Selain berdampak terhadap penerimaan negara, rokok ilegal menciptakan dasar harga yang tidak masuk akal untuk disaingi produsen rokok legal. Karena 60% lebih dari harga rokok di pasaran adalah harga yang harus disetor ke negara dan industri rokok ilegal melangkahi aturan main tersebut. efeknya, persaingan pasar rokok menjadi tidak sehat, dan fungsi kebijakan cukai dalam mendukung keberlanjutan industri menjadi gagal.
Dilematika ini harus dicermati lewat pertanyaan mendasar, bagaimana industri rokok ilegal dapat melakukan aktivitas produksinya? Pertanyaan ini akan menghantar kepada pola hulu produksi yang bisa menjadi dimensi krusial dalam memetakan permasalahan. Merujuk investigasi Tim Kompas, ditemukan bahwa permasalahan kebijakan importasi mesin pelinting rokok sebagai barang bebas mengakibatkan banyak industri memanfaatkan celah untuk memproduksi rokok ilegal. Tidak adanya regulasi pelarangan dan pembatasan mesin linting rokok sebagai barang impor menciptakan kesenjangan bagaimana alat produksi dapat dibeli bebas namun hasil produksi menjadi barang yang diawasi peredarannya.
Selain itu, banyak ditemukan pula modus produsen rokok ilegal mikro melakukan aktivitas numpang mesin untuk melancarkan operasionalnya. Beberapa pemain industri rokok yang memiliki NPPBKC pun kerap melakukan modus dua kaki, dimana produsen membuat rokok ilegal sebagai cara bersaing memenuhi permintaan pasar rokok murah.
Solusi dari berbagai dilematika tersebut harus dicermati dengan kacamata progresif. Pertama, perlu rekomendasi simplifikasi kebijakan cukai untuk menghapus disparitas harga jual yang terlalu tinggi antar golongan rokok. Sehingga meminimalisir adanya aktivitas downtrading guna mengurangi prevalensi perokok yang jadi tujuan mulia diberlakukannya pajak dosa tersebut.
Kedua, perlu ada kebijakan lanjutan mengenai status barang lartas pada mesin pelinting tembakau. Kebijakan ini perlu kolaborasi dengan Kementrian Perdagangan untuk menjamin bahwa mesin dapat diimpor bilamana perusahaan telah mengantongi status NPPBKC terlebih dahulu dari DJBC.
Dan terakhir, guna meminimalisir modus produksi rokok ilegal perlu ada audit jejak produksi berbasis emisi (total Kwh mesin pelinting, limbah tembakau, kertas papir, maupun filter rokok). Data ini kemudian disesuaikan dengan jumlah produksi batang per periode tertentu yang tercatat melakukan pembayaran cukai. Bilamana terjadi kesenjangan signifikan antara emisi dengan jumlah produksi, maka DJBC berhak melakukan investigasi terhadap perusahaan. Kebijakan ini juga dapat membatasi ruang main aktivitas penggelapan cukai lewat modus produksi rokok ilegal.
Dalam dinamika ini regulasi di sektor hulu produksi jadi cara untuk menjamin keberlangsungan industri dan penerimaan bagi negara. Bilamana kenaikan tarif cukai harus terjadi, maka fungsi pengawasan di sektor produksi harus digenjot untuk menjamin tujuan dari pajak dosa tersebut. DBH CHT harus dialokasikan secara terstruktur pada fungsi pengawasan DJBC dalam melakukan audit di sektor hulu produksi. Bukan dengan melakukan tindak penyitaan atau penindakan populis dengan bumbu narasi-narasi berlebihan. Karena pada akhirnya penyitaan hanya memberi kesempatan kepada para oknum internal untuk kembali mendistribusikan hasil sitaan ke pasar secara diam-diam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI