Di sebuah langgar kecil, suara anak-anak sering dianggap mengganggu. Â Puisi ini lahir dari perenungan atas ruang suci yang diuji oleh suara-suara yang belum teratur.
Surabaya, 13 Januari 2025
Langgar kecil itu berteriak,
sekeras suara jamaah mungil yang belum fasih
Kadang meniru ayat suci dari mulut imam
Kadang "amin" meluncur seperti rap---panjang, pendek, tak beraturan
Kadang kaki menghentak lantai sajadah
seperti Tap Dance yang tak diajarkan
Tangisan seriusa menggoda khusyuk
Riuh rendah suara bagai koor tak terlatih
Mereka bukan gangguan, bukan cela
mereka adalah bumbu pedas dalam ruh
yang sedang menatap Ilahi
Peluh sabar diuji, ikhlas digoyang
Kadang gerak mereka membuat langgar terhuyung
menggoyahkan bukan karena salah,
melainkan karena cinta yang belum tahu cara diam
Andai langgar murka dan sunyi tanpa mereka
Bagaimana ibadah bisa tumbuh mekar?
Jika masjid melarang tawa kecil,
bukankah itu rumah suci yang kehilangan cahaya?
Jamaah mungil bukan najis, bukan gangguan
mereka adalah benih yang belum tumbuh
tapi sudah menyiramkan harapan
Aku heran,
seolah rumah ibadah jadi istana
tak semua boleh masuk,
tak semua merasa memiliki
Kadang hanya terbuka pada waktu tertentu
Bahkan angin lembut pun terhalang masuk
Bukankah ajaran berpihak pada yang kebanyakan
bukan hanya pada yang teratur dan tenang?
Jika rumah ibadah penuh larangan
dan abai pada kasih sayang
apa yang tersisa dari makna sujud?
Kadang langgar itu seperti taman
tempat anak-anak berlarian bebas
Kelak mereka akan kembali,
meramaikan langgar saat dewasa
Namun taman itu berubah jadi benteng
menghalangi suara yang seharusnya dirangkul
Bayangkan cinta yang tak terbatas
mengalir dari hati ke hati
dari langgar ke langit
menghapus larangan,
membuka pintu menuju keikhlasan sejati
Jika langgar menolak riuh, ia kehilangan denyutnya. Jika rumah ibadah menutup pintu bagi suara yang belum fasih, maka ia bukan lagi taman jiwa, melainkan benteng yang lupa bahwa cinta tak selalu datang dalam diam.