Di tengah pesatnya arus digitalisasi dan globalisasi budaya, generasi muda kini lebih akrab dengan konten-konten populer dari luar negeri daripada warisan budayanya sendiri.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan pudarnya identitas budaya lokal yang selama ini menjadi perekat sosial dan kekayaan bangsa.
Di antara tantangan itu, muncul berbagai upaya pelestarian budaya yang digerakkan oleh komunitas lokal, salah satunya adalah Sanggar Seni “Gumelaring Sasangka Aji” yang berada di RW 10 Kelurahan Bunulrejo, Kota Malang.
Sanggar ini hadir sebagai ruang alternatif bagi anak-anak, remaja, dan siapa saja yang ingin mengenal, belajar, dan mencintai seni tradisional khas Jawa Timur, khususnya pedalangan dan karawitan gaya Malangan.
Sanggar Seni “Gumelaring Sasana Aji” ini lahir di masa pandemi Covid-19, di saat segala sektor dalam kehidupan mengalami kelumpuhan. Manusia tidak dapat berinteraksi secara langsung dengan baik, segala bentuk kegiatan atau pertunjukan pun terbatas dan bahkan tidak mampu berbuat apa-apa.
Seiring dengan berjalannya waktu, sanggar ini semakin berkembang dengan terus menjaga dan mengembangkan budaya lokal khas Malang melalui sekolah dalang dan karawitan.
Dari rahim sanggar ini lahir anak-anak dan generasi muda yang mencintai dan tumbuh benih untuk melestarikan seni budaya Jawa, khususnya seni wayang kulit yang meliputi seni pedalangan dan seni karawitan.
Profil dan Filosofi Sanggar Seni “Gumelaring Sasangka Aji”
Sanggar Seni “Gumelaring Sasangka Aji” didirikan oleh sekelompok seniman muda lokal yang peduli akan keberlangsungan seni tradisional Jawa.
Pada awalnya Rachmad Dian Kuncoro, Nurhanief, beberapa seniman muda, juga Bapak Sugianto dan Bapak Ari, sesepuh kesenian ini bermaksud mendirikan sebuah organisasi atau perkumpulan kesenian di masa pandemi Covid-19 yang mewadahi berbagai bidang kesenian, seperti seni ukir, seni tari, pedalangan, dan karawitan.
Setelah berdiri pada bulan Juni 2020, lambat laun tujuan sanggar ini mengerucut dan lebih fokus pada pendidikan sekolah dalang dan karawitan. Dua elemen kesenian ini sangat erat kaitannya dan tak bisa dipisahkan karena beberapa alasan, antara lain adalah:
- Adanya keterkaitan historis, di mana keduanya berkembang bersama-sama dalam budaya Jawa dengan akar sejarah yang sama. Keduanya juga dipengaruhi oleh budaya Jawa yang sama, sehingga memiliki kesamaan dalam hal estetika, filosofi, dan nilai-nilai.
- Adanya keterkaitan dalam pertunjukan, di mana karawitan berfungsi sebagai pengiring cerita dalam pertunjukan wayang kulit, menciptakan suasana dan emosi yang tepat untuk setiap adegan. Karawitan juga membantu menciptakan suasana yang tepat untuk setiap adegan, seperti perang, roman, atau kesedihan. Karawitan juga mampu memperkuat emosi penonton dengan menciptakan suasana yang tepat setiap adegan.
- Adanya keterkaitan dalam estetika, di mana karawitan dan pedalangan memiliki keselarasan dalam hal estetika, dengan penggunaan nada, irama, dan melodi yang selaras dengan cerita dan lakon. Karawitan dan pedalangan menciptakan harmoni yang indah dan menyentuh hati penontonnya,
- Adanya keterkaitan dalam fungsi, di mana keduanya memiliki fungsi ritual dan spiritual dalam budaya Jawa, seperti dalam upacara adat juga perayaan keagamaan. Keduanya juga memiliki fungsi hiburan, dengan pertunjukan wayang kulit dan karawitan yang dapat dinikmati oleh masyarakat.