Syahdan, di alam Para Aulia (Wali) ada pertemuan. Meeting menghadirkan Para Wali tanah Jawa dan sekitarnya.
"Hampir semua Wali telah hadir. Tinggal seorang Wali yang belum datang." Kata pembawa acara.
"Ditinggal saja. Segera kita mulai musyawarah-nya." Usul seorang Wali.
"Tidak bisa. Harus kita tunggu. Dia satu-satunya yang kompeten." Sanggah pembawa acara.
"Siapa dia, kok begitu istimewa." Tanya Wali yang lain.
"Dia Wali modern. Hidup di zaman akhir. Patut disimak fatwa-nya, bisa jadi solusinya jitu." Tegas pembawa acara.
Dari luar terdengar gema Selawat Badar. Begitu riuh. Diikuti iringan berbagai jenis alat musik. Klasik, rebana, rock metal, karawitan, gamelan, angklung, dan lain-lain. Begitu banyak, tak hafal semua jenisnya. Bahkan ada musik ala suku Dayak.
Suara-suara nyanyian. Di belakang rombongan pelantun Selawat tidak kalah keras.
"Oom . . . Bapa di Surga . . . Namo Budaya . . . Damailah selalu . . . ." Berbagai jenis lantunan bacaan doa terdengar saling bersahutan.
Riuh, semarak, diiringi bunyi petasan, kuda lumping, tari Saman, dan sebagainya.
Para Wali kaget. Berdiri dan melihat ke arah rombongan yang datang. Di depan rombongan, seorang bertubuh tambun tertidur di becak. Seorang santri bersarung membangunkan dan memapahnya masuk ruangan rapat.