Sudah lama saya mencoba memahami kenapa harus ada lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi, yang isinya sembilan orang hakim, tetapi memiliki kewenangan yang tidak dimiliki oleh Presiden – yang harus dipilih oleh 50%+1 rakyat – atau DPR yang isinya 560 orang pilihan rakyat. Satu presiden mungkin bisa membuat keputusan keblinger, karenanya kekuasaannya diimbangi oleh DPR. 560 anggota DPR pun bisa keblinger, karenanya ada pengimbangan oleh lembaga lain, termasuk MK. Tapi bagaimana dengan MK, jika paling tidak satu anggota hakimnya keblinger? Masalahnya, tidak ada yang bisa mengganggu gugat keputusan MK. Keputusan MK dikatakan final dan mengikat!
Sebagai makhluk yang bernama manusia, hakim MK pun bisa salah. Jangan dulu memaknai "salah" dalam artian terlibat persekongkolan jahat yang mempengaruhi keputusannya, seperti Hakim Akil. Pahami saja “salah” disini sebagai kesalahan penafsiran karena “kekurangan” ilmu. Apakah kesalahan ini harus dianggap final dan mengikat, selamanya!
Dalam literatur Islam, bahkan imam mumpuni sekelas Imam Syafii atau Ahmad bin Hanbal saja tidak punya kekuatan mengeluarkan fatwa yang sifatnya final dan mengikat. Ada istilah perkataan awal dan baru; mereka meralat sendiri pendapatnya dulu jika salah. Rasulullah SAW menjamin, bagi para mujtahid tulen, jika salah pun masih dapat satu pahala. Yang penting jujur mengakui kalau, misalnya rupanya, ada argumen baru yang lebih kuat yang mengharuskan perubahan sebuah fatwa.
Memang dalam hukum diperlukan kepastian; dalam hukum pidana, kepastian itu diputuskan oleh hakim di pengadilan. Kalau tidak puas, boleh banding sampai ke Mahkamah Agung. MA akan memberikan kepastian hukum. Seseorang bisa saja dihukum penjara seumur hidup. Tapi MA masih memberikan kesempatan jika terhukum untuk melakukan peninjauan kembali jika ada bukti baru. Seseorang bisa saja akhirnya dinyatakan tidak bersalah.
Mohon maaf, saya hanya menganggap hakim konstitusi sebagai sekumpulan ahli hukum dan tata negara yang diberikan kewenangan, karena “kenegarawanan”-nya, memberikan putusan dalam perkara sengketa undang-undang dan konstitusi. Jumlahnya hanya sembilan. Tapi diluar institusi MK, ada lebih dari sembilan orang ahli hukum, tata negara, perundangan-undangan, yang juga bisa dianggap “negarawan” yang mungkin berbeda pendapat dengan sembilan hakim MK. Apakah hanya karena “jubah hakim” yang dikenakan, sembilan orang tersebut lebih benar dari mereka yang bukan anggota MK? “Jubah hakim” adalah amanah kewenangan yang agung, tapi bukan penjamin kebenaran. Kalau ada satu putusan MK dikritisi oleh lebih banyak orang yang punya kepakaran sekelas dengan hakim MK, bahkan lebih tinggi, sudah layak putusan tersebut dipertanyakan oleh MK sendiri. Bukan malah menyatakan “terserah”.
Sungguh konyol, makhluk yang jelas-jelas bukan Khaliq, diberikan kewenangan memutuskan sesuatu yang sifat keputusannya final, "binding" dan tidak boleh di"banding".
Padahal, setelah jadi mantan, belum tentu ada yang mau dengar pendapatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI