Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Simbol dan Sinyal Sang Petahana Buat Prabowo Ganjar

1 Desember 2022   07:26 Diperbarui: 27 Desember 2022   17:23 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sang Petahana Presiden Jokowi Saat Hadir di GBK, Sumber Foto Topik Pilihan Kompasiana

Makin gamblang saja sikap politik Sang Petahana Presiden Jokowi sebut nama soal capres. Terutama yang ada hubungan dengan isu lagi trend “rambut putih”. Saat ada di Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, Jokowi urai siapa saja tokoh dimaksud. Kata Presiden, “Banyak yang rambutnya putih, seperti Hatta Rajasa, Ganjar Pranowo, termasuk Pak Prabowo Subianto, rambutnya juga agak putih” (CNN Indonesia, 29/11/2022).

Tak perlu terlalu jauh dianalisa. Dalam konteks pencapresan, orang awam politik-pun dapat menebak siapa yang dimaksud Pak Jokowi. Pastilah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Mengapa bukan Pak Hatta rajasa..? Ya sulit dicari korelasinya. Ibarat lampu listrik. Padam karena kabel putus.

Saat ini Pak Hatta Rajasa kelihatan sudah agak vakum dari hiruk pikuk dunia politik. Juga  tidak ada indikasi atau bahkan menyatakan diri sebagai capres atau cawapres. Perkiraan saya, beliau ingin pensiun. Hendak menikmati hidup tenang bareng keluarga dan nimang cucu. Setelah sekian tahun ikut berkecimpung urus negara sebagai politisi PAN.

Sementara itu, masih ada kaitan dengan pencapresan, saat hadir pada acara Bahaupm Bide Bahana Tariu Borneo Bengkule Rajakng di kota yang sama Selasa kemarin, Jokowi ingatkan masyarakat. Disarikan dari Kompas.com, 30/11/2022, beliau minta agar menjaga keberagaman dan stabilitas. Jangan sampai ada gesekan, adu domba atau pecah belah.

Mengingat fakta tak bisa dibantah jika dibanding negara lain, Indonesia terkenal akan keberagaman. Kaya akan budaya. Banyak sekali suku atau golongan masyarakat yang hidup dengan ciri khas masing-masing. Maka perbedaan menjadi sebuah keniscayaan yang tak dapat dihindari. Sehingga rawan terjadi gesekan. Untuk itu, peran berbagai kelompok masyarakat, terutama para kandidat, dalam menjaga stabilitas mutlak dibutuhkan.

Fakta lain, mayoritas warga negara bumi Nusantara merupakan pemeluk agama islam. Masuk tahun politik, rawan dijadikan alat rebutan vox pop. Oleh sebab itu, tak dapat disalahkan juga, ketika beberapa waktu lalu Presiden Jokowi kasih himbauan agar menjauhi politik identitas. Mengingat fakta yang sudah terjadi menunjukkan ada gejala kuat terulang kembali menjelang pilpres mendatang.

Untuk itu, lagi-lagi saya tak bisa menghindar untuk sebut pengalaman saat pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Dimana perhelatan yang sebenarnya merupakan urusan dunia itu, ditarik sedemikian rupa hingga masuk ke soal agama. Contoh kongkrit, jika ada salah satu pendukung calon gubernur meninggal, diancam tak bisa disolatkan di satu masjid, karena merupakan pendukung calon sebelah.

Naahh, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo dianggap kredibel mengemban amanat Sang Petahana diatas. Mungkin karena selama kerjasama jalankan pemerintahan, Prabowo sebagai Menteri Pertahanan dan Ganjar Gubernur Jawa Tengah, kinerja keduanya cocok dimata Jokowi. Sehingga masuk nominasi. Makanya beliau tak ragu kasih sinyal atau kode dukungan pada tiap kesempatan. Termasuk dalam soal “rambut putih”.

Kecocokan Jokowi sebagai petahana kepada Prabowo dan Ganjar lebih-lebih jika dikaitkan dengan program Ibu Kota Negara atau IKN. Sebagai penggagas, pastilah Jokowi tak ingin IKN gagal. Apalagi jika sampai dibatalkan. Mengingat, secara ideal IKN dijadikan sebagai cikal bakal kemajuan Indonesia dimasa depan. Dan secara pribadi, ada kaitan dengan nama baik mantan presiden.

Bagaimana dengan Puan Maharani yang juga disebut-sebut sebagai capres terutama oleh para elit PDIP..? Saya kurang yakin Mbak Puan ada dihitungan Jokowi. Meski sudah disodor-sodorkan demikian rupa, tak juga muncul sinyal terhadap Putri Mahkota Bu Mega ini. Padahal, pada tiap acara punya kesempatan yang sama dengan Prabowo dan Ganjar. Sering ikut dampingi Jokowi kemana-mana.

Apalagi Anies Baswedan. Capres milik Surya Paloh dari Partai Nasdem. Pertimbangan mengapa Anies tak masuk hitungan Jokowi setidaknya ada dalam dua sebab. Pertama, bisa karena faktor kinerja. Dalam pandangan Jokowi, Anies dianggap kurang mampu eksyen. Parameternya, Anies diganti sebagai Menteri Pendidikan jauh sebelum masa jabatan berakhir.

Kedua, bisa juga karena Anies dipersepsikan kurang tegas saat menghadapi ulah pendukungnya. Yang sering menggunakan isu agama demi memenangkan pertarungan sebagai gubernur DKI Jakarta. Padahal kalau mau, ketika itu bisa saja Anies mencegah hal tersebut lewat berbagai cara. Ini tentu berkaitan dengan komitmen Jokowi untuk menghidari politik identitas. Terutama pada perhelatan pilpres 2024.

Meski kapan hari Litbang Kompas keluarkan hasil survei hanya sekitar 15.1 persen warga pilih capres yang didukung Presiden Jokowi, namun tetap saja saat berlangsung pilpres beliau masih pegang kekuasaan. Yang tak mungkin bisa dibantah, juga merupakan celah potensial jika digunakan sebagai back-up dukungan terhadap kandidat tertentu. Ya tentu dengan cara yang tak melanggar undang-undang.

Apalagi melihat angka yang hingga mencapai 15.1 persen. Bagaimanapun juga, merupakan modal berharga dan luar biasa. Terlebih jika sampai terjadi persaingan ketat, nominal 15.1% sangat-sangat dibutuhkan. Dalam politik, jangankan mengantongi suara hingga belasan persen. Satu persen saja sudah potensial. Mengulang kutipan pepatah politik dari Tiongkok oleh Prabowo kapan hari, “Seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak”.

Maka melihat potensi Jokowi yang dapat membawa suara hingga 15.1 persen, pastilah membuat kandidat capres-cawapres ngiler. Sehingga tak bisa disalahkan juga, kalau ada beberapa diantaranya, sangat berharap di support oleh beliau. Meski cuma berupa simbol atau sinyal. Mengapa, karena baik simbol maupun sinyal ibarat restu tak kasat mata. Yang dengan mudah bisa dibaca. Terutama oleh para pendukung atau Relawan Jokowi.

Anda masih ingat laporan beberapa media soal “Jokowi Enggan Pelukan Sama Paloh”? Nahh, itu ada dalam koridor di atas. Bahwa orang butuh dukungan Jokowi tak perlu terang-terangan. Cukup pakai simbol, selesai urusan. Mungkin dengan cara main peluk, Paloh berharap ada kesan hubungan dengan presiden baik-baik saja. Meski sudah capreskan Anies Baswedan. Yang juga bisa diartikan Jokowi tak keberatan. Naah, Jokowi paham itu. Makanya beliau tak mau dipeluk oleh Paloh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun