Mohon tunggu...
Yayuk CJ
Yayuk CJ Mohon Tunggu... Pembalap Baru

SOLI DEO GLORIA

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Melihat Selumbar di Mata Orang Lain, Lupa Balok di Mata Sendiri

14 Oktober 2025   08:30 Diperbarui: 14 Oktober 2025   09:09 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - source: hop.church

(Sebuah refleksi atas Matius 7:3–5 dalam kehidupan sehari-hari)

“Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?”
— Matius 7:3

Di dunia yang semakin terbuka dan bising oleh opini, ayat ini terasa seperti cermin yang menegur: “Lihat dulu dirimu sebelum bicara tentang orang lain.”

Miris, itu realita yang terjadi di dunia kita saat ini. Banyak orang hanya bisa bicara, dan menuduh, dan menghakimi orang lain tanpa mau rendah hati untuk melihat diri sendiri, mengevaluasi, dan merefleksikan perlaku kita sendiri.

Saya cukup risih dan merasa geli ketika ada orang yang melakukan beragam cara untuk mencari-cari kesalahan, kelemahan, dan cacat orang lain. Hal ini tampak nyata dan bahkan menggiring opini yang semakin tak terarah. 

Kita hidup di zaman di mana kritik begitu mudah dilontarkan, baik di ruang kerja, lingkungan sosial, bahkan di media sosial. Semua orang punya pendapat, tapi tak semua orang mau bercermin.

Apa Itu “Selumbar” dan “Balok”?

Dalam konteks asli bahasa Yunani, “selumbar” (Greek: karphos) berarti serpihan kecil kayu, nyaris tak terlihat, tapi cukup mengganggu jika menempel di mata. Sedangkan “balok” (dokos) berarti potongan kayu besar seperti tiang penyangga rumah.

Perbandingan ini bukan kebetulan. Yesus memakai hiperbola, gambaran yang berlebihan, untuk menegur kecenderungan manusia: kita terlalu cepat menyadari kekurangan kecil pada orang lain, tapi menutup mata terhadap kesalahan besar yang ada dalam diri sendiri.

Dengan kata lain, selumbar melambangkan dosa kecil orang lain yang mudah kita lihat; sedangkan balok menggambarkan dosa atau kesombongan diri yang justru menghalangi pandangan rohani kita sendiri.

Ketika Saya Sendiri Melihat “Selumbar” Itu

Saya pernah mengalami hal sederhana tapi menampar. Dan ini salah satu pengalaman yang cukup membuat saya ber-refleksi.

Suatu kali, dalam rapat kerja di sekolah, saya merasa kesal pada rekan yang datang terlambat dan tampak kurang siap. Dalam hati, saya menilai ia kurang disiplin. Namun, beberapa hari kemudian, saat saya sendiri datang tergesa-gesa karena pekerjaan pustaka yang menumpuk, rekan yang sama hanya tersenyum dan membantu saya menyiapkan bahan rapat tanpa komentar apa pun.

Saya terdiam. Saat itu saya sadar: saya baru saja melihat “balok” di mata sendiri, kesombongan kecil yang membuat saya merasa lebih baik daripada orang lain. Padahal, saya juga bisa lalai. Saya juga bisa salah. Dan saya pun diampuni tanpa dihakimi.

Kritik Tanpa Cermin

Itulah kenyataan kita sehari-hari. Kita mudah menghakimi orang yang tampak ceroboh, pemalas, atau tidak sepemikiran. Tapi kita jarang mau menengok batin dan bertanya, apakah saya juga punya kekurangan yang sama, hanya dalam bentuk lain?

Media sosial bahkan mempercepat kebiasaan ini. Saat ada berita atau kasus viral, kita berlomba jadi hakim. Tanpa sadar, kita sedang menumpuk balok demi balok di mata sendiri: balok kesombongan, balok kebencian, balok rasa paling benar.

Padahal Yesus tidak menolak kebenaran; Ia hanya menolak penghakiman tanpa belas kasih.

Mata yang Jernih untuk Melihat Sesama

Yesus mengajak kita untuk menegur, tapi dengan hati yang bersih. Menegur orang lain tanpa membersihkan diri sama saja seperti menyalakan lilin di ruangan yang penuh debu, cahayanya tak akan pernah jelas.

Ketika saya mulai belajar memperbaiki diri duluan, saya menyadari sesuatu: teguran yang keluar dari hati yang lembut justru lebih didengar. 

Seorang rekan kerja pernah berkata, “Kamu menegur dengan cara yang tidak bikin malu, tapi tetap kena.”
Saya tersenyum kecil, karena saya tahu, itu bukan karena saya lebih baik. Tapi karena saya sudah lebih dulu belajar dari kesalahan yang sama.

Dunia Akan Lebih Lembut Jika Kita Mau Bercermin

Ayat ini menegur tanpa menghukum. Ia mengajak kita menemukan keseimbangan antara kebenaran dan kasih. Sebab, dunia tidak kekurangan suara yang keras, tapi ia kekurangan hati yang mau jujur pada diri sendiri.

Matius 7:3–5 bukan sekadar perintah moral, melainkan ajakan untuk tumbuh. Sebelum jari kita menulis komentar atau lidah kita mengeluarkan kritik, mari berhenti sejenak dan bertanya:

Apakah balok di mataku sudah aku keluarkan?

Mungkin jika kita mulai dari diri sendiri, dunia akan sedikit lebih tenang. Dan cinta akan lebih mudah terlihat, bahkan dalam hal-hal sederhana seperti datang tepat waktu, memaafkan, atau menahan diri untuk tidak menilai.

Salam damai dan cinta! (Yy).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun