumah kedua orangtuaku. Tetapi keinginan suamiku macem-macem.. Yang membuatku merasa tertekan keinginan suamiku agar anaknya bisa menjadi tentara seperti kakeknya.. Padahal kondisi suamiku masih kembang kempis untuk menafkahi anak.. Tidak menafkahi aku lho, Ka..", lanjutnya.

Ku dengarkan keluhan Nira. Aku belum berkomentar apa-apa karena Nira masih butuh untuk didengarkan.

"Udah gitu ketika aku dan ibu mau membuatkan kamar untuk anaknya agar tidak jadi satu dengan kami, komentar suamiku membuatku merasa dia tak bersyukur dengan niat baikku.. Dia mengatakan sempit ruangannya, ketika ku tunjukkan sudut ruang yang akan jadi kamar anaknya.. Ngewuhke Ka..", kata Nira sambil menahan air matanya.

"Padahal kondisi rumah keluarganya juga sempit Ka.. Perumahan untuk tujuh orang seberapa to..", lanjut Nira sambil menggelengkan kepalanya.

"Lebih-lebih suamiku tak pernah membahas program hamil. Bahkan ketika awal nikah suamiku mengatakan kalau sudah usia 38 tahun sulit punya anak..".

Kulihat sahabatku itu menangis sesenggukan. Memang saat sahabatku menikah sudah usia matang. Tetapi menurutku itu kejam. Kekerasan dalam rumah tangga secara psikis. 

Tak selayaknya suami mengatakan itu kepada istri. Apalagi suami sudah punya anak dari perkawinan terdahulu. Pasti hancur hati sahabatku.

***

"Doakan aku terus ya, Ka..".

Branjang, 1 Juni 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun