Mohon tunggu...
Niswatuzzakiyah
Niswatuzzakiyah Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance writer

Menebar manfaat sebanyak-banyaknya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cahaya Asa

2 Maret 2021   17:00 Diperbarui: 2 Maret 2021   17:16 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku bahkan sering melihat mereka yang nge-lem itu, wajahnya tampak layu, matanya merah, dan mereka seperti orang mabuk yang kehilangan akal. Bukan hanya nge-lem. Ada juga diantara sesama pengamen yang memakai narkoba. Awalnya coba-coba. Namun akhirnya mereka ketergantungan sampai ada yang beralih menjadi pencopet untuk bisa membeli benda itu. 

Selain itu, banyak juga yang sering minum minuman keras. Mereka selalu berkumpul di sebuah pondok kecil tak jauh dari jalan raya setiap menjelang Maghrib. Bukan hanya pengamen. Entah siapa saja yang turut berkumpul di situ. Ada tukang becak, preman jalanan. Mereka juga bermain judi. Kehadiran mereka membuat para pejalan kaki, khususnya wanita merasa khawatir. Syukurnya ada jalan lain menuju pemukiman sehingga tidak perlu melewati mereka.

Aku sendiri pernah hampir terjebak ikutan nge-lem. Mereka, anak-anak jalanan itu pernah menawariku plastik berisi lem yang kuceritakan tadi. Saat kuhirup, aku langsung merasa mau muntah. Aromanya sangat menyengat. Aku heran. Kenapa mereka terlihat sangat menikmati aroma aneh dari lem itu? Tak cukup sampai di situ. 

Di antara mereka ada juga yang menawariku sebungkus permen. Ketika kubuka, aku tertegun melihat bentuk permen itu. Permen atau obat? Lebih mirip obat sebenarnya. Karna terlihat mencurigakan, aku memilih tak memakan permen itu. 

Ya. Aku memang tidak mau memasukkan hal-hal yang tidak jelas ke dalam tubuhku. Sesuai pesan almarhum Ayah. Apalagi aku sering diwanti-wanti oleh Haji Salim, pemilik kedai tempat biasa aku beristirahat, untuk tidak mudah percaya dengan orang-orang yang ada di jalanan. Terlebih jika mereka menawarkan sesuatu yang kau tidak tahu itu apa, jangan diterima. Akhirnya demi keselamatan diriku, aku memilih menghindari mereka.

Tentu aku sangat terkejut saat melihat Asa yang sedang duduk sendirian menungguku kembali dari toilet umum, didekati seorang anak lelaki seumuranku yang menawarkan padanya untuk menghirup aroma lem yang ditaruh di dalam sebuah plastik putih kecil siang tadi. Untungnya aku melihat kejadian itu. Dengan cepat aku menarik lengan Asa dan mengajaknya pergi.

“Memangnya itu apa, Kak?” tanya Asa polos.

“Itu racun! Hey,”  Aku memegang kedua bahunya dan menatapnya serius, “Jangan pernah coba-coba untuk lakukan hal seperti yang mereka lakukan. Dan jangan pernah dekati mereka. Selama kita ngamen, kau harus selalu bersamaku. Mengerti?” Bocah lugu itu mengangguk.

Kau harus selalu bersamaku. Entah kenapa seketika aku merasa ada beban berat yang ditambahkan ke pundakku. Ah. Cahaya. Semoga kau tidak sekadar memberi harapan kosong pada anak ini.

Terkadang aku merasa kesal. Kemana para pemimpin negeri ini? Tidakkah kalian lihat betapa mirisnya kehidupan kami para rakyat kecil? Tidakkah kalian khawatir dengan masa depan kami, anak-anak negeri, yang kalian bilang generasi penerus bangsa? Aku juga kesal dengan mereka yang seenak jidatnya korupsi uang rakyat. 

Aku sering melihat berita ini di TV. Sementara rakyat kecil sepertiku, bukan. Bukan hanya aku. Hidup dengan penuh tekanan akibat semakin mahalnya kebutuhan pokok dan biaya hidup lainnya. Ah. Terkadang melihat berita di TV memang membuat kekecewaanku terhadap mereka yang duduk di kursi kekuasaan kian memuncak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun