Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perjanjian Pranikah, Jangan Suudzon

19 Agustus 2022   12:49 Diperbarui: 19 Agustus 2022   12:57 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Akad Nikah, Foto. Dok. Bergaya.id, Via NU Online

Dikutip dari Hukumonline.com, sebelumnya perjanjian pranikah merupakan kesepakatan calon suami istri yang isinya bervariasi. Tapi kebanyakan tentang pembagian materi atau harta kekayaan. Saat ini, klausul atau isi yang tertuang dalam perjanjian pranikah makin luas. Ada yang menyinggung soal kekerasaan rumah tangga, hak asuh anak, batas waktu jika salah satu pihak meninggalkan yang lain tanpa ada kabar dan sebagainya.

Biasanya, isi perjanjian pra nikah di daftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) dan ditandatangani sebelum proses ijab kabul. Dalam perkembangannya, perjanjian pra nikah kini tidak hanya dilakukan sebelum perkawinan, namun boleh dibuat selama masih terikat perkawinan yang sah sesuai Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015 terkait tafsir Pasal 29 ayat (1), (3), (4) UU Perkawinan.

Perjanjian pranikah adalah pilihan. Merupakan keputusan hasil dorongan sifat subyektifitas manusia. Baik didasarkan pada pertimbangan logis maupun emosional. Logis karena lahir dari pemikiran yang riil. Sedang emosional, karena ada kemauan sepihak suami atau istri. Sebab itu, dampak janji pranikah yang kelak mungkin muncul, tidak bisa dijadikan kambing hitam. Positif maupun negatif harus diterima. Itu adalah konsekwensi logis.

Ada baiknya, sebelum calon pasangan punya keputusan hendak buat perjanjian pranikah, perlu dipikir matang-matang. Perlukah perkawinan diikat secara formal dalam bentuk "regulasi" bersama, atau cukup rasa saling percaya..? Demikian pula tentang isi atau klausul yang akan masuk didalamnya. Penting didiskusikan secara serius.

Lantas, mengapa calon pasangan masih perlu ada ikatan janji pranikah, padahal hak dan kewajiban masing-masing sudah diatur oleh agama..? Tidakkah aturan agama itu sudah cukup..? Menurut saya, itu disebabkan oleh faktor rasa khawatir. Kasarnya, ada sikap kurang percaya terhadap bakal pasangan masing-masing. Kalau yang minta calon istri, berarti tak percaya pada kandidat suami. Demikian pula sebaliknya. Menurut islam, ini dinamai suudzon. Artinya berburuk sangka.

Dalam konteks perjanjian pranikah, sikap suudzon yang muncul meliputi dua hal. Pertama, tak percaya terhadap tanggung jawab dan dedikasi pasangan. Ini bisa menjangkiti calon istri maupun suami. Baik saat masih terikat perkawinan, maupun jika kelak bercerai. Misal, istri khawatir suami tak bisa memberikan kebahagiaan nafkah lahir-batin, merawat anak dan sebagainya. Sebaliknya, suami takut istrinya enggan melayani keperluan dirinya dengan baik.

Nampaknya, pada kedua belah pihak terdapat kecemasan yang terlalu berlebihan, tentang situasi masa depan dirumah tangga. Padahal, tak ada satupun makhluk didunia ini yang bisa menjamin, seperti apa kondisi hubungan suami istri selanjutnya.

Okelah, misal sudah tersusun kesepakatan beberapa klausul perjanjian pranikah. Isinya dipandang sangat pas dan ideal. Secara logika masuk akal, riil dan bersifat antisipatif terhadap kemungkinan yang bisa terjadi pada masa mendatang. Ada rincian hak dan kewajiban masing-masing pasangan, siapa yang bertanggung jawab terhadap anak, soal pembagian warisan, bagaimana jika salah satu pihak lebih dahulu meninggal dunia dan beberapa lainnya.

Apakah dapat dipastikan beberapa klausul itu akan rigid berjalan sesuai SOP yang tercantum di perjanjian pranikah..? Saya rasa tidak. Mengapa, karena skenario Tuhan atas kehidupan ini tak bisa diatur oleh manusia. Maka bisa jadi, Tuhan akan membelokkan perjalanan hidup suami istri jauh melenceng dari rencana yang diidamkan lewat perjanjian. Misal diberi musibah seperti keluarga Ferdy Sambo. Sebuah kejadian yang pastinya sangat tidak mungkin masuk dalam perjanjian pranikah, namun terjadi dalam kehidupan rumah tangga.

Kedua, perjanjian pranikah juga menyiratkan rasa suudzon pada Tuhan. Disini, pasangan suami istri merasa khawatir Tuhan tak bisa berbuat apa-apa terhadap makhluk-Nya. Tuhan dianggap lemah. Tak mampu "memelihara" ciptaan-Nya sendiri. Ini jelas anggapan yang keliru. Karena soal rezeki, umur, jodoh dan qadhok qadar, sudah ada hitungannya. Termasuk juga soal masa depan perkawinan sepasang suami istri. Tuhan sudah punya garis. Jika sepasang suami istri hidup langggeng bagaimana, pun jika bercerai bagaimana. Itu semua sudah ada dalam skenario Tuhan. Yang mustahil bisa diatur oleh keinginan manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun