Mohon tunggu...
Yuswanto Raider
Yuswanto Raider Mohon Tunggu... Guru - Saya seorang guru dan penulis lepas yang lahir di Surabaya pada 14 Februari 1974. Sejak tahun 2005 saya tinggal di Desa Kembangsri Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto

Hobi saya merawat tanaman, traveling, outdoor learning, dan advokasi kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Celoteh Sang Murid #7

5 Agustus 2020   05:49 Diperbarui: 5 Agustus 2020   05:44 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TATAP MUKA : Guru Sedang Mengajar Siswanya. (Sumber : www.utusanindo.com)

Guru ku gak kompeten! Kata itulah yang langsung mencuat dari mulut sohib ku sekelas. Pasalnya, selama masa pandemi Covid-19 ini, kita sebagai murid bersekolah dirumah. Pembelajaran pun dilakukan secara online. Bapak/Ibu guru menyebutnya sebagai pelajaran moda daring.

Sebagai murid, kita jelas harus melakukan kebiasaan baru. Ya, belajar dengan menggunakan handphone atau smartphone yang beraplikasi android. Meski orangtua kami sudah kesulitan beli data internet, karena kewajiban belajarlah orangtua kami selalu memenuhi kebutuhan itu. Sayangnya, kerja keras orangtua kami tidak diimbangi kerja keras beberapa oknum guru.

Selentingan kami mendengar dari orangtua teman yang menjadi komite sekolah. Puluhan juta dana sekolah sudah dikeluarkan untuk membeli program pembelajaran daring. Namun sayang, tidak semua guru bisa mengadaptasi teknologi itu untuk proses pembelajaran daring. Tidak sedikit dari guru kami yang melakukan pembelajaran daring dengan cara "ndeso". Itu kata teman-teman kami.

Kata beberapa teman kami, jaman teknologi seperti ini, kok masih ada guru yang gaptek ya? Sementara muridnya dipaksa untuk bisa mengikuti pelajaran secara daring. Sudah capek-capek mengikuti proses, tapi nyatanya masih ada saja guru yang semau gue dalam memberikan materi pelajaran.

"Gus, kamu sudah beli buku dan LKS nya pelajaran Bu Sophie?" tanya ku ke Agus.

"Belum Nem. Masak pembelajaran daring gini, kita masih disuruh beli buku dan LKS ya?" jawab Agus dengan mimik wajah kecewa. Ekspresinya jelas terlihat karena kami berdua melakukan komunikasi lewat video call di aplikasi WhatApps (WA).


"Memangnya kamu ndak takut, Gus?" tanyaku memancing

"Takut kenapa Nem? Apa takut nilai jelek dan tidak dinaikkan kelas?" timpal Agus

"Ya, begitulah. Kapan hari ketua kelas kita sudah disuruh mengkoordinir siapa saja yang beli buku dan LKS," kilahku

"Iya, aku juga dikabari untuk segera memesan. Bahkan aku diberi nomor WA nya si penjual buku dari penerbitnya.

"Berarti kamu pasti beli ya, Gus?

"Tidak Nem. Ayah ku marah waktu aku kasih tahu untuk beli buku pelajaran. Beliau bilang kalo sudah kerepotan untuk beli data internet buat aku, dan dua adik ku," ucap Agus.

"Lha terus gimana ntar kalo kita tidak beli buku dan LKS? Jangan-jangan kita tidak dapat nilai, Gus?"

"Biar saja Nem. Bapak/Ibu guru yang lain saja melakukan pembelajaran daring dengan baik kok. Masak Bu Sophie dan beberapa guru lainnya nyuruh kita beli buku, modul, dan LKS!"

"Ya, gimana lagi Gus. Wong kita ini kan murid dan wajib taat sama guru lah,"

"Ya lihat gurunya dulu lah Nem. Masak guru ini sudah sertifikasi dan berarti gajinya double. Lha kok masih nyuruh muridnya beli buku dan LKS? Tidak tahu apa kalo masa pandemi Covid gini sulit banget ayah dan ibu ku nyari uang. Kerjaannya lagi sepi, Nem!"

"Menurut kamu, gimana tindakan guru kita itu, Gus?"

"Ya jelas tak berkompeten. Gaji mau, tunjangan sertifikasi mau, tapi nglayani kebutuhan murid, sepertinya ogah-ogahan. Ujung-ujungnya juga hitungan materi," jawab Agus dengan bahasa sedikit culas.

"Kok gitu, Gus?"

"Gimana saya gak jengkel sih Nem. Guru lain ada yang pakai slide interaktif, belajar bersama dan berdiskusi pakai aplikasi zoom, dan bahkan guru kita yang kreatif malah pakai video di youtube. Padahal itu ada juga yang statusnya cuman GTT. Lha ini guru sertifikasi kok malah belajarnya model ndeso e, Nem,"

"Maksud kamu apa sih, Gus?"

"Guru kita yang satu ini aneh. Masak ngasih pelajaran dengan kalimat lewat grup WA saja. Contohnya, pelajari halaman 12 sampai 20. Setelah itu kerjakan soal latihannya. Bila sudah selesai, kirim file atau fotonya ke WA. Nah, alibinya biar dirinya bisa mulus nglakuin itu, makanya kita disuruh beli buku dan LKS mapelnya," jelas Agus

"Iya sih. Memang Bu Sophie ini simple ngasih pelajaran dan tugasnya. Sayangnya kita disuruh beli buku, modul, dan LKS. Tapi kita kan tetap harus ngikuti semua itu, Gus!?"

"Biar jelas, tak kasih tahu kamu, Nem. Guru itu nyuruh kita beli buku, modul, dan LKS tak hanya sekedar memudahkan pelajaran dengan memerintah kita. Namun, mereka dapat uang banyak kalo bukunya terjual banyak ke muridnya. Dengar-dengar, guru mendapatkan 60% dari nilai beli kita. Bayangkan kalo buku itu harganya Rp.70 ribu. Berapa banyak yang didapatkan guru kita?" celetuk Agus kian masam saja wajahnya.

"Oke, Gus. Jadi paham aku sekarang!" jawabku sembari memutuskan komunikasi malam itu.

Dalam pikiran ku, muncul banyak pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. Utamanya masalah oknum guru yang sengaja menjual buku, modul, dan LKS pada murid-murid yang diajarnya. Bagai buah simalakama urusan ini. Tapi kenapa gurunya tidak paham aturan dan tidak mengerti kondisi di masa pandemi Covid-19 ini?

Ternyata, adanya oknum guru yang jual buku, modul, dan LKS pada muridnya, tidak hanya terjadi di sekolahku. Beberapa teman yang dari sekolah lain, juga mengalami hal serupa. Rupanya kondisi pandemi covid ini justru dimanfaatkan sama oknum guru yang materialistis dan tak pandai bersyukur.

Bagaimana pendidikan di negeri ini bisa maju, bila gurunya yang jelas-jelas bergaji double saja masih serakah? Apakah itu kualitas guruku? Atau hanya sebagian oknum guru yang tak pandai bersyukur atas nikmat Allah SWT.?

Nyatanya puluhan teman ku sudah membeli buku, modul, dan LKS dari Bu Shopie. Tak hanya di mapel yang dipegang Bu Shopie, ternyata ada mapel lain dan oknum guru lain yang ikut-ikutan jualan buku, modul, LKS pada muridnya. Ironisnya oknum guru itu sudah mengantongi sertifikat pendidik. Asumsinya, pemerintah salah memberi guru yang tak kompeten itu dengan tunjangan sertifikasinya.

Akhirnya, dari relung hati terdalam, aku hanya bisa berdoa : Semoga guruku itu cepat disadarkan atas kekeliruannya. Semoga guruku itu cepat memahami kondisi muridnya dirumah. Semoga guruku itu cepat belajar bersyukur agar tak materialistis lagi suka makan uang muridnya untuk menafkahi anak istrinya.

Sungguh, fakta-fakta seperti ini harusnya mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait. Setidaknya para oknum guru itu diberi pelajaran tentang bagaimana memperlakukan murid. Khususnya di masa pandemi Covid-19 yang serba terbatas gerak kita ini. Bila oknum guru itu masih hobi jualan buku, modul, dan LKS pada muridnya, tentunya layak bila sertifikat pendidik yang dimilikinya dicabut pemerintah. Semoga ini menjadi pelajaran bagi guru-guru yang munafik dan tak pandai bersyukur.***

#BelajarDirumah #Kemendikbud #MasaPandemiCovid19 #SekolahKita #MuridSMA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun