Ada saat-saat tertentu di meja makan saya merasa “tercolek.” Bukan oleh rasa lapar, melainkan oleh perasaan bersalah. Pemicunya sederhana: gorengan.
Makanan yang begitu akrab dengan lidah kita, murah di kantong, dan mudah ditemui di pinggir jalan.
Namun, di balik renyahnya tempe mendoan atau manis gurihnya pisang goreng, saya tahu ada kisah yang jauh lebih pahit: hutan yang tergusur, dan satwa-satwa karismatik seperti orangutan, gajah, dan harimau yang kehilangan rumahnya karena perkebunan kelapa sawit, bahan baku utama minyak goreng.
Pergulatan batin ini tak jarang muncul. Di satu sisi, minyak goreng berbasis kelapa sawit adalah pilihan paling murah dan praktis di pasaran. Namun di sisi lain, saya sadar bahwa perkebunan sawit telah menjadi salah satu penyebab utama deforestasi di Indonesia.
Setiap tetes minyak goreng seolah menghadirkan bayangan seekor orangutan yang terusir dari pohon tempatnya bersarang, seekor gajah yang menerobos ladang warga karena lapar, atau harimau Sumatra yang tersisa hanya segelintir di alam liar.
Kesadaran itu membuat saya berusaha keras menekan konsumsi makanan berbasis minyak goreng. Tidak selalu mudah, karena kebiasaan dan budaya kuliner kita memang lekat dengan gorengan. Tapi setiap kali saya berhasil mengurangi, ada rasa lega seolah memberi napas tambahan bagi hutan yang jauh di sana.
Satwa Karismatik yang Kian Tersudut
Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) menyebutkan bahwa tiga spesies orangutan di Indonesia: orangutan Sumatra (Pongo abelii), orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus); semuanya berstatus critically endangered atau sangat terancam punah.
Nasib serupa juga dialami gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) dan harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae).
Meski pemerintah telah menempatkan ketiga spesies orangutan itu sebagai satwa dilindungi melalui Peraturan Menteri LHK Nomor 106/2018, kenyataan di lapangan tidak seindah di atas kertas. Ancaman terus berlangsung: hutan digunduli untuk tambang, perkebunan industri, hingga pemukiman baru.
Satya Bumi, sebuah organisasi kampanye lingkungan mencatat bahwa setiap tahun sekitar 19.014 hektar habitat orangutan hilang akibat deforestasi. Angka itu setara dengan 1,5 kali luas Jakarta Selatan.