Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

S1 Tidak Wajib Mempublikasikan Karya Ilmiah

15 Februari 2012   09:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:37 664 0

Saya sangat terkejut dengan rencana Depdiknas mewajibkan calon sarjana S1 mempublikasikan tulisan di jurnal ilmiah, meskipun untuk jenjang ini tidak mewajibkan penerbitan pada jurnal terakreditasi. Salah satu argument Mendiknas M. Nuh yang saya baca terakhir adalah minimnya publikasi ilmiah, yang katanya hanya sepertujuh dari jurnal ilmiah yang diterbitkan Malaysia dan ketidakmampuan menulis (membandingkan dengan lulusan SMA).

Keterjutan saya dilandasi pada filosofi atau tujuan dasar pendidikan tinggi di Indonesia. Tahun 1993, pemerintah secara resmi mengadopsi sistem dikti yang lebih berkiblat pada sistem Amerika/Inggris (tiga jenjang: S1 (Bachelor), S2 (Master), S3 (Doctorate)), setelah sebelumya secara tradisi menerapkan sistem yang lebih dekat dengan Belanda/Jerman (dua jenjang: Master dan Doktorat). Dalam praktiknya, tanpa ada kewajiban publikasi ilmiah pun, konsep tiga jenjang ini pun sudah sering diterapkan secara tidak wajar. Misalnya, tentang kewajiban skripsi – yang saat itu sempat menjadi wacana yang hangat. Dalam sistem tiga jenjang, mahasiswa S1 sebenarnya hanya belajar! Mahasiswa hanya diwajibkan mengambil final project atau tugas akhir sebagai salah satu komponen kelulusan di semester terakhir. Di sistem Inggris, tugas akhir bahkan tidak perlu jika mahasiswa tidak berminat lulus dengan “honors”. Proses pengerjaan tugas akhir pun jelas: bisa selesai satu semester dan bisa dikerjakan secara paralel dengan beberapa mata kuliah lain yang harus diambil di semester terakhir.

Dari pengalaman saya membimbing “final project” jenjang S1, saya harus menjamin bahwa tugas akhir tidak akan memperlambat kelulusannya. Temanya bisa sesuatu yang sudah pernah dilakukan, tapi membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif, melatih mahasiswa berpikir kritis, berkerja lebih mandiri, dan menuangkan pikirannya secara lisan (dalam diskusi) atau tulisan (dalam laporan akhir).

Satu semester di Indonesia hanyalah kisaran 18 pekan (4,5 bulan). Sebagai seorang peneliti, waktu ini tidak cukup untuk meneliti lalu menuliskan hasilnya, meskipun saya memiliki titik awal pengetahuan dan pengalaman yang cukup baik. Bagaimana dengan mahasiswa S1, yang sebenarnya hanya diajarkan “dasar-dasar”-nya saja? Saat ini sudah terlalu banyak jurnal “ecek-ecek” yang beredar (dalam dan luar negeri) yang hanya memenuhi keinginan sebagian orang untuk mempublikasikan karya ilmiah tanpa memperhatikan kualitas. Saya berpegang teguh pada kualitas dalam setiap publikasi dan saya tidak bisa mengorbankan prinsip ini sekedar untuk meluluskan mahasiswa S1 saya. Saya pun tidak bisa mempertahankan prinsip saya ini dengan memperpanjang waktu tugas akhir (lebih dari satu semester) supaya mahasiswa S1 siap melakukan penelitian pada tingkat yang layak publikasi. Ini bukan standar lulusan S1 yang diharapkan.

Diskusi tentang sistem pendidikan tinggi akan sangat panjang; lebih baik saya tidak menuangkannya disini. Saya akan lebih merespon argumen Pak Mendiknas yang mendasari pewajiban publikasi tulisan untuk mahasiswa S1.

  1. Soal rendahnya publikasi ilmiah. Penyebabnya sangat sederhana: rendahnya aktivitas riset ilmiah. Jika tidak melakukan riset, apakah yang akan dipublikasikan? Aktivitas riset di Indonesia sangat rendah karena dukungan (dari pemerintah) dalam bentuk kebijakan dan finansial sangatlah rendah. Bank Dunia tahun 2006 menyebutkan Malaysia menggelontorkan USD 1,5 milyar untuk riset (0.64% GDP), sedangkan Indonesia hanya USD 390 juta (0.05% GDP). Untuk Malaysia, data terbaru tidak bisa bisa ditemukan. Untuk Indonesia, tahun 2011 LIPI hanya dianggarkan Rp 800 M (USD 88 juta). Paling tidak, jika jumlah publikasi berbanding lurus dengan anggaran, total publikasi ilmiah Indonesia paling baik semestinya seper-lima total publikasi Malaysia. Kenapa realisasinya hanya sepertujuh, ada faktor lain, yang tidak akan diuraikan sekarang.
  2. Soal kemampuan menulis. Menulis adalah kemampuan komunikasi paling dasar yang harus dikembangkan seseorang, selain berbicara. Penyebab banyak mahasiswa tidak bisa menulis – kalau memang benar – adalah buruknya pendidikan dasar dan menengah mengembangkan kemampuan dasar ini. Pendidikan tinggi hanya menerima tumpahan kegagalan di kedua jenjang tersebut. Di masa Orde Baru, mengarang (menuliskan ide atau imajinasi) adalah bagian penting dalam pelajaran bahasa selain bercerita, dan ditumbuhkembangkan sejak sekolah dasar. Dikdas dan Dikmen saat ini lebih banyak didominasi oleh “knowledge-based skill” dibandingkan “cognitive skill”: siswa mengetahui, menghapal, mengingat sesuatu, tapi tidak dilatih mengembangkan dan menuangkan sesuatu.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun