Mohon tunggu...
Yusuf Adytiya
Yusuf Adytiya Mohon Tunggu... Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Surabaya

Mahasiswa prodi Hubungan Internasional. tertarik pada kegiatan jurnalistik dan menulis. suka berdiskusi mengenai isu sosial-politik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendukung Palestina, Haruskah Mendukung Perang ?: Menalar Narasi Pro-Iran dalam Perspektif Sipil dan Pelajar

11 Juli 2025   21:59 Diperbarui: 11 Juli 2025   21:59 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbincangan seputar konflik di kawasan timur tengah sudah menjadi hal lumrah belakangan ini, terutama di kalangan komunitas muslim dunia. Diskusi salah dan benar, aktivisme kemanusiaan, dan propaganda anti-terorisme menghiasi laman-laman utama sosial media di Indonesia, bahkan dunia. Tagar-tagar solidaritas islam dan kemanusiaan, Crowdfunding bantuan ke gaza, dan video-video penderitaan sipil di zona perang, sudah menjadi makanan sehari-sehari pengguna sosial media beberapa tahun kebelakang. Berbagai respon muncul dan terfragmentasi di sosial media, ada yang menentang dengan dalih kemanusiaan, dan ada juga yang dengan dalih solidaritas keagamaan. Namun tak sedikit pula yang mendukung perang dengan dalih perang melawan terorisme.

Sebagai seorang pelajar muslim, sudahlah pasti saya berdiri dengan solidaritas keagamaan dan kemanusiaan. Sejak eskalasi konflik di 2023, sudah menjadi rutinitas saya menyuarakan penderitaan rakyat palestina di sosial media. Namun, seiring waktu timbul pertanyaan di benak saya, siapa yang sebenarnya harus saya dukung ? dan siapa yang menjadi lawan ?. Pertanyaan ini kemudian menjadi semakin sulit tatkala eskalasi konflik meluas, Keikutsertaan Iran dan proksi-proksi nya di Lebanon dan Yaman, membuat konflik masuk ke ranah yang lebih kompleks. Pertanyaan saya merambah menjadi untuk siapa perang dilakukan ?.

Sekelibat pertanyaan itu tetap menjadi persoalan nalar saya, tapi batin saya tetap berpijak pada kemanusiaan. Narasi-narasi pro-Iran di sosial media sepintas meyakinkan saya untuk mendukung serangan bersenjata ke Israel oleh Iran dan proksinya. Karena kalau bukan mereka, maka siapa lagi ?. Namun saya tergoyahkan dengan fakta bahwa siapapun musuhnya, selama perang berlangsung, maka tetap akan timbul korban, dan penderitaan seperti orang-orang di Gaza tetap akan berlanjut. Lalu, kalau begitu haruskah muslim berhenti mendukung Iran ? Dan seperti apa gerakan solidaritas islam seharusnya ? Haruskah berperang dalam hal ini ? Perlukah sipil seperti saya dan kalian ikut berperang ?

Narasi-Narasi Pro-Iran dalam Konflik di Timur Tengah

Sejak eskalasi serangan udara antara Iran-Israel meningkat per- Juni 2025, berbagai respon dan dukungan terhadap Iran banyak bermunculan di berbagai platform media. Dalam lingkup Indonesia sebagai contoh, berbagai respon netizen menghiasi laman-laman pemberitaan serangan Iran terhadap Israel dengan nada dukungan dan bersyukur atas serangan yang menimpa Israel. Cuitan-cuitan ini umumnya muncul diiringi dengan narasi pembelaan terkait balasan yang harus dirasakan Israel atas pendudukan dan genosida terhadap Palestina. Umumnya mereka mengamini serangan Iran ke Israel sebagai bentuk optimisme berakhirnya penderitaan warga Palestina atas aktivitas militer Israel. Narasi-narasi ini terus bergulir seiringan aksi balas-membalas antara kedua negara.

Pada kenyataanya, eskalasi konflik antara Iran dan Israel nampaknya tak akan mengakhiri aktivitas militer Israel di Palestina dan bahkan wilayah lain di timur tengah. Jikapun berdampak, hal yang paling mungkin hanyalah menunda aktivitas militer Israel di Palestina untuk beberapa saat, dan setelahnya serangan militer di Palestina akan terjadi lagi, dan bahkan bisa lebih buruk. Hal ini selaras dengan konsep national interests dalam teori realisme, dimana negara akan mengupayakan apapun untuk mencapai kepentingan nasional nya, bahkan dalam kondisi tersulit sekalipun. Rasanya bukan rahasia umum lagi ketika menyaksikan Israel selama bertahun-tahun mengupayakan aktivitas militernya di Palestina. Dan sudah jelas ini diindikasikan sebagai salah satu kepentingan Israel di timur tengah.

Artinya, bukan mudah mencabut cengkraman Israel atas Palestina. Sesuatu yang diupayakan seperti itu tidaklah mudah dilepas hanya karena eskalasi konflik dengan negara lain seperti Iran. Kalaupun mungkin, maka Iran perlu benar-benar mengalahkan Israel. Pertanyaannya, seberapa mungkin itu terjadi ?, melihat bagaimana israel mampu menang atas koalisi negara-negara arab pada perang 1948, rasanya sulit untuk Iran dimasa sekarang. Ditambah lagi keikutsertaan Amerika Serikat di sisi Israel, dengan bantuan militer dan dana nya, bukan tak mungkin Israel dapat menangani Iran dengan mudah. Dan pada gilirannya, serangan bersenjata terhadap Palestina akan sangat mungkin kembali bergulir.

Dalam hal ini, Optimisme terhadap serangan Iran sebagai kunci mengakhiri penderitaan rakyat palestina rasanya bukanlah hal yang tepat. Mungkin saja tepat hanya untuk sesaat, sesaat ketika Israel masih sibuk dengan Iran, tapi setelahnya, Penderitaan bukan tak mungkin untuk terjadi lagi. Maka dari itu, Narasi solidaritas islam dalam bentuk Pro-Iran rasanya untuk saat ini bukanlah hal yang tepat. Karena hal ini hanya akan memicu intensitas serangan yang lebih tinggi dari Israel. Dan Bukan tak mungkin Israel akan bermain licik dengan menjadikan serangan Iran sebagai justifikasi perlindungan untuk menyerang Palestina.

Memposisikan Diri Sebagai Seorang Sipil dan Pelajar Muslim

Dalam persoalan ini, sebagai seorang sipil sekaligus pelajar, hal yang paling mungkin tepat untuk dilakukan adalah untuk tetap melakukan aktivisme kemanusiaan dan perdamaian. Yaitu dengan tetap menyuarakan kebenaran dan hak-hak sipil dan minoritas, entah itu dengan menggunakan gawai atau dengan turun langsung kejalan. Hal ini lebih masuk akal dan efektif daripada mengikutkan diri dalam narasi untuk berperang langsung ataupun menuntut negara untuk berperang. Bila mengutip istilah dari Ustad Felix Siauw, adalah dengan menggencarkan "Mind Liberation", yaitu gerakan mencerdaskan khalayak publik akan pentingnya perdamaian.

Dalam Mind Liberation ini, mendukung pihak berperang dan menggerakan orang-orang untuk ikut berperang menjadi tidak relevan. Sebagai sipil maka adalah kebodohan untuk mati di medan perang sekarang. Kalaupun kita berperang dan mati dalam membela palestina, lalu apa?, Akan masih ada banyak publik internasional yang tak acuh dengan penderitaan masyarakat palestina. Matinya satu orang tidak akan menggerakan dunia untuk menghentikan Israel. Kenapa? Karena mereka belum sadar seberapa pentingnya perang dan penderitaan masyarakat palestina harus segera dihentikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun