Mohon tunggu...
Ikhwanudin Yusuf
Ikhwanudin Yusuf Mohon Tunggu... Akuntan - Lion's Sin of Pride

Ekspektasi tanpa realisasi, keras kepala untuk kopi pake susu, pemikir sambil tidur, tidur sambil mikir, kritis tapi tanpa kata, Tax Officer, cinta seni..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa yang Engkau Lakukan Setelah Membully? (1) Bullying Terhadap Poligami

10 Oktober 2017   23:03 Diperbarui: 11 Oktober 2017   00:33 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lihat medsos akhir-akhir ini ?

Tentunya paham sendiri bagaimana bnyaknya "arah angin" yg menuju kesatu tempat, bahkan dari induk yg sama. Bully, bully bully, tak melihat siapa apa dan mengapa, asalkan berbeda dari pandangan dan tak enak dimatanyaa , maka saat itu mulut berbicara otak berencana dan jari jemarinya bekerja.

Salah satunya yg menjadi tujuan angin-angin itu melaju yaitu terpicoe salah satu publik figur yg melakukan salah satu syariat agama yg mana menurut bnyak induk-induk angin ini tak enak didengar yaitu poligami. Dari foto yg beredar, tampak harmonis dan baikbaik saja, namun bukan ikut senang atau minimal diam melainkan angin2 ini mondar mandir bully sana bully sini, selain pelakunya yg jadi korban parahnya lagi yg diserang melainkan syariat agamanya! Candaan tanpa rasa garam sampe menjurus kearah asem pun keluyuran seenaknya. Garing!

Memang benar, praktik poligami di sekitar kita belumlah "kloop". Seperti ya brokenhome, anak terlantar, wanita yg menjadi objek tersakiti, rumah tangga goyah dsb yg menjadi peluru bagi mreka untuk menolak poligami, namun mreka lupa bahwa fakta yg ada disekitarmu tidaklah pantas dijadikan sbg dasar untuk menghakimi sesuatu selagi kau tak tau apa yg terjadi. Apapun alasannya, bully bukanlan solusi. Tak sedikit yg secara terang-terangan menulis dan menunjukkan sikap penolakan dgn cara bully, mirisnya lagi mreka menyangkut-pautkan dengan hal-hal disekelilingnya, sperti anak, hijab, sampai caranya hidup. Dan yg lebih mirisnya lagi, angin ini banyak datang dari kaum "abu-abu", kaum yg sedari awal putih tak ingin putih, hitam tak ingin hitam, tau bagaimana caranya hidup namun tak mampu menjaga lisannya, buakn tak mampu namun tak ingin.

Seandainya mereka ingin membuka mata dan hatinya, maka tak smua yg tak enak dimatanya itu hal yg tidak  benar, bnyak contohnya. Daripada menjadi peramal kesiangan yg tau segalanya sampai isi hati seorang yg hanya bisa dilihat di instagram itu pun kalo nggak di gembok. Toh, itu tak mengganggu kecuali engkau yg tak ingin diam. Kayak gini biasanya sering ditemuin dgn kluarnya katakata mainstream bin ajaib kalo ada yg ngomen terutama tentang hal baik sperti berpakaian, "hidup ku ya hidupku, nerakaku bukan urusanmu apalagi surga belum tentu jadi tempatmu" nah ini kalimat ajaib ketika mreka menolak dikomentari padahal kerjaannya membully. Aplagi hal yg dibully adalah hal yg diakui secara hukum dan sah menurut agama walaupun tetap harus memandang aturan2nya.

Saat omongan kita sering mondar-mandir keluyuran tanpa sadar pengaruh lingkungan dan sekelilingmulah yg menjadi korban. Jangan salahkan anakanka kita jika suatu saat engkau mendengar ocehannya.

Dari sekolah dasar kita belajar, bagaimana caranya menyikapi sesuatu yg tak baik, kita tau seharusnya beragrumen dengan baik, kita mengerti diskusi, kita pernah mendengar tabayyun dan blajar atas itu, namun pada akhirnya kita lupa, kita khilaf bahkan sengaja menjadikan bully sebagai cara instan melepaskan "mualmu", mengeluarkan isi otakmu sehingga kau berpuasdiri. Apa yg engkau puaskan? Apa yg engkau banggakan? Apa yg engkau senyumkan ketika membully dimedsos dengan jemarimu sedangkan engkau sedang rebahan, makan, minum, nyoeci, masak, ngoppii, bersantai dengan kaos celana pendek dan daster dgn ikat rambut dikepalamu? Setelah mengetik bullyan itu, apa yg kau lakukan? Hanya diam melanjutkan setrikaanmu yg mulai panas?

Sesungguhnya apa yg kita ucapkan adalah cerminan dari diri kita sendiri. Wallahu alam.

Sekali lagi, apa yg kamu lakukan setelah membully?

.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun