Angka kejadian penyakit kanker terus meningkat setiap tahun terutama terkait dengan perubahan gaya hidup dan tingginya pajanan manusia terhadap zat-zat yang bersifat karsinogenik. Saat ini 20% kanker terjadi pada perempuan umur reproduksi termasuk diantaranya ditemukan pada umur kurang dari 40 tahun. Jenis kanker terbanyak pada perempuan adalah kanker payudara (0.48%), melanoma (0.21%), kanker serviks (0.16%), leukemia (0.13%), limfoma non-Hodgkin (0.09%) dan kanker endometrium (0.06%).
Perkembangan di bidang kemoterapi dan radioterapi dalam 10 tahun terakhir menyebabkan angka kesintasan 5 tahun penderita kanker dapat mencapai 90%. Hal ini terjadi karena respon kanker yang baik terhadap kemoterapi atau radiasi. Pada tahun 2010 diperkirakan 1 dari setiap 250 pasien kanker akan mampu bertahan hidup. Kesintasan 5 tahun penderita melanoma sebesar 91%, diikuti oleh kanker payudara sebesar 88%, kanker endometrium sebesar 84%, kanker serviks sebesar 73%, limfoma non-Hodgkin sebesar 59% dan leukemia sebesar 46%.
Namun demikian seringkali seorang perempuan yang harus menjalani kemoterapi atau radioterapi akibat kanker yang dideritanya harus menerima kenyataan bahwa dirinya tidak dapat memiliki keturunan di kemudian hari. Hal ini diakibatkan efek samping terapi yang bersifat toksik terhadap ovarium (indung telur) sehingga memicu kegagalan fungsi ovarium dalam menghasilkan sel telur yang sehat. Hal yang sangat kontradiktif, dimana angka keberhasilan kemoterapi atau radioterapi meningkat, namun seorang perempuan yang telah sembuh harus menjalani kehidupan selanjutnya dengan fungsi reproduksi yang tidak bekerja, yang tentu saja meniadakan rencana menjadi ibu, memiliki keturunan serta dapat menurunkan kualitas hidup seorang perempuan.
Kini di dunia telah berkembang berbagai upaya untuk melakukan preservasi fungsi reproduksi. Upaya preservasi fungsi reproduksi perempuan dapat dilakukan dengan metode simpan beku embrio, oosit atau ovarium. Pilihan ini sangat tergantung pada jenis kanker, umur pasien, protokol dan waktu pemberian kemoterapi serta status perkawinan. Simpan beku ovarium memiliki keunggulan dibandingkan simpan beku oosit dan embrio karena 90% jaringan folikel pre-antral (sel telur yang belum matang) terdapat dalam bagian lapisan luar (korteks) ovarium yang relatif tahan terhadap trauma dingin. Di samping itu ovarium dapat diperoleh setiap saat sehingga sangat potensial untuk dibekukan pada penderita kanker yang harus segera menjalani kemoterapi atau radiasi. Metode simpan beku ini dikenal juga dengan istilah Kriopreservasi.
Jaringan ovarium yang disimpan beku dapat disimpan selama dibutuhkan, dan akan ditransplantasikan kembali ke tubuh pasien setelah pasien selesai menjalani terapi dan diperbolehkan untuk hamil.
Kini, metode preservasi ovarium telah diperkenalkan di Indonesia. Adalah DR. dr. Budi Wiweko, SpOG (K), seorang ahli ginekologi reproduksi yang pertama melaporkan keberhasilannya dalam melakukan simpan beku jaringan ovarium, Melalui penelitiannya, Budi Wiweko dan tim melakukan eksperimen simpan beku ovarium dengan metode vitrifikasi, dan membuktikan bahwa sel telur muda atau folikel pre-antral jaringan yang mengalami simpan beku memiliki viabilitas dan morfologi yang baik, alias akan dapat berfungsi dengan baik bila suatu saat ditransplantasikan kembali ke tubuh pemiliknya.
Hasil penelitian ini disampaikan Budi Wiweko dalam sidang terbuka promosinya sebagai Doktor dalam ilmu kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta, 27 Februari 2014. Budi Wiweko merupakan staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di Departemen Obstetri dan Ginekologi. Sebagai seorang yang memiliki kekhususan di bidang endokrinologi reproduksi, ia seringkali menemui berbagai kasus yang menjadi momok manakala seorang perempuan divonis kanker dan harus kehilangan fungsi reproduksinya. Hal inilah yang memotivasi Budi dan tim untuk melakukan penelitian kriopreservasi ovarium, suatu lahan penelitian yang belum banyak dijamah orang di Indonesia, bahkan di berbagai belahan dunia.
“Langkah ini merupakan salah satu batu loncatan, yang dapat menempatkan bidang keilmuan endokrinologi reproduksi Indonesia beberapa langkah lebih maju, hingga dapat sejajar dengan berbagai negara Eropa-Amerika yang telah memulai langkah ini di dunia. Bahkan di Asia, kita termasuk pelopor”, ujar Budi Wiweko.
Dengan hasil penelitian yang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUP Fatmawati ini, Budi dan tim optimis, bahwa dalam waktu dekat, mereka maju selangkah lagi lebih dekat untuk melakukan transplantasi ovarium, dan tinggal menunggu waktu kelahiran bayi pertama dari Indonesia yang dihasilkan jaringan ovarium yang dipreservasi.
dr. Yassin Yanuar MIB, SpOG
Staf Indonesia Reproductive Medicine and Training Center (INA-Repromed)