Gereja ini dirancang bukan untuk meniru Barat, tetapi untuk menghadirkan Kristus dalam bahasa arsitektur yang dimengerti umat Jawa. Lonceng gereja yang menggantung di atas menara berbentuk meru (atap berundak khas Bali), altar berpola candi, dan detail ornamen yang menyatu dengan lanskap.
Bangunan Induk gereja ini berdiri anggun dengan atap menyerupai “cupola”, menyerupai "gunungan" dalam wayang, lambang perjalanan hidup dan arah pulang menuju Sang Hyang.
Di puncaknya berdiri salib, dan di keempat penjuru atapnya terpahat lambang para penginjil: Santo Matius dengan rupa manusia bersayap, Santo Markus dengan singa bersayap, Santo Yohanes dengan rajawali, dan Santo Lukas dengan lembu jantan. Keempat lambang ini menghadap ke empat penjuru mata angin, seolah mewartakan Injil ke seluruh jagat.
Atap gunungan itu dibentuk dari empat lengkungan kayu besar yang saling mengunci di puncaknya, layaknya falsafah Jawa tentang keseimbangan dan keselarasan. Lengkungan itu menyangga jaringan kawat galvanis, tempat genteng-genteng disusun rapi.
Genteng-genteng ini bukan sekadar pelindung dari hujan dan panas; ia peka terhadap angin, memantulkan tekanan secara tenang, seperti gamelan yang membalas tiupan angin dengan nada-nada hening. Bangunan ini tidak hanya kokoh, tetapi hidup, menyatu dengan alam sebagaimana semangat Jawa memuliakan ciptaan.