Aktivitas jurnalisme bisa menjadi salah satu "misi bunuh diri" bagi wartawan ketika meliput perang. Dalam huru-hara perang, wartawan dituntut untuk bisa memberikan informasi terkini yang mungkin seharga nyawanya sendiri. Wartawan seperti tentara dengan bersenjatakan kamera laras panjang, secarik kertas, dan sebatang pena. Berbeda dengan tentara yang berjuang demi kepentingan faksi tertentu, wartawan selalu berjuang mencari kebenaran.
Posisi jurnalis dalam perang setara warga sipil yang tidak boleh dibunuh dan dijadikan tawanan perang. Mengenai istilah 'Jurnalis', berdasar pada 1975 draft UN convention, istilah tersebut merujuk pada, "...setiap koresponden, reporter, fotografer, asisten teknis film, radio, dan televisi yang biasanya terlibat dalam aktivitas-aktivitas ini sebagai pekerjaan utama mereka.."
Konferensi diplomatik yang dilaksanakan di Janewa pada tahun 1974 hingga 1977 memasukan ketentuan khusus mengenai perlindungan bagi jurnalis di medan perang. Dalam protokol I Konvensi Janewa Ketiga, ketentuan dalam pasal 79 secara resmi menyatakan bahwa jurnalis yang melakukan misi profesional berbahaya di zona konflik bersenjata adalah warga sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 (1). Dengan begitu jurnalis mendapatkan cakupan penuh perlindungan yang diberikan kepada warga sipil berdasar pada hukum humaniter internasional.
Konvensi Janewa memberikan deskripsi secara rinci perihal keberbedaan jurnalis dalam konflik bersenjata, yaitu koresponden perang dan jurnalis 'independen'. Menurut dictionnaire de droit international  public, koresponden perang adalah jurnalis khusus yang memiliki izin perlindungan angkatan bersenjata pihak yang berperang dengan tujuan memberikan informasi mengenai peristiwa terkait. Koresponden perang juga mendapat hak setara warga sipil yang tidak boleh dibunuh. Namun ketika tertangkap, koresponden bisa menjadi tawanan perang faksi yang bersangkutan. Inilah yang terjadi pada jurnalis media Amerika dan Inggris ketika perang Irak tahun 2003, dimana jurnalis tersebut mendampingi pasukan militer dan mendapat perlindungan dari faksi yang bekerja sama dengannya. Kementerian Pertahanan Inggris memberikan status tawanan perang kepada jurnalis yang ditawan.
Berdasar pada hukum humaniter internasional, pekerjaan jurnalis mendapat kekebalan dalam konflik bersenjata. Jurnalis mendapat perlindungan hanya selama tidak mengambil bagian langsung dalam pertikaian. Walaupun media dapat digunakan sebagai sarana propaganda, tujuan utama dalam aktivitas jurnalisme perang adalah untuk meminimalisir konflik berkepanjangan.
Ironinya kekebalan yang diberikan hukum internasional tidak membuat jurnalis kebal dari tembakan timah panas. Kematian jurnalis dalam konflik bersenjata terus menerus terjadi dan membawa luka mendalam bagi pers dunia. Dari pernyataan yang dikeluarkan Committee to Protect Journalists (CPJ), lebih dari 75% dari 99  jurnalis yang terbunuh pada tahun 2023 tewas dalam perang Gaza. CPJ menghitung ada 77 jurnalis dan pekerja media yang tewas dalam perang tersebut. Dalam satu dekade terakhir (2013-2023) dari beberapa himpunan data terkait, terdapat sekitar 661 kematian jurnalis di seluruh dunia.
Pekerjaan jurnalis di medan konflik menjadi taruhan dengan bayaran yang mahal. Selain mempertaruhkan nyawa, jurnalis kadang kala berada dalam dilema sisi kemanusiaannya. Darah, kematian, dan rasa kehilangan akan setiap harinya terlintas dalam karya penugasannya. Jurnalis juga harus menghilangkan sifat keberpihakan dan sentimen patriotiknya dalam setiap karya yang dimuat. Jurnalis harus berada dalam taraf netral saat konflik memaksa mereka untuk berpihak.
Kisah bagaimana pekerjaan jurnalis perang menjadi bahan yang menarik untuk selalu diulas. Bagaimana mereka tetap dipaksa normal saat perang terjadi dan dilema-dilema yang dirasakan tatkala mereka menjalankan karya penugasannya. Berikut kisah dari beberapa tokoh jurnalis perang.
Hendro Subroto
Hendro Subroto merupakan seorang wartawan perang senior asal Indonesia yang bekerja pada media TVRI (Televisi Republik Indonesia). Henro sering meliput beberapa peristiwa penting seperti Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Penumpasan Pemberontakan DI/TII, Integrasi Timor Timur, pengangkatan jenazah korban G30S/PKI di Lubang Buaya, sampai kudeta Khmer Merah di Kamboja.
Hendro Subroto adalah salah satu dari sedikit wartawan perang Indonesia yang mengikuti operasi penangkapan Kahar Muzakkar, menyusup ke Serawak untuk konfrontasi Indonesia-Malaysia, meliput Perang Vietnam, Kamboja, Perang Teluk dan misi kemanusiaan PBB. Hendro juga mengikuti sejarah Timor Timur sejak pra-integrasi, hingga dirinya tertembak tentara Fretilin di bagian dada, pipi dan ibu jari.