Mohon tunggu...
yusuff
yusuff Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

S1 Tidak Wajib Mempublikasikan Karya Ilmiah

15 Februari 2012   09:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:37 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13293269541658378809

[caption id="attachment_171369" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Saya sangat terkejut dengan rencana Depdiknas mewajibkan calon sarjana S1 mempublikasikan tulisan di jurnal ilmiah, meskipun untuk jenjang ini tidak mewajibkan penerbitan pada jurnal terakreditasi. Salah satu argument Mendiknas M. Nuh yang saya baca terakhir adalah minimnya publikasi ilmiah, yang katanya hanya sepertujuh dari jurnal ilmiah yang diterbitkan Malaysia dan ketidakmampuan menulis (membandingkan dengan lulusan SMA).

Keterjutan saya dilandasi pada filosofi atau tujuan dasar pendidikan tinggi di Indonesia. Tahun 1993, pemerintah secara resmi mengadopsi sistem dikti yang lebih berkiblat pada sistem Amerika/Inggris (tiga jenjang: S1 (Bachelor), S2 (Master), S3 (Doctorate)), setelah sebelumya secara tradisi menerapkan sistem yang lebih dekat dengan Belanda/Jerman (dua jenjang: Master dan Doktorat). Dalam praktiknya, tanpa ada kewajiban publikasi ilmiah pun, konsep tiga jenjang ini pun sudah sering diterapkan secara tidak wajar. Misalnya, tentang kewajiban skripsi – yang saat itu sempat menjadi wacana yang hangat. Dalam sistem tiga jenjang, mahasiswa S1 sebenarnya hanya belajar! Mahasiswa hanya diwajibkan mengambil final project atau tugas akhir sebagai salah satu komponen kelulusan di semester terakhir. Di sistem Inggris, tugas akhir bahkan tidak perlu jika mahasiswa tidak berminat lulus dengan “honors”. Proses pengerjaan tugas akhir pun jelas: bisa selesai satu semester dan bisa dikerjakan secara paralel dengan beberapa mata kuliah lain yang harus diambil di semester terakhir.

Dari pengalaman saya membimbing “final project” jenjang S1, saya harus menjamin bahwa tugas akhir tidak akan memperlambat kelulusannya. Temanya bisa sesuatu yang sudah pernah dilakukan, tapi membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif, melatih mahasiswa berpikir kritis, berkerja lebih mandiri, dan menuangkan pikirannya secara lisan (dalam diskusi) atau tulisan (dalam laporan akhir).

Satu semester di Indonesia hanyalah kisaran 18 pekan (4,5 bulan). Sebagai seorang peneliti, waktu ini tidak cukup untuk meneliti lalu menuliskan hasilnya, meskipun saya memiliki titik awal pengetahuan dan pengalaman yang cukup baik. Bagaimana dengan mahasiswa S1, yang sebenarnya hanya diajarkan “dasar-dasar”-nya saja? Saat ini sudah terlalu banyak jurnal “ecek-ecek” yang beredar (dalam dan luar negeri) yang hanya memenuhi keinginan sebagian orang untuk mempublikasikan karya ilmiah tanpa memperhatikan kualitas. Saya berpegang teguh pada kualitas dalam setiap publikasi dan saya tidak bisa mengorbankan prinsip ini sekedar untuk meluluskan mahasiswa S1 saya. Saya pun tidak bisa mempertahankan prinsip saya ini dengan memperpanjang waktu tugas akhir (lebih dari satu semester) supaya mahasiswa S1 siap melakukan penelitian pada tingkat yang layak publikasi. Ini bukan standar lulusan S1 yang diharapkan.

Diskusi tentang sistem pendidikan tinggi akan sangat panjang; lebih baik saya tidak menuangkannya disini. Saya akan lebih merespon argumen Pak Mendiknas yang mendasari pewajiban publikasi tulisan untuk mahasiswa S1.

  1. Soal rendahnya publikasi ilmiah. Penyebabnya sangat sederhana: rendahnya aktivitas riset ilmiah. Jika tidak melakukan riset, apakah yang akan dipublikasikan? Aktivitas riset di Indonesia sangat rendah karena dukungan (dari pemerintah) dalam bentuk kebijakan dan finansial sangatlah rendah. Bank Dunia tahun 2006 menyebutkan Malaysia menggelontorkan USD 1,5 milyar untuk riset (0.64% GDP), sedangkan Indonesia hanya USD 390 juta (0.05% GDP). Untuk Malaysia, data terbaru tidak bisa bisa ditemukan. Untuk Indonesia, tahun 2011 LIPI hanya dianggarkan Rp 800 M (USD 88 juta). Paling tidak, jika jumlah publikasi berbanding lurus dengan anggaran, total publikasi ilmiah Indonesia paling baik semestinya seper-lima total publikasi Malaysia. Kenapa realisasinya hanya sepertujuh, ada faktor lain, yang tidak akan diuraikan sekarang.
  2. Soal kemampuan menulis. Menulis adalah kemampuan komunikasi paling dasar yang harus dikembangkan seseorang, selain berbicara. Penyebab banyak mahasiswa tidak bisa menulis – kalau memang benar – adalah buruknya pendidikan dasar dan menengah mengembangkan kemampuan dasar ini. Pendidikan tinggi hanya menerima tumpahan kegagalan di kedua jenjang tersebut. Di masa Orde Baru, mengarang (menuliskan ide atau imajinasi) adalah bagian penting dalam pelajaran bahasa selain bercerita, dan ditumbuhkembangkan sejak sekolah dasar. Dikdas dan Dikmen saat ini lebih banyak didominasi oleh “knowledge-based skill” dibandingkan “cognitive skill”: siswa mengetahui, menghapal, mengingat sesuatu, tapi tidak dilatih mengembangkan dan menuangkan sesuatu.

Sebenarnya kemampuan menulis ini dapat dikembangkan kembali pada jenjang perguruan tinggi, melalui mata kuliah umum (“General Education Requirements”) seperti bahasa, sastra (“literature”), etika (“ethics”), “technical writing”, “oral communication”, dan lainnya, atau mata kuliah inti, dengan tugas-tugas yang mensyaratkan pelaporan yang sesuai standar. Contoh yang paling berhasil adalah jurusan matematika; setiap sarjana matematika tahu dan paham bagaimana menuliskan sesuatu dengan bahasa matematika yang benar meskipun baru diperkenalkan empat tahun sebelumnya.

Kembali pada kewajiban publikasi ilmiah untuk mahasiswa S1, sebaiknya cara berpikirnya diperbaiki dulu. Kalau inti masalahnya adalah apa yang disampaikan Pak Menteri diatas, ini bukan solusinya! Ini juga penyelewengan atas filosfi sistem dikti tiga fase (anglo-saxon) yang ada saat ini. Saran saya:

  1. Tingkatkan dana riset, supaya perguruan tinggi dapat melakukan riset yang layak publikasi, dibantu oleh mahasiswa S2 dan S3 (bukan S1). Perguruan tinggi swasta pun harus diberi kesempatan yang sama untuk mengakses dana ini.
  2. Perbaiki sistem pendidikan dasar dan menengah, supaya aspek kognitif siswa berkembang maksimal.
  3. Jalankan akreditasi dengan baik dengan standar tinggi, supaya setiap perguruan tinggi berusaha mencapai kualitas pendidikan yang baik sampai ke ruang lingkup yang paling awal dan rendah: ruang perkuliahan, dan bukan ujungnya: saat akan di wisuda.

Barangkali perlu juga diberitahukan bahwa saat ini banyak “ghost writer” yang bisa dihubungi secara online dan dibayar untuk menuliskan tulisan ilmiah dari sekedar tugas kuliah sampai disertasi S3. Tanpa pembenahan prinsipil, kebijakan ini hanya akan menjadi wahana pertumbuhan “ghost writer” lokal.

*Penulis adalah profesor di luar negeri, penulis banyak makalah ilmiah, dan juri beberapa jurnal ilmiah dengan impak faktor tinggi. Salah satu paper penulis dinyatakan sebagai paper yang paling banyak dirujuk dlam bidangnya, versi ISI tahun 2010.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun