Perbincangan seputar konflik di kawasan timur tengah sudah menjadi hal lumrah belakangan ini, terutama di kalangan komunitas muslim dunia. Diskusi salah dan benar, aktivisme kemanusiaan, dan propaganda anti-terorisme menghiasi laman-laman utama sosial media di Indonesia, bahkan dunia. Tagar-tagar solidaritas islam dan kemanusiaan, Crowdfunding bantuan ke gaza, dan video-video penderitaan sipil di zona perang, sudah menjadi makanan sehari-sehari pengguna sosial media beberapa tahun kebelakang. Berbagai respon muncul dan terfragmentasi di sosial media, ada yang menentang dengan dalih kemanusiaan, dan ada juga yang dengan dalih solidaritas keagamaan. Namun tak sedikit pula yang mendukung perang dengan dalih perang melawan terorisme.
Sebagai seorang pelajar muslim, sudahlah pasti saya berdiri dengan solidaritas keagamaan dan kemanusiaan. Sejak eskalasi konflik di 2023, sudah menjadi rutinitas saya menyuarakan penderitaan rakyat palestina di sosial media. Namun, seiring waktu timbul pertanyaan di benak saya, siapa yang sebenarnya harus saya dukung ? dan siapa yang menjadi lawan ?. Pertanyaan ini kemudian menjadi semakin sulit tatkala eskalasi konflik meluas, Keikutsertaan Iran dan proksi-proksi nya di Lebanon dan Yaman, membuat konflik masuk ke ranah yang lebih kompleks. Pertanyaan saya merambah menjadi untuk siapa perang dilakukan ?.
Sekelibat pertanyaan itu tetap menjadi persoalan nalar saya, tapi batin saya tetap berpijak pada kemanusiaan. Narasi-narasi pro-Iran di sosial media sepintas meyakinkan saya untuk mendukung serangan bersenjata ke Israel oleh Iran dan proksinya. Karena kalau bukan mereka, maka siapa lagi ?. Namun saya tergoyahkan dengan fakta bahwa siapapun musuhnya, selama perang berlangsung, maka tetap akan timbul korban, dan penderitaan seperti orang-orang di Gaza tetap akan berlanjut. Lalu, kalau begitu haruskah muslim berhenti mendukung Iran ? Dan seperti apa gerakan solidaritas islam seharusnya ? Haruskah berperang dalam hal ini ? Perlukah sipil seperti saya dan kalian ikut berperang ?
Narasi-Narasi Pro-Iran dalam Konflik di Timur Tengah
Sejak eskalasi serangan udara antara Iran-Israel meningkat per- Juni 2025, berbagai respon dan dukungan terhadap Iran banyak bermunculan di berbagai platform media. Dalam lingkup Indonesia sebagai contoh, berbagai respon netizen menghiasi laman-laman pemberitaan serangan Iran terhadap Israel dengan nada dukungan dan bersyukur atas serangan yang menimpa Israel. Cuitan-cuitan ini umumnya muncul diiringi dengan narasi pembelaan terkait balasan yang harus dirasakan Israel atas pendudukan dan genosida terhadap Palestina. Umumnya mereka mengamini serangan Iran ke Israel sebagai bentuk optimisme berakhirnya penderitaan warga Palestina atas aktivitas militer Israel. Narasi-narasi ini terus bergulir seiringan aksi balas-membalas antara kedua negara.
Pada kenyataanya, eskalasi konflik antara Iran dan Israel nampaknya tak akan mengakhiri aktivitas militer Israel di Palestina dan bahkan wilayah lain di timur tengah. Jikapun berdampak, hal yang paling mungkin hanyalah menunda aktivitas militer Israel di Palestina untuk beberapa saat, dan setelahnya serangan militer di Palestina akan terjadi lagi, dan bahkan bisa lebih buruk. Hal ini selaras dengan konsep national interests dalam teori realisme, dimana negara akan mengupayakan apapun untuk mencapai kepentingan nasional nya, bahkan dalam kondisi tersulit sekalipun. Rasanya bukan rahasia umum lagi ketika menyaksikan Israel selama bertahun-tahun mengupayakan aktivitas militernya di Palestina. Dan sudah jelas ini diindikasikan sebagai salah satu kepentingan Israel di timur tengah.
Artinya, bukan mudah mencabut cengkraman Israel atas Palestina. Sesuatu yang diupayakan seperti itu tidaklah mudah dilepas hanya karena eskalasi konflik dengan negara lain seperti Iran. Kalaupun mungkin, maka Iran perlu benar-benar mengalahkan Israel. Pertanyaannya, seberapa mungkin itu terjadi ?, melihat bagaimana israel mampu menang atas koalisi negara-negara arab pada perang 1948, rasanya sulit untuk Iran dimasa sekarang. Ditambah lagi keikutsertaan Amerika Serikat di sisi Israel, dengan bantuan militer dan dana nya, bukan tak mungkin Israel dapat menangani Iran dengan mudah. Dan pada gilirannya, serangan bersenjata terhadap Palestina akan sangat mungkin kembali bergulir.
Dalam hal ini, Optimisme terhadap serangan Iran sebagai kunci mengakhiri penderitaan rakyat palestina rasanya bukanlah hal yang tepat. Mungkin saja tepat hanya untuk sesaat, sesaat ketika Israel masih sibuk dengan Iran, tapi setelahnya, Penderitaan bukan tak mungkin untuk terjadi lagi. Maka dari itu, Narasi solidaritas islam dalam bentuk Pro-Iran rasanya untuk saat ini bukanlah hal yang tepat. Karena hal ini hanya akan memicu intensitas serangan yang lebih tinggi dari Israel. Dan Bukan tak mungkin Israel akan bermain licik dengan menjadikan serangan Iran sebagai justifikasi perlindungan untuk menyerang Palestina.
Memposisikan Diri Sebagai Seorang Sipil dan Pelajar Muslim
Dalam persoalan ini, sebagai seorang sipil sekaligus pelajar, hal yang paling mungkin tepat untuk dilakukan adalah untuk tetap melakukan aktivisme kemanusiaan dan perdamaian. Yaitu dengan tetap menyuarakan kebenaran dan hak-hak sipil dan minoritas, entah itu dengan menggunakan gawai atau dengan turun langsung kejalan. Hal ini lebih masuk akal dan efektif daripada mengikutkan diri dalam narasi untuk berperang langsung ataupun menuntut negara untuk berperang. Bila mengutip istilah dari Ustad Felix Siauw, adalah dengan menggencarkan "Mind Liberation", yaitu gerakan mencerdaskan khalayak publik akan pentingnya perdamaian.
Dalam Mind Liberation ini, mendukung pihak berperang dan menggerakan orang-orang untuk ikut berperang menjadi tidak relevan. Sebagai sipil maka adalah kebodohan untuk mati di medan perang sekarang. Kalaupun kita berperang dan mati dalam membela palestina, lalu apa?, Akan masih ada banyak publik internasional yang tak acuh dengan penderitaan masyarakat palestina. Matinya satu orang tidak akan menggerakan dunia untuk menghentikan Israel. Kenapa? Karena mereka belum sadar seberapa pentingnya perang dan penderitaan masyarakat palestina harus segera dihentikan.
Oleh karena itu, Sipil yang rapuh dan tak punya kekuatan untuk menggerakan para penguasa dunia seperti kita, haruslah menyebarkan kebenaran perang ini kepada khalayak dunia. Dari kuping ke kuping, dari mulut ke mulut, dari hati ke hati, dan dari nalar ke nalar, ketika kebenaran sudah dipahami sebagai satu kesatuan, maka perubahan bukanlah hal yang tak mungkin lagi untuk diwujudkan.
Lembaran baru Solidaritas dan Aktivisme Kemanusiaan di Masa Depan
Pada akhirnya, apa yang terjadi di timur tengah sekarang bukanlah tentang siapa yang harus diserang. Bukan lagi siapa yang harus didukung untuk melakukan perang. Kalaulah keinginan kita untuk menghentikan penderitaan saudara kita di Palestina, maka perang tetap bukanlah jalan yang tepat, karena perang hanya akan menimbulkan luka yang lebih dalam. Bila mengutip bait dari seorang pujangga Palestina, Mahmoud Darwish, maka jelaslah mengapa perang harus dihentikan;
"The war will end, The leaders will shake hands.
The old woman will keep waiting for her martyred son.
That girl will wait for her beloved husband.
And those children will wait for their heroic father.
I don't know who sold our homeland,
but I saw who paid the price."
Perang hanyalah permainan para pemimpin yang harus dibayar darah masyarakat sipil. Dan perang akan tetap seperti itu sampai kapanpun. Maka menjadi jelas mengapa mendukung perang Iran-Israel adalah sesuatu yang mungkin tidak tepat untuk sekarang. Yang paling tepat untuk saat ini adalah untuk tetap melakukan aktivisme kemanusiaan dan perdamaian, terlebih sebagai seorang pelajar, maka sebuah priviledge tersendiri karena lebih dekat dengan informasi. Di dunia negara-bangsa yang diplomatis dimasa sekarang, perang bukanlah hal yang bijak. Melainkan permusyawaratan lah hal yang paling baik dalam membina hubungan antar negara, karena untuk itulah PBB ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI