Dalam dunia yang tak lagi hitam-putih, puisi ini menyusuri jejak kata yang menyimpang---bukan untuk tersesat, melainkan untuk menemukan makna di antara paradoks. Dari Masjid Raya Padang hingga lorong-lorong Universitas Negeri Padang, dari lembaran absurd hingga sembahyang sunyi, inilah perjalanan batin yang menantang klaim kebenaran dan merayakan keragaman tafsir.
Salahkah pesan itu? Atau benarkah ia berlabuh?
Di pelabuhan ingatan, benar dan salah
hanyalah siluet yang saling memburu,
berpendar dalam kabut tafsir.
Hambar saja---tanpa gairah,
Namun saat salah menyaru benar,
dan benar terlucuti makna,
dunia pun berdetak dalam ironi:
paradoks jadi denyut nadi.
Pesan yang salah itu---ia menuntunku
ke altar kebenaran yang bukan milikku,
kebenaran yang bersuara lantang,
mengaku mutlak,
meski tak pernah menyentuh benarku yang sunyi.
Lembaran itu---Delula Jaya dan L-Beaumanity---
menari di udara,
berputar di roda nasib,
melintasi sawit yang bisu,
menyusuri bukit yang menyimpan cerita
dalam lipatan tanah dan angin.
Ku naiki menara Masjid Raya Padang,
menyulam doa dalam sunyi,
melantunkan ayat di pucuk Rumah Gadang,
di mana elegansi bertemu ketundukan.
Ku belajar kata di biara ilmu,
Universitas Negeri Padang jadi altar aksara,
tempat makna direntangkan,
cahaya diurai dari lorong-lorong pemahaman
yang tak selalu lurus.
Di tengah riuhnya dunia yang mengklaim kebenaran mutlak, puisi ini mengajak kita untuk menengok ulang: apakah benar selalu benar? Apakah salah selalu sesat? Mungkin, dalam jejak kata yang menyimpang, kita justru menemukan arah yang paling jujur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI